Ketika ketertarikan yang dihiasi kebencian meledak menjadi satu malam yang tak terlupakan, sang duke mengusulkan solusi kepada seorang gadis yang pastinya tidak akan direstui untuk ia jadikan istri itu, menjadi wanita simpanannya.
Tampan, dingin, dan cerdas dalam melakukan tugasnya sebagai penerus gelar Duke of Ainsworth juga grup perusahaan keluarganya, Simon Dominic-Ainsworth belum pernah bertemu dengan seorang wanita yang tidak mengaguminya–kecuali Olivia Poetri Aditomo.
Si cantik berambut coklat itu telah menjadi duri di sisinya sejak mereka bertemu, tetapi hanya dia yang dapat mengonsumsi pikirannya, yang tidak pernah dilakukan seorang wanita pun sebelumnya.
Jika Duke Simon membuat perasaannya salah diungkapkan menjadi sebuah obsesi dan hanya membuat Olivia menderita. Apakah pada akhirnya sang duke akan belajar cara mencinta atau sebelum datangnya saat itu, akankah Olivia melarikan diri darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonwul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22: Sedikit Tidak Sabar, Tidak Begitu Lembut
Dia membuatku gila.
Simon terus menunggu dengan ponsel yang ia dekatkan di telinga.
Gemeresik yang ditimbulkan pergerakan Olivia dan suara lainnya di toko roti gadis itu, ia memejamkan mata mencoba bersabar.
Ingatan akan kemarin malam kembali menyerangnya.
Betapa ia tidak merasakan sensasi apa-apa kepada Charlotte dibandingkan dengan Olivia.
Saat Charlotte berusaha menyudutkan Olivia dengan membuat gadis itu mengucapkan selamat padanya, sebuah perasaan tidak suka muncul di dirinya.
Tidak ada yang boleh mengusik Olivia. Ia tidak akan membiarkan Charlotte mendapatkan kesenangan dengan menyudutkan gadis malang itu.
Satu langkah, hanya satu langkah kecil yang Simon ambil untuk melingkarkan kedua lengannya ke pinggang Charlotte, namun dirinya merasa sangat berat melakukannya.
Pria adalah apa yang hatinya sukai. Tubuhnya akan bergerak sesuai kata hatinya. Simon dapat merasakannya dengan sangat tepat malam itu. Ia lalu menyentuh bibirnya pelan.
Kuasa Olivia di dirinya telah sampai pada titik ia hanya dapat memikirkannya saja bahkan saat bibirnya menyentuh bibir wanita lain.
“Halo?” Suara lembut Olivia kembali terdengar.
Simon tersenyum, tanpa perlu melihat cermin, ia sangat yakin bahwa lesung pipitnya terlihat. Sebuah kebiasaan baru yang kerap terjadi selama ia berurusan dengan Olivia, kebiasaan yang sangat berlawanan dengan apa yang telah ia lakukan seumur hidupnya.
“Kamu bisa saja mengakhiri panggilan saya. Kenapa repot-repot hanya menutup pengeras suara saja?” Simon terkekeh di akhir kalimatnya.
Bayangan wajah tersipu yang sangat cantik dari Olivia membuatnya tidak bisa menghentikan diri untuk menutup kedua bibir berhenti tersenyum.
Olivia pun tidak pernah gagal dalam mengejutkannya dengan tindakan lain yang tidak kalah berani. Gadis itu menutup sepihak panggilan teleponnya.
Simon menjauhkan ponsel dari telinganya dan memandang layar hitam benda pipih itu. Bukan tidak tahu bahwa gadis itu tengah bersama pria berdarah Korea yang sempat berpapasan dengannya saat insiden Joe Johnson.
Tidak pernah menganggap serius kehadiran Paul, namun sejak kejadian malam kemarin, Simon telah memasukkan pria itu ke dalam salah satu targetnya.
