Who Is?

Mahen memasuki rumah yang selama ini ia tempati, rumah pria yang pertama kali mengulurkan tangannya saat ia dulu tidak baik-baik saja. Rumah ternyaman menurutnya, ia selalu merasa damai dan disayangi.

"Mahen," sapa Lea yang kebetulan sedang menemani kedua anaknya menonton tv.

"Aku pulang, Bi. Oh ya, besok pagi kita jadi 'kan berangkat ke Singapura?" tanya Mahen, ia ikut duduk di samping Lea.

Mengapa Mahen mengatakan pada Anna jika ia akan berangkat malam ini juga? Jawabannya karena saat ini Mahen memerlukan waktu untuk dirinya sendiri. Ia sekarang memiliki beban berat dibandingkan menjadi kaki tangan seorang mafia. Mahen nyatanya tak sekuat itu, bahu kokohnya itu tak bisa menjamin jika sebenarnya ia sangat rapuh.

"Jadi, kamu tidak mengajak calon istrimu itu?" tanya Lea.

Mahen menggeleng, mengajak Anna dalam acara keluarganya bukan hal yang direncakan olehnya. Ia memang mencintainya tetapi semenjak kehadiran wanita bermata bulat dengan sikap menggemaskan itu, perasaan Mahen mulai terbagi. Ia mungkin sadar jika semua ini hanyalah perasaan harus melindungi wanita yang sedang mengandung anaknya, tidak lebih.

Hanya saja, Mahen takut jika kedekatan akan membentuk rasa nyaman. Rasa yang akhirnya bisa merusak segala mimpi di masa depan. Bukankah sebuah rasa akan tercipta saat seringnya menghabiskan waktu bersama? Mahen tentu akan sering memberi Laura waktu, mengintai wanita itu mengandung anaknya.

Anna benar, mereka harus bertunangan!

"Wajahmu tampak tidak baik-baik saja. Ada hal yang mengganggumu? Oh ya, mengapa kamu langsung memilih wanita itu? Waktu itu aku tidak bisa bicara banyak tentang kalian, aku hanya khawatir kamu salah dalam mengenali seseorang. Jika perkara kalung, bukankah kamar itu juga digunakan oleh beberapa orang sebelumnya? Yang paling penting, apakah hatimu benar-benar sudah mengenalinya?"

Pertanyaan Lea membuat Mahen dilema. Ia tahu ada rasa yang begitu nyaman saat bersama Anna meskipun ia tidak bisa membohongi hatinya jika masih ada tempat yang terasa kosong di sudut hatinya.

"Bibimu tidak bermaksud menghasut atau mengacaukan pikiranmu. Aku pun sependapat. Jangan sampai kamu bersama orang yang salah. Bagaimana jika ternyata wanita yang kamu cari itu juga tengah mencarimu sedangkan kamu telah menentukan pilihan?"

Dari ruang kerjanya Leon datang dan langsung menimpali ucapan Lea, ia mengambil posisi duduk di samping istrinya setelah Mahen memberikan ruang.

Hal ini semakin membuat hati Mahen merana. Kemungkinan ia benar atau salah itu adalah lima puluh persen. Tetapi ia sudah terlanjur berjanji, ia sudah terlalu banyak memberikan mimpi pada Anna. Haruskah ia hancurkan hatinya.

Bukan salah Anna jika dia bukan yang dicari Mahen. Bukankah sudah berulang kali Anna mengatakan kemungkin terburuk dan ia juga sudah menanyakan sikap Mahen padanya? Lantas apa yang dikatakan Mahen, ia akan selalu percaya dan mencinta. Lalu mengapa sekarang ia dilema?

"Aku sudah menyakini hatiku," jawab Mahen, suaranya tidak setegas biasanya, Leon bahkan tahu ada beberapa persen ketidakyakinan di sana.

Mahen bisa berkata apapun tetapi Leon tahu jika Mahen memendam masalah. Ia tahu keponakannya itu akan bicara pada waktunya. Ia tidak perlu mendesak, Mahen akan terbuka dengan sendirinya.

