NovelToon NovelToon
Tarian-tarian Wanita

Tarian-tarian Wanita

Status: tamat
Genre:Tamat / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita / Slice of Life
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Made Budiarsa

Pada akhirnya dia terlihat menari dalam hidup ini. dia juga seperti kupu-kupu yang terbang mengepakkan sayapnya yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 : perasaan

Kemarin aku bermimpi, aku tidak tahu apa itu di sebut sebagai mimpi buruk atau tidak.

Dalam mimpi itu, aku melihat ibu, tersenyum, melambaikan tangannya. Ibu memiliki ekspresi bahagia dan tenang, memakai pakaian putih, semuanya putih bersih, bahkan di sekitarnya sangat putih.

Ibu berbalik, pergi meninggalkanku.

Mimpi itu terasa sangat nyata, aku bahkan tidak percaya apa itu benar-benar mimpi.

Keesokan paginya, terbangun, berpikir mengapa mimpi itu muncul. Apa ini ada hubungannya dengan ibu? Apa karena perselisihan kami yang belum selesai sehingga memunculkan mimpi itu?

Aku merasa tidak baik, aku merasa khawatir dan merasa takut. Tapi aku tidak tahu mengapa aku merasakannya. Apa semua ini karena ibu?

Pagi itu, aku di liputi rasa takut. Selimut ketakutan menyelimuti seluruh tubuhku, bahkan semuanya tampak suram dan tidak bercahaya. Pagi yang mendung dan hujan turun.

*********

Waktu itu aku bergegas mandi, mengambil kebaya hijau dan Kamen hitam. Aku memakai selendang biru cerah. Tilem akhirnya datang dan aku harus berpakaian adat.

Aku akan gembira jika hari ini cerah, tapi hanya terlihat gumpalan awan-awan yang penuh air. Aku kadang-kadang berpikir, pasti dewa Indra memimpin pasukannya dari atas langit itu untuk memeras awan-awan hujan itu.

Jika tidak salah, hujan sudah turun sejak malam. Aku tidak tahu persis itu kapan. Memandang sebentar kemudian melihat bukit. Bukit di penuhi awan-awan hujan dan tidak kelihatan cantik.

Aku mengambil payung setelah semuanya selesai.

Ketika itu, Nenek tiba-tiba memanggilku dan menyuruhku sarapan.

“Nenek, sari tidak lapar.”

Nenek batuk-batuk.

“Nenek harus minum obat.”

“Nenek, aku pergi ke sekolah.”

Nenek selalu menanyakan apa aku sudah membawa bekal. Aku menjawab sudah dan Nenek menyarankanku untuk hati-hati.

Aku pergi ke garansi dan mempersiapkan jas hujan kemudian pergi.

Ketika tiba di sekolah, aku harus merapikan pakaianku. Sebagian tentunya basah karena air. Setelah itu aku duduk di kelas, mengeluarkan sebuah buku dan membacanya. Kelas pada saat itu masih sepi dan hanya beberapa orang yang datang. Mereka sibuk dengan diri mereka sendiri.

Setelah beberapa saat, intan datang. Aku memandangnya. Dia tidak seperti biasanya datang sendiri. Biasanya dia datang bersama Dian. Wajahnya juga tampak lesu.

“Intan kamu sendiri?”

Bukan aku yang bertanya, tapi Lia yang duduk di seberang.

“Iya, hari ini Dian tidak sekolah.” Dengan lesu dia berjalan mendekati bangku.

“Kenapa? Dia sakit?”

Intan menaruh tasnya kemudian mengecek barang-barangnya. “Bukan, ayahnya meninggal kemarin malam.”

Aku tertarik mendengar kelanjutannya.

“Ayahnya kenapa?”

“Aku tidak tahu.”

Kematian lagi. Sudah beberapa banyak aku mendengar tenang kematian? Kematian seperti tidak akan pernah lepas dari hidupku. Aku merasa kasihan. Bagaimana kalau aku berada di posisinya? Aku tiba-tiba teringat dengan ayah. Apa aku harus pulang bertemu ayah dan ibu?

Aktivitas sekolah pagi itu terasa kelam dan mencekam. Semua orang sibuk belajar dan terus melakukannya. Ujian akhir akan segera tiba, mereka tidak ingin mendapatkan nilai rendah. Ini adalah ujian yang akan membawa mereka ke jenjang selanjutnya. Aku tidak tahu apa ayah dan ibu akan melanjutkan sekolahku atau hanya berhenti sampai di sini.

Di sore harinya aku belajar menari tarian Pendet, tarian selamat datang yang terlihat indah. Aku Senang memegang bokor sambil menari riang. Tarian ini berkelompok, sehingga beberapa gadis-gadis lainnya ikut menarikannya. Mayoritas orang-orang yang menarikannya anak-anak kecil sehingga aku merasa sedikit malu berada di sana.

Tarian ini merupakan tarian penyambutan yang elegan. Namun sepertinya akan sedikit sulit untuk dilakukan, karena memerlukan kekompakan pada setiap penarinya. Kelompok penari harus bisa berbaris dan membentuk pola dan menjadi satu bagian tubuh yang utuh. Aku sangat senang ketika para penari menghamburkan bunga-bunga mereka dari dalam bokor kemudian berputar ke belakang. Taburan bunga-bunga itu seperti penyambutan. Aku senang melihatnya.