Jika kembali diingat-ingat, Simon telah melihat pria itu bersama Olivia sejak pesta perayaannya mendapat gelar duke sekitar satu setengah tahun yang lalu. Namun, kehadirannya tidak sedikit pun mengganggu pikirannya.
Simon menggali informasi tentang pria yang baru ia ketahui adalah seorang musisi baru yang tengah populer itu dengan begitu mudah. Ia pun telah mengambil satu langkah kecil sebagai peringatan kepadanya.
Bertepatan dengan itu, Benedict mengetuk pintu kantornya dan berjalan masuk.
“Joe Jhonson bersedia menjual sahamnya kepada Anda, Tuan. Setelah saling menandatangani kontrak, karier Paul Song akan berada di tangan Anda,” kabar Benedict dengan wajah tanpa ekspresinya.
Simon memberi satu anggukan kecil akan informasi itu. “Bagaimana dengan kedatangan Ivy Shefield?” tanyanya.
“Dia baru mendarat di Inggris beberapa saat yang lalu. Kemungkinan sudah menghubungi Paul untuk bertemu,” jawab Benedict.
Simon memberi satu anggukan lainnya. Setelah mengerjakan semua perintah yang Simon sampaikan padanya, melaporkan perkembangan padanya, Benedict pamit undur diri.
“Paul Song, ya?” gumam Simon memandang sekali lagi ke arah layar hitam ponselnya.
Mengingat kembali apa yang ia lakukan tengah malam kemarin. Bukan sebuah rahasia bahwa tim informan yang keluarganya miliki dapat bekerja dengan sangat baik dalam waktu singkat.
Pada waktu yang singkat itu, Simon telah berhasil menghubungi pihak keluarga Paul, lebih tepatnya nenek pria itu. Sungguh ia yakin bahwa bahkan semesta berada di pihaknya, karena keadaan firma hukum keluarga Shefield sedang tidak baik-baik saja di bawah pimpinan ibunya Paul.
Tentu saja wanita yang hampir menginjak usia tujuh puluh tahun itu tidak akan diam saja setelah ia katakan bahwa dirinya bisa membuat sang cucu kebanggaan itu berhenti dari tindakan membangkangnya.
Faktanya pun berkata demikian. Perjalanan menggunakan jet pribadi salah satu maskapai Ainsworth Airlines Simon berikan kepada Ivy Shefield untuk kenyamanan dan kemudahannya dalam menjemput pulang Paul.
“Kamu tidak pernah mengecewakanku dengan tindakan tak terdugamu, Olivia,” ujar Simon pada dirinya seraya memulai kembali panggilan masuk ke nomor gadis itu.
♧♧♧
“Saya tengah sibuk, Yang Mulia Duke. Bukankah Anda juga demikian?” Adalah pertanyaan yang dilontarkan Olivia segera setelah panggilan telepon itu tersambung.
Simon yang duduk di kursi belakang mobilnya kembali tersenyum samar.
Benar, bukan? Gadis itu benar-benar tidak kehabisan cara untuk membuatku terkejut dengan sikap beraninya, atau lebih pantas kusebut sikap lancangnya?
“Sudah sampai, Tuan,” lapor sopirnya.
“Hm.” Simon mengangguk dan melepaskan sabuk pengamannya sementara sang sopir bergegas keluar dan membukakan pintu untuknya. “Terima kasih.”
Berjalan melewati sang sopir yang menunduk memberi hormat padanya, Simon melirik ke arah mobil boks dan dua orang pria yang sibuk mengangkat roti-roti dari toko Olivia ke dalam mobil mereka.
“Olivia,” panggil Simon begitu berjalan masuk ke bangunan kecil bergaya Eropa klasik yang dipenuhi aroma wangi dari roti-rotinya.
Olivia di lain sisi, terlihat sedikit kelabakan dengan pekerjaannya membantu kedua orang sebelumnya dalam mengangkat roti-roti yang mereka borong habis.
