NovelToon NovelToon
HAZIM

HAZIM

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Haryani Latip

Awal pertemuan dengan Muhammad Hazim Zaim membuat Haniyatul Qoriah hampir terkena serangan Hipertensi. Meski gadis itu selalu menghindar. Namun, malangnya takdir terus mempertemukan mereka. Sehingga kehidupan Haniyatul Qoriah sudah tidak setenang dulu lagi. Ada-ada saja tingkah Hazim Zaim yang membuat Haniyatul pusing tujuh keliling. Perkelahian terus tercetus diantara mereka mulai dari perkelahian kecil sehingga ke besar.

apakah kisah mereka akan berakhir dengan sebuah pertemanan setelah sekian lama kedua kubu berseteru?
Ataukah hubungan mereka terjalin lebih dari sekadar teman biasa dan musuh?

"Maukah kau menjadi bulanku?"

~Haniyatul Qoriah~

🚫dilarang menjiplak

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Haryani Latip, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Debat

Awalnya ingin ku abaikan

tapi, sepertinya aku sudah terlalu jauh terbawa oleh arusmu

🍀🍀🍀

Setelah selesai ulangan Akhir Semester, kini sekolah pun diliburkan. Beberapa siswa ada yang mengambil kelas tambahan. Dan tak sedikit pula yang memilih untuk ikut berlibur.

Haniyatul mengambil kelas tambahan kerajinan tangan. Sememangnya ia teramat menyukai kelas tambahan tersebut karena bisa menghasilkan barang bernilai estetik. Dan hal tersebut memberi kepuasan bagi dirinya sendiri.

"Tahun ini ikut ekstrakurikuler kerajinan tangan lagi ya, mbak?" tanya seorang siswi. Yang terhitung lebih muda dari Haniyatul. Gadis tersebut merapikan beberapa formulir yang berada di tangannya.

"Iya," sahut Haniyatul sembari memberikan formulirnya pada gadis muda tersebut. Ia tak lupa pula untuk tersenyum pada gadis yang tidak diketahui namanya itu.

"Tahun ini yang mendaftar di kelas kerajinan tangan lumayan banyak loh, mbak." ujar gadis muda tersebut seraya melubangi formulir yang dirapikan tadi untuk di masukkan ke dalam map berwarna merah.

"Alhamdulillah, itu artinya kelas kerajinan tangan semakin banyak yang minati ya," ucap Haniyatul. Senang.

"Padahal, tahun lalu kelas kerajinan tangan tidak seramai ini." Gadis tersebut sudah selesai melubangi semua kertas formulir dan siap untuk dimasukkan ke dalam map merah.

"Ya, mungkin siswa di sekolah kita mau mencoba sesuatu yang baru tahun ini, karena itu mereka memilih kelas kerajinan tangan. Lagian ekstrakurikuler kerajinan tangan lumayan keren loh," Haniyatul berandai-andai. Tidak lupa pula ia menyelipkan kata-kata pujian di akhir ucapannya.

"Sepertinya begitu," ucap gadis muda tersebut.

Haniyatul pun pamit pada gadis itu. Lalu melangkah dengan sedikit tergesa-gesa. Menuju ke tempat parkiran sepeda.

Begitu tiba di tempat parkiran sepeda, ia langsung meluncur melewati gerbang sekolah. Sesekali Haniyatul melirik arloji yang terpasang di tangan kanannya. Dilihatnya baru pukul 08:00 pagi. Lalu ia membelokkan sepedanya begitu tiba di pembelokan. Kakinya semakin melaju mengayuh sepeda santainya. Pagi hari yang lumayan masih dingin, bahkan sisa-sisa air hujan masih ada di daun pepohonan, lalu menitik jatuh ke bumi. Seekor burung mengepakkan sayapnya. Namun, masih ragu-ragu untuk terbang. Melihat seorang gadis cantik melewatinya dengan menaiki sepeda. Sang burung pun mulai untuk terbang mengikuti gerak sepeda si gadis cantik, kemudian terbang tinggi ke atas langit.

Haniyatul membunyikan bel sepedanya ketika tiba di sebuah toko bunga. Toko bunga ini sudah buka dari jam tujuh pagi dan tutup di sore hari. Toko bunga ini juga lumayan ramai pengunjungnya, karena bunga yang di jual segar-segar semua. Tidak layu, dan indah serta teramat langka. Jadi, tidak heran jika harga bunganya ada yang mencapai jutaan harganya.

Kring!

Seorang wanita berusia paruh baya, berkaca mata dengan rambut di kepang, menampakkan dirinya dari balik pintu berbahan kaca. Wanita ini merupakan keturunan cina.

"Han, mau beli bunga apa?" tanya Meichen.

"Mei, saya mau beli bunga untuk ibu saya, kira-kira bunga mana yang bagus?" Haniyatul balik bertanya seraya menyebarkan pandangannya ke segala arah.

"Oh, buat hari ibu ya?

"Iya, Mei. Hari ini kan hari ibu,"

"Bunga ini bagus." Meichen menghampiri sebuah pot bunga yang berukuran sederhana besar dan berwarna hitam.

"Saya menyebut bunga ini sebagai bunga bulan Januari." Meichen mengangkat pot hitam yang berada di hadapannya. Di dalam pot hitam tersebut, terlihat tumbuhan yang mirip seperti tanaman padi sebelum mengeluarkan benihnya.

"Bunga bulan Januari?" Haniyatul mengerutkan dahinya hingga hampir saja keningnya bertaut menjadi satu.

"Iya, benar sekali." Meichen kembali meletakkan pot bunga tersebut ke tempatnya semula.