"Baiklah jika itu sudah menjadi pilihanmu, aku dan Lea hanya ingin yang terbaik untukmu. Jika bahagia bersama Anna, maka lanjutkan saja. Kamu yang menjalani semua ini, kelak kamu juga yang akan menanggung semua risiko baik buruknya. Satu hal, pastikan kebahagiaanmu bukan sandiwara belaka!" ucap Leon kemudian ia menepuk bahu Mahen memberikan semangat.

'Dan mengapa kini aku merasa menyesal setelah mengatakan keputusanku?' gumam Mahen dalam hati.

****

Laura menatap langit malam yang kini dihiasi banyak bintang. Tatapannya begitu dalam seiring dengan bayang lukisan yang kini ia imajinasikan membentuk wajah seseorang. Ia tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan saat ini, merindukan seseorang yang dia sendiri tidak berhak untuk satu detik pun waktunya.

Delapan bulan ke depan bukan waktu yang singkat untuk ia bersembunyi. Jauh dari keramaian, jauh dari keluarga dan jauh dari semua kenangan yang pernah ia lalui.

Mengapa ia justru terkurung di sini? Dengan perut yang nantinya kian hari kian membesar. Lalu, ia masih ingat perjanjiannya jika Mahen tidak akan mengambil hak sepenuhnya atas anak yang tengah ia kandung.

Tetapi, bagaimana jika Mahen berubah pikiran? Dia memiliki wanitanya dan Laura mungkin dianggap sebagai pengganggu. Anaknya? Mungkin akan diambil oleh mereka dan tidak ada yang tersisa untuk dirinya.

Menjadi seorang adik untuk Mahen? Bukankah itu terlalu konyol? Mantan teman tidur yang memberinya keturunan lantas disambut sebagai adik?

"Aku masih punya hati dan perasaan. Mungkin aku akan jatuh hati tanpa aku sadari. Lalu yang aku terima adalah luka. Mengapa harus aku? Mengapa harus dia? Dan mengapa ketika aku berusaha pergi darinya tetapi aku justru datang padanya seakan takdir mencoba menghubungkan?"

Laura mengusap lengannya yang terasa dingin. Ia kembali masuk ke dalam kamarnya dan mengistirahatkan dirinya.

Rasa rindu pada Zoya yang entah bagaimana kabarnya. Ia belum memiliki keberanian untuk menceritakan semua itu. Belum lagi ia khawatir berita tentangnya akan sampai ke telinga Anna. Laura sama sekali tidak tahu apa yang jadi alasan tentang dirinya berhenti bekerja. Semua diurus oleh Mahen.

Begitu pun dengan seorang gadis yang sedang berdiri menatap langit malam dari balkon kamarnya. Pakaian tidur yang tidak terlalu tipis tetap saja membuat dingin menyentuh hingga masuk ke pori-porinya. Tatapannya sendu, memikirkan dirinya yang selalu dilanda rasa khawatir.

"Aku dulu menolak saat dia membawaku masuk ke dalam kehidupannya. Sekarang aku tidak bisa pergi begitu saja karena aku sudah terperangkap dalam pesonanya. Andaikan aku bukan orang yang dicarinya, lantas salahku di mana? Dia akan membuangku? Semudah itu kau? Aku dulu menolak tetapi dia meruntuhkan pertahananku hingga aku yakin dia adalah sang belahan jiwa. Tetapi ...."

Anna tidak meneruskan ucapannya, ia memeluk lengannya dalam keadaan hampa. Beberapa mimpi dan sikap Mahen yang seakan tidak bisa memprioritaskan dirinya membuat hati itu akhirnya meragu.

Anna harus bagaimana saat badai cinta yang coba ia hindari justru datang menghantam hingga ia tidak bisa menyelamatkan dirinya lagi. Ia akan hancur jika Mahen meninggalkannya.

"Harusnya aku tidak mudah bermain hati. Aku sendiri masih ragu dengan diriku. Tetapi dia ... dia datang dengan sejuta rasa yang membuatku lupa akan tujuan sebenarnya. Dia datang dan membuatku jatuh hingga sedalam ini hingga aku tidak bisa lagi pergi. Hatiku terlalu kecil untuk memaafkan, egoku terlalu tinggi untuk mempertahankan. Aku sudah masuk dalam jeratnya, bagaimana aku bisa keluar dari kegelisahan ini? Mahen ... akankah kamu menjadi milikku? Aku meragu ...."