Saat Olivia tersadar dengan kehadirannya, dahi mungil yang dihiasi beberapa helai rambut yang terlepas dari ikatan ponytale rendah yang longgar itu tampak berkerut dengan jelas.
“Apa yang Anda lakukan di sini, Yang Mulia Duke?” tanya Olivia tertahan. Gadis itu menahan diri untuk tidak meluapkan kefrustrasiannya dan berjalan menghampiri pria itu dengan tenang.
Simon mengalihkan singkat pandangannya ke sekeliling toko roti yang hampir kosong. “Bisnismu berjalan lancar rupanya.”
Olivia yang mendongak setiap kali bertatapan dengan Simon mulai menampakkan perasaan yang sebenarnya. “Maafkan saya, Yang Mulia Duke, tapi kehadiran Anda di sini mengganggu pekerjaan saya.”
Simon mengangkat kecil kedua alisnya. “Bukannya kamu sudah tidak sibuk? Kelihatannya tidak ada roti lain yang bisa kamu jual hari ini.”
Olivia menggeleng pelan. Ia melihat ke belakang pria itu, masih ada beberapa kotak berisi roti yang belum diangkat oleh kedua pria yang membeli semua rotinya, dan ia dapat membantu mereka dengan mengangkatnya.
“Dapat Anda lihat sendiri, Yang Mulia Duke, saya masih sibuk.” Olivia beranjak hendak meninggalkan Simon dan membantu mengangkat kotak roti itu jika saja perkataan sang duke tidak menyulut emosinya semakin parah.
“Terima tawaran saya dan hidupmu serta semua keinginanmu akan saya penuhi.”
Olivia seakan kehilangan kata-katanya. “Ma-maaf?”
Simon berbalik untuk berhadapan dengan gadis itu. “Kamu mendengar saya, dan saya tahu kamu mengerti maksudnya.”
Olivia mengangkat wajahnya menatap ke arah atap dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Simon hanya diam memerhatikan itu dengan tenang, seakan bukan karena dirinya Olivia tampak frustrasi seperti itu.
Satu tarikan napas yang dalam diambil Olivia sebelum kembali menatap Simon dan mengutarakan isi hatinya.
"Berapa kali pun Anda bertanya, jawaban saya akan tetap sama."
"Kamu bersungguh-sungguh dengan perkataanmu itu?"
"Tolonglah, Yang Mulia Duke. Anda hanya membuang-buang waktu. Seperti yang pernah saya katakan, silakan tawarkan pada gadis lain, saya yakin Anda akan mendapatkan keinginan itu dipenuhi oleh mereka."
Simon menghela samar. "Olivia," panggilnya pelan. "Saya sedikit tidak sabar dan tidak begitu lembut. Jangan membuat saya harus melakukannya dengan cara yang tidak kamu sukai."
Olivia mengernyit mendengar perkataan Simon. Ia pun dibuat bertambah bingung saat pria itu berbicara kepada kedua pria yang masih sibuk mengangkat roti-rotinya ke mobil.
"Iya, Yang Mulia Duke?" salah seorang di antaranya datang menghadap.
"Buang semua roti-roti itu di setiap kotak sampah yang ada di lingkungan ini."
Keduanya mengangguk patuh. "Baik, Yang Mulia Duke."
...♧♧♧...
^^^*** the picture belongs to the rightful owner, I do not own it except for the editing.^^^
Tapi aku juga mau Paul berhak mendapatkan kehidupan yang adil, dan biarkan Simon yang menanggung karma atas perbuatan nya, contohnya seperti 'rencananya untuk memisahkan Olip dan Paul justru menjadi pedang yang telah ia tempah susah payah namun dia gunakan untuk menggorok lehernya sendiri'
ga peduli guwaa!!!
Jeez, of course she just sarcastic, my dear
ahh pake tanda sesuatu donggt/Grimace/