Hampir empat tahun menjalani rumah tangga bahagia bersama Rasya Antonio, membuat Akina merasa dunianya sempurna. Ditambah lagi, pernikahan mereka langsung dianugerahi putri kembar yang sangat cantik sekaligus menggemaskan.
Namun, fakta bahwa dirinya justru merupakan istri kedua dari Rasya, menjadi awal mula kewarasan Akina mengalami guncangan. Ternyata Akina sengaja dijadikan istri pancingan, agar Irene—istri pertama Rasya dan selama ini Akina ketahui sebagai kakak kesayangan Rasya, hamil.
Sempat berpikir itu menjadi luka terdalamnya, nyatanya kehamilan Irene membuat Rasya berubah total kepada Akina dan putri kembar mereka. Rasya bahkan tetap menceraikan Akina, meski Akina tengah berbadan dua. Hal tersebut Rasya lakukan karena Irene selalu sedih di setiap Irene ingat ada Akina dan anak-anaknya, dalam rumah tangga mereka.
Seolah Tuhan mengutuk perbuatan Rasya dan Irene, keduanya mengalami kecelakaan lalu lintas ketika Irene hamil besar. Anak yang Irene lahirkan cacat, sementara rahim Irene juga harus diangkat. Di saat itu juga akhirnya Rasya merasakan apa itu penyesalan. Rasya kembali menginginkan istri dan anak-anak yang telah ia buang.
Masalahnya, benarkah semudah itu membuat mereka mau menerima Rasya? Karena Rasya bahkan memilih menutup mata, ketika si kembar nyaris meregang nyawa, dan sangat membutuhkan darah Rasya. Bagaimana jika Akina dan anak-anaknya justru sudah menemukan pengganti Rasya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Kelainan dan Kabar Irene
Meski suara tangis bayi tak lagi terdengar, orang tua Rasya maupun orang tua Irene tetap antusias menunggu. Harap-harap cemas menyelimuti hati mereka dan kali ini kompak menunggu di ruang tunggu depan ruang operasi Irene ditangani. Mama Itha—mamanya Irene, terus menggenggam tangan satu sama lain dengan bu Ismi. Sementara para suami terus sigap ada di sisi mereka.
“Penasaran banget, cucuku cewek apa cowok? Soalnya setiap tanya ke Irene, ... balasnya serba rahasia!” ucap ibu Ismi begitu antusias. Ia mengguncang genggaman tangannya dan sang besan.
Tak beda dengan ibu Ismi, mama Itha juga tak kalah antusias. “Iya si Irene, serba rahasia. Pokoknya katanya, nanti kita terkejut. Rasya juga katanya sampai enggak tahu. Saking spesialnya dirahasiain dari kita!” sergahnya. “Sama-sama doa, ya. Semoga semuanya segera sehat seperti sedia kala. Bismillah, kita damai tenteram lagi.” Harapan dan doanya langsung diaminkan oleh ketiga orang di sana.
Tak lama kemudian, seorang perawat keluar. Ia yang tampak mengemban bayi, memasang wajah tegang. Efek bayi yang tampak berukuran besar, sekadar membuka pintu harus dibantu oleh seorang rekannya dari dalam. Jadi, seorang suster mengemban tubuh bayi yang hampir sekujur tubuhnya termasuk kepala dan wajah ditutupi kain. Sementara seorang perawat perempuan, menahan pintu ruang operasinya. Namun ternyata, bukan hanya dua perawat tersebut. Sebab seorang dokter wanita juga buru-buru menyusul keluar.
Yang membuat orang tua Rasya maupun Irene bingung, ekspresi ketiganya benar-benar tegang, sungkan, takut, tapi juga terkesan benar-benar tak enak kepada mereka. Seolah memang ada yang salah dan sulit untuk mereka sampaikan.
“Gimana, Sus? Saya mau lihat cucu saya. Cucu dan juga menantu saya, sehat, kan, Sus? Semuanya bisa diatasi, kan, Su?” lembut ibu Ismi sengaja maju berusaha mengambil alih cucunya yang ditutup rapat.
“Itu mau dibawa ke ruang NICU, yah Sus ... Dok? Anak Irene, prematur?” lembut mama Itha.
Entah apa yang terjadi, tapi kejadian kini membuat orang tua Rasya apalagi orang tua Irene, tegang. Jantung mereka sampai berdebar-debar. Apalagi, suster yang mengemban bayi, tampak ragu menunjukan bayi Irene kepada pihak keluarga yang menunggu. Sang perawat menatap takut dokter yang masih sama-sama memakai seragam operasi dan sebagian wajahnya masih tertutup masker.
“Baik Oma Opa sekalian. Begini, ... saya selaku dokter yang selama ini menemani ibu Irene ingin memastikan. Apakah sejauh ini, ibu Irene ada cerita mengenai calon baby-nya?” lembut dokter berucap cepat tapi sangat tertata sekaligus jelas.
“Alasan ibu Irene kerap masuk ke rumah sakit dan menjalani penanganan intensif sebenarnya tak hanya karena kesehatan ibu Irene sendiri. Melainkan karena kelainan yang dialami janin dan baru diketahui setelah janin terbilang besar. Masalahnya, tampaknya ibu Irene tidak meminum obat resep dari tim dokter rumah sakit. Ini saya sebut tim dokter dari rumah sakit karena saat hanya saya dan rekan dokter saya yang menyampaikan, ibu Irene tidak percaya. Ibu Irene bahkan meminta kami untuk tidak mengabarkannya ke sang suami. Serba salah sih karena ibu Irene berdalih sudah bahas ini. Sudah menjalani pengobatan intensif di tempat lain juga.”
