Bagaimana rasanya, jika suamimu yang merupakan seorang dosen, digoda oleh sepupumu sendiri, yang tak lain adalah mahasiswi di kampus yang sama.
Bahkan, mereka sampai berani menginap di hotel. Pahahal, mahasiswi ini baru setahun menikah. Berita pernikahannya pun sempat viral, karena ia merupakan seorang selebgram yang dinikahi pengusaha tampan, berusia 12 tahun di atasnya.
"Kamu harus merasakan bagaimana rasanya suamimu diambil orang!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Byiaaps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Sore ini sepulang kantor, Mila sengaja ingin menemui ibunya di rumah, untuk bicara jujur soal rumah tangannya. Entah mengapa, ia merasa tak enak hati jika terus menyembunyikan hal ini, juga karena dari kemarin sang ibu terus ingin ditemui. Mila memang tak pernah pulang ke rumah ibunya semenjak perceraiannya kala itu. Tentunya, Mila datang ditemani Arya. Mantan suami Selia itu sendiri yang menawarkan diri untuk menemani Mila menjelaskan pada ibunya.
Cika yang hari ini sedang libur kerja di kafe, mempersilakan sang kakak dan juga Arya untuk masuk ke dalam.
“Ibu sudah menunggu dari tadi, Mbak. Katanya, rindu dengan Mbak Mila,” ujar Cika datar.
Mila pun bergegas menemui dan memeluk sang ibu di ruang tengah. Tanpa sengaja, air matanya menetes. Ia takut, ibunya kecewa dan marah dengan keputusannya.
“Bu, maaf Mila sudah lama tidak pulang,” ujarnya terisak.
“Kamu kenapa? Mil, akhir-akhir ini Ibu merasa tak enak hati. Kamu baik-baik saja 'kan? Suamimu mana?" tanya sang ibu lirih.
Belum sempat Mila menjawab, perhatian ibunya beralih kepada Arya yang masih berdiri di belakang Mila.
“Saya Arya, Bude. Apa Bude masih ingat?” sahut Arya sembari mengulurkan tangannya untuk mencium tangan ibu Mila.
Tersenyum, ibu Mila lalu ikut mengulurkan tangannya, seakan dengan senang hati menyambut kedatangan Arya.
“Bu, ada yang Mila mau bicarakan. Tapi, Ibu janji tidak marah ya. Maafkan Mila.” Tanpa basa-basi Mila tak ingin mengulur waktu.
Setelah kembali mendudukkan sang ibu, Mila mulai menceritakan awal mula keretakan rumah tangganya. Dengan terbata, Mila seolah tak sanggup menceritakannya kembali, jika mengingat kehancuran hatinya saat Rega mengkhianatinya. Arya pun dengan spontan mengusap punggung Mila untuk menguatkannya.
“Mereka selingkuh di belakang kami," lanjut Mila.
Sesungguhnya, ada hal yang membuat Mila semakin tak kuasa menahan tangisnya. Yaitu saat akan memberitahukan perceraiannya. Tak hanya takut sang ibu akan marah dan kecewa, bahkan lebih parahnya jika sampai ibunya pingsan.
Arya dengan kode anggukan kepalanya, meminta Mila segera berterus terang akan hal ini.
“Mila, sudah bercerai dari Rega, Bu, maafkan Mila baru mengatakannya. Mila terpaksa mengambil langkah ini karena sudah tidak kuat.” Tangis Mila pun pecah seketika.
Terdiam, sang ibu menatap Mila begitu dalam, perlahan matanya mengabur dengan air mata. Berita ini bagai petir yang tiba-tiba menyambar tanpa didahului pertanda langit yang mendung. Antara kecewa, marah, sakit hati, dan iba melihat nasib pernikahan anak perempuannya. Hingga tangis keduanya pun terdengar jelas dalam keheningan. Sementara Cika yang masih membuatkan teh di dapur, hanya bisa menahan kesedihannya membayangkan perasaan ibu dan kakaknya saat ini.
“Ibu tidak berhak marah, Ibu tidak berhak mencampuri kehidupanmu. Meski Ibu sangat menyayangkan keadaan ini, tapi Ibu pasrahkan segalanya yang terbaik menurutmu. Ibu hanya mampu mendoakan anak-anak Ibu agar bisa bahagia dunia akhirat. Kalau nanti Ibu sudah tak ada, kamu dan adikmu harus saling membantu dan menyayangi, karena kalian hanya berdua. Jangan jadi orang yang jahat dan menyakiti orang lain,” isak tangis sang ibu masih terdengar memilukan.