Setelah latihan selesai, aku dan Mbok ayu diam di dalam ruangan itu. Para gadis-gadis kecil lainnya sudah pergi. Mereka sepertinya di didik dengan baik. Ketika mereka akan pulang, mereka serentak berdoa lalu menyalami tangan Mbok Ayu.

Aku senang melihatnya. Aku pikir aku tidak akan di salami, tapi mereka datang dan meminta. Aku dengan senang hati memberikannya. Gadis-gadis itu tidak lebih berumur 7 hingga 9 tahun, mereka tentu saja sekarang berada di jenjang SD. Mereka terlihat bersemangat untuk berlatih lagi dan menantikan latihan mereka selanjutnya.

“Sari menyukai anak-anak itu?”

Mbok Ayu melepaskan selendangnya kemudian mengalungkannya di lehernya. Dia mendekat dan duduk di lantai. Mbok Ayu memerintahkanku untuk duduk. Aku tersenyum mengikutinya.

“Mereka sangat lucu, “ kataku.

“Mereka generasi muda yang dididik dengan baik.”

“Mbok yang mendidiknya?”

“Senang rasanya mendidik anak-anak yang patuh, tapi tidak semua mau mengikutinya. Anak-anak itu akan berubah sikap ketika aku tidak ada.”

“Tapi ketika mereka kecil seperti itu akan lebih mudah mendidiknya.”

“Sari benar. Walaupun mereka tidak menurutiku di belakang, ajaran-ajaranku akan selalu di ingatnya dan mudah sekali mempengaruhi mereka.”

“Aku menyukai mereka.”

“Kau kelak juga akan memilikinya.”

“Aku sepertinya tidak akan menikah.”

“Kenapa tidak menikah?” Mbok Ayu sepertinya sedikit terkejut.

“Aku tidak menginginkannya. Lupakan saja Mbok. Tadi ada orang tua temanku meninggal, aku penasaran apa ada cara untuk membuat kita biasa-biasa saja meski orang yang meninggal ayah dan ibu kandung kita sendiri?”

Mbok Ayu terdiam. Matanya yang cerah menatapku dalam-dalam. Mungkin saja Mbok ayu bertanya-tanya mengapa aku menanyakan pertanyaan aneh seperti itu.

Dia kemudian berdiri, berjalan menjauh dan membuka jendela. Ditatapnya awan-awan mendung yang memenuhi langit. Dia lalu memandangku. “Sepertinya hujan turun lagi. Sari, kamu tidak pulang? Rumahmu jauh loh.”

Aku tidak tahu apa Mbok Ayu benar-benar tidak ingin menjawabnya atau tidak ada jawaban seperti itu. Aku berdiri mendekatinya. “Sebagai murid yang baik, aku harus menyalami Mbok.”

Mbok Ayu tersenyum tipis. “Kau menggodaku Ayu.”

Mbok Ayu mengizinkannya dan aku kembali pulang.

******

Setelah beberapa hari, dian kembali sekolah, tapi dia terlihat lesu, cahayanya sudah hilang dan kecantikannya di telan bumi. Dian sama seperti ibu ketika adiknya meninggal. Dian tidak sama seperti sebelumnya. Dengan peristiwa kematian ayahnya, dia menjadi lebih dewasa. Aku harap dia menjadi lebih tenang dan ikhlas yang segera kecantikan dan cahayanya kembali lagi meski tidak seperti dulu lagi.

Teman-teman sekelas berusaha menghiburnya. Dian berterima kasih kepada semuanya.

Ketika ada seorang menanyakan apa penyakit ayahnya, Dian menjawab serangan jantung. Ayahnya meninggal tiba-tiba dan pergi meninggalkan Dian dan ibunya. Kejadian tiba-tiba itu membuat seluruh keluarganya dilanda kesedihan. Ketika aku mendengar ceritanya, aku bertanya-tanya bagaimana jadinya jika aku berada di posisinya? Apa aku bisa bersikap biasa-biasa saja? Aku tiba-tiba teringat dengan ibu. Bagaimana kabarnya sekarang? Apa ibu lebih baik dari sebelumnya?

Aku ingin mengunjunginya, tapi aku masih ragu-ragu apa aku harus pulang?

Seperti ada jurang besar memisahkan kami dan jurang itu semakin lama semakin besar. Hanya karena menari, kami berpisah jauh.

Ketika pulang, Nenek mendekatiku, bertanya apa aku masih memakai jepit rambut ibu.

“Aku masih memakainya nek.”

“ibumu menginginkannya kembali.”

Rasanya aku berat memberikannya. Jelas jepit rambut itu bukan milikku dan aku seperti mencurinya dari ibu.

“Bagaimana kalau aku tidak memberikannya?”

“Nenek tahu iluh sari gadis yang baik. Iluh pasti tahu itu tidak boleh dilakukan. Jika iluh tidak mengembalikannya, maka iluh sudah berdosa pada sosok tertinggi iluh. Ibu iluh adalah surga. Iluh tentu pernah dengar surga ada di telapak kaki ibu.”

Kata-kata itu bagaikan jurus yang sangat mematikan bagiku. Aku terdiam sebentar menatap wanita tua di depanku, wanita yang penuh pengalaman hidup. “Aku akan mengembalikannya nanti.”

Ketika aku mengatakannya, ada sebuah celah yang muncul di dalam diriku, rasanya lebih lega ketika mengatakannya. Aku penasaran apa yang membuatnya seperti itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!