“Namun pada akhirnya, baby lahir dalam keadaan hidrosefalus, bahkan bibirnya sumbing!” Kali ini, dokter bernama Heryawati tersebut tampak sangat emosional. Ia mengembuskan bapas kasar dari hidung kemudian membuka kain yang membungkus anak Irene.
“Haaaahhhhhh!” jerit para oma langsung ketakutan. Sebab keadaan cucu pertama mereka sangat mengerikan. Hidrosefalus yang anak Irene alami sangat parah karena Irene tidak bisa diajak kerja sama untuk mengatasinya, ketika sang janin ada di dalam kandungan. Padahal, andai Irene mau diajak kerja sama, janin tak berdosa itu bisa tumbuh dengan normal.
“Saya dan tim dokter kami mengaku kecewa karena bayi ini menjadi keegoisan ibu Irene sebagai mama. Karena andai ibu Irene mau diajak kerja sama, ... bayi perempuan ini pasti bisa lahir dalam keadaan normal!” tegas dokter Heryawati sambil menahan tangis. Namun, ulah kedua oma yang menuding pasti itu bukan anak Irene, membuatnya murka. “Oalah ... Irene dan mama maupun mertuanya ternyata sama saja!” batinnya.
Seperti yang tim dokter khawatirkan. Selain Irene tidak membagikan kabar kelainan sang putri ke pihak keluarga, ... pihak keluarga juga menolak bayi perempuan yang Irene lahirkan karena ketidaksempurnaannya.
“Biarkan kami masuk! Kami akan cari cucu asli kami!” tegas ibu Ismi yang benar-benar emosi. Ia berusaha menerobos masuk ke dalam ruang operasi. “Mana mungkin cucu kami cacat begitu, padahal orang tua maupun keluarga kami tidak ada yang begitu!” sergahnya makin emosi lantaran teramat yakin, bayi berkepala besar, bermata sangat lebar, dan bertubuh kurus itu, bukan anak yang Irene lahirkan.
Dokter Heryawati menggeleng tak habis pikir. “Puji Tuhan, Oma ... ini cucu Oma. Korban keegoisan mamanya! Kami ada bukti surat pernyataan bahwa ibu Irene sudah mengetahui keadaan janin, tapi menolak diobati di sini secara intensif, selain ibu Irene yang MEMINTA KAMI UNTUK TIDAK MENGABARI SANG SUAMI MAUPUN PIHAK KELUARGA. Karena ibu Irene berdalih akan mengabarkannya sendiri!”
“Semuanya ada di surat pernyataan berkekuatan hukum. Selain itu, selain mengenai keadaan putri ibu Irene. Ini tolong panggilkan suami ibu Irene. Kami harus segera melakukan rundingan. Sebab pendarahan hebat di rahim ibu Irene dan sudah terjadi sebelum bayi dikeluarkan. Kami sinyalir karena efek kecelakaan yang dialami ibu Irene. Itu membuat RAHIM IBU IRENE HARUS DIANGKAT!” Sang dokter terus berbicara panjang lebar lantaran pihak Irene terus saja ngeyel, sementara Irene harus segera mendapatkan penanganan lebih lanjut.
“Kami mau ganti rumah sakit saja. Rumah sakit abal-abal ini. Malpraktek!” kesal ibu Ismi maupun mama Itha. Hingga apa yang awalnya pihak rumah sakit usahakan jadi rahasia, justru jadi terdengar ke mereka yang lewat.
“Kasihan ya ... itu tadi ada bayi baru lahir dan kelainannya fatal gara-gara mamanya ngeyel. Mamanya enggak mengikuti arahan dokter, padahal andai mau mengikuti arahan dokter, harusnya bayinya masih bisa normal. Mana kelainannya enggak hanya satu. Enggak kebayang gimana rasanya. Jangankan punya anak kelainan, anak sakit kayak sekarang dan sampai masuk ruang PICU saja, rasanya enggak karuan,” ucap seorang wanita dan kiranya berusia di awal tiga puluh.
Obrolan bisik-bisik barusan dari ibu-ibu tadi disampaikan ke dua wanita baya, juga sampai ke telinga Akina dan pak Akala. Kebetulan, Akina dan sang papa ada di depan ruang PICU si kembar. Pak Akala masih berlutut di depan kursi roda Akina duduk. Pak Akala masih memperlakukan sang putri penuh kelembutan.
“Tuh mama beneran enggak bersyukur ya Pa. Dari ceritanya sudah dikasih arahan gitu, kok iya masih ngeyel dan berakhir membuat anaknya kelainan. Heran!” lirih Akina. “Padahal sampai sekarang saja aku terus kepikiran. Apalagi kalau lihat bayi laki-laki. Rasanya nyess ... hatiku kayak diremes. Beneran merasa bersalah banget. Kenapa saat itu aku enggak bisa lebih bisa jaga mental aku? Karena andai aku kuat, pasti aku enggak akan kehilangan anak laki-lakiku!” lirih Akina tersedu-sedu.
“Ikhlas Sayang, ... ikhlas. Jangan meragukan ke rencana Allah. Allah pasti punya maksud indah untuk semua lukamu. Yang terpenting sekarang, fokus ke si kembar dan juga kesehatanmu. Tadi saja saat mau ke sini, sebenarnya Papa ketemu sama Rasya dan Irene,” lembut pak Akala yang mengabarkan keadaan terbaru Rasya dan Irene, ketika mereka bertemu di depan pintu rumah sakit.
“Hah ...? Mereka kecelakaan juga? Kok bisa?” batin Akina benar-benar syok. Ia menyeka air matanya tanpa bisa menyudahi rasa penasarannya kenapa Rasya dan Irene sampai kecelakaan fatal juga layaknya dirinya dan si kembar?