Cika yang sudah tak kuasa menahan tangisnya, ikut menghampiri kakak dan ibunya di ruang tengah, lalu memeluk mereka. Inilah kali keduanya mereka beradu air mata setelah kepergian ayahnya beberapa tahun lalu. Cika pun turut meminta maaf, karena sampai saat ini belum mampu membahagiakan orang tua tunggalnya itu.
***
Satu minggu berlalu, esok adalah hari di mana Selia dan Rega akan melangsungkan pernikahan mereka. Acara pernikahan itu akan dilakukan sangat sederhana. Hanya ada akad dan tamu undangan pun terbatas beberapa perwakilan tetangga, juga keluarga besar mereka yang tak seluruhnya diundang.
Mila dan Cika beserta ibunya pun tak mendapat undangan. Justru, mereka tahu berita ini dari Tante Sintia. Seakan hanya Tante Sintia lah yang bisa memahami posisi Mila dan mendukungnya.
“Tak usah datang saja, Mil. Acaranya juga hanya akad dan tamunya sedikit yang datang, karena Selia diketahui hamil duluan,” pintanya pada pagi ini.
“Iya, Tante. Titip salam saja pada mereka, dari aku,” jawab Mila tak bersemangat dalam panggilan teleponnya.
Menghela nafas panjangnya, Mila mencoba ikhlas. Dari awal sudah dapat ditebak jika suatu saat Selia hamil lebih dulu. Bagaimana tidak, mereka bahkan sering tidur bersama tanpa ikatan pernikahan.
Ada rasa sesak mendengar berita ini, bukan hanya karena pernikahan sang mantan suami esok hari. Meskipun rasanya sudah tak ingin lagi peduli, tapi bagaimana pun, ia dan Rega sudah menjalin kasih sekian tahun lamanya. Satu hal yang membuatnya hancur. Benar ternyata bahwa ia lah yang bermasalah selama ini hingga sulit hamil.
Hingga Mila lalu izin menutup teleponnya, karena sedari tadi terdengar ada panggilan masuk ke nomornya.
“Ya, Cik, ada apa?” Benar saja, telepon masuk itu dari sang adik.
“Mbak, Ibu, Mbak,” isak tangis Cika membuat ucapannya tak begitu terdengar jelas.
"Cik, ada apa? Ibu kenapa?” Mila mengeraskan suaranya.
“Tadi waktu aku pamit mau berangkat kerja, ibu tidak menyahut. Aku pikir mungkin masih tidur. Sampai aku sudah di jalan, perasaanku tidak enak dan akhirnya kembali ke rumah. Pas aku lihat ke kamar, aku bangunkan ibu berkali-kali tapi tetap tak bangun juga. Aku cek, ibu sudah tidak bernafas. Langsung aku bawa ke rumah sakit karena panik,” jelas Cika membuat Mila tercengang.
“Terus ibu bagaimana?” tanya Mila dengan suara bergetar.
Tak menjawabnya, Cika terus menangis sesenggukkan.
***
Siang ini, jenazah ibu Mila selesai diurus kepulangannya dari rumah sakit, dan akan dikebumikan sore nanti. Banyak saudara tampak hadir di rumah duka, termasuk papa Selia, tapi tidak dengan mamanya. Arya juga tampak datang di sana memberikan dukungannya untuk Mila yang tengah rapuh. Rega dan Selia bahkan juga turut hadir di sana.
Arya terus mendampingi Mila, seakan tak mau sedetik pun membiarkan Mila jauh darinya. Terus diusapnya punggung si janda muda itu untuk menguatkannya. Sementara Rega yang memandanginya dari kejauhan, hanya bisa menahan keinginannya untuk bisa merangkul Mila. Ia yang ingin sekali bicara pada sang mantan istri pun seolah tak punya kesempatan untuk melakukannya. Begitu pun dengan Selia yang melihat Arya terlalu berlebihan memberikan perhatiannya pada Mila.
“Mil, aku turut berduka cita ya,” ungkap Rega yang pada akhirnya mendekati Mila, tak peduli dengan keberadaan Arya.
Hanya mengangguk pelan, Mila tak mengeluarkan sepatah kata pun.
“Mil, kita sudah lama tak bertemu. Bisa kita bicara sebentar?” lanjut Rega.
“Apa kamu tidak tahu situasi saat ini? Kalau hanya ingin mengucapkan bela sungkawa, aku rasa sudah cukup. Mila tahu kamu ikut berduka. Pergi!” titah Arya bak seorang body guard.
Melihat pembelaan yang Arya lakukan untuk Mila, membuat Selia geram.
“Tak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Toh kamu juga akan menikah ‘kan besok?” ucap Mila datar.
“Tapi, Mil, aku...” Belum sempat Rega melanjutkan bicaranya, Arya turun tangan.
...****************...