"Kenapa namanya bunga bulan Januari?" tanya Haniyatul. Ia menyentuh ujung daun bunga tersebut yang terlihat runcing.

"Karena bunganya akan keluar pada saat masuknya tanggal satu Januari," sahutnya.

Haniyatul terlihat takjub mendengar pernyataan yang diucapkan oleh Meichen. Untuk pertama kalinya ia menemukan bunga seunik ini.

"Unik, bukan?" tanya Meichen. Sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman.

"Harganya berapa, Mei?" tanya Haniyatul.

"Rp100.000,00-, tapi untuk kamu saya berikan diskon menjadi Rp80.000,00," ucap Meichen. Ia memang lebih sering dipanggil Mei oleh Haniyatul karena ia tidak ingin di panggil Aunty seperti suku-suku cina yang lain, yang seusia dengannya.

"Makasih, Mei," raut wajah Haniyatul terlihat senang sekali. Ia tahu, ibunya pasti akan senang jika ia menghadiahkan bunga ini sebagai kado hari Ibu.

Bunga bulan Januari itu pun dihias dengan di letakkan pita kecil berwarna merah pada pot bunga. Sungguh benar-benar terlihat elegan sekali.

Haniyatul sudah siap untuk membayar. Bibirnya tak lepas dari mengukir senyuman.

Kring!

Seseorang mendorong pintu kaca, sehingga lonceng kuningan yang berada diatas pintu pun berdentang.

Kontan Haniyatul menoleh kearah pintu. Meichen juga melakukan hal yang sama. Terlihat sosok laki-laki yang begitu familiar di mata Haniyatul.

"Zaim?" gumam Haniyatul. Ia terlihat panik. Ingin segera pergi tapi, ia belum membayar harga bunganya tadi.

Zaim semakin mendekat. Sedangkan, Haniyatul semakin gelagapan, berusaha mencari tempat bersembunyi. Namun, malangnya tidak ada tempat persembunyian di toko bunga ini.

"Assalamualaikum, Han," sapa Zaim.

Deg!

Jantung Haniyatul berdetak. Entah mengapa, dengan hanya melihat lelaki ini saja sudah membuat jantungnya bergemuruh hebat. Padahal, dulu ia tidak seperti ini. Lantas mengapa tiba-tiba ia begini? Apa ia memiliki penyakit jantung yang kronis?

"Assalamualaikum, Han," Zaim mengulangi ucapan salamnya karena Haniyatul tak juga menjawab salam darinya.

"Walaikumsalam," jawab Haniyatul. Perlahan, namun masih bisa didengarkan dengan jelas.

Pandangan Haniyatul terus mengarah pada Meichen setelah ia memberikan wanita tersebut uang senilai Rp100.000,00-,

"Waduuuh, sepertinya saya tidak memiliki uang kecil," ucap Meichen setelah memeriksa tempat uangnya yang hanya berisi uang Rp.5000,00 satu lembar dan Rp2000,00 tiga lembar.

"Saya keluar dulu yaa, cari uang kecil," ucap Meichen. Lalu meninggalkan Zaim dan Haniyatul berdua.

"Kamu masih membenciku?" tanya Zaim. Ia berdiri cukup jauh dari Haniyatul. Mengingat bahwa hanya ada mereka berdua saja di toko bunga ini.

Haniyatul mengerutkan dahinya. Sedangkan pandangannya menunduk, melihat kearah ujung sepatunya.

"Tidak," ucap Haniyatul. Ekspresi wajahnya terlihat kesal. Namun, sebenarnya ia tidak marah sama sekali. Akan tetapi mengapa secara spontan ia bersikap seperti ini? Tidak bisakah ia bersikap santai saja?

"Katanya tidak benci, tapi ekspresi wajahmu mengatakan sebaliknya," ucap Zaim. Tanpa berbelit-belit.

"Wajahku? Kenapa dengan wajahku?" tanya Haniyatul. Ia sebenarnya juga merasa aneh dengan dirinya sendiri, mengapa setiap kali ia bertemu dengan Zaim, emosinya selalu saja naik turun tidak teratur? Hanya mendengar suara lelaki itu saja sudah membuatnya merasa marah. Marah? Apa benar ia marah? Apa mungkin sebaliknya?

"Wajahmu cantik,"

Deg!

Jantung Haniyatul semakin berdetak kencang, pipinya sudah berubah merah. Ia celingak-celinguk melihat sekeliling. Berharap Meichen akan segera datang, atau paling tidak, ia berharap ada orang lain selain mereka berdua disini. Andai saja ia memiliki alat teleportasi, sudah tentu akan di gunakan detik ini juga. Ia ingin menghilangkan diri sekarang juga. Haniyatul tidak ingin Zaim melihat wajahnya yang memerah karena malu.

"Han, kamu suka bunga apa?" Zaim berusaha mencairkan suasana. Sedangkan Haniyatul pula, lidahnya keluh untuk menjawab pertanyaan dari lelaki itu.

Zaim berjalan mendekat kearah bunga mawar merah. "Apa kamu suka bunga mawar?" tanya Zaim sekali lagi.

Haniyatul terus menelan salivanya yang entah sudah keberapa kalinya.

Kring!

Akhirnya Meichen pun tiba. Haniyatul langsung menarik napas lega.

"Maaf, ya. Ini sisa uang kamu." Meichen memberikan uang senilai Rp20.000,00-,

"Makasih, Mei, aku pamit pulang ya," ucap Haniyatul. Ia tergesa-gesa mengambil sisa uangnya dan mengangkat pot bunga yang berisi tumbuhan bunga bulan Januari.

Tanpa pamit pada Zaim, Haniyatul melewati lelaki itu begitu saja. Tanpa sapa dan kata, maupun melihat sekilas kearahnya.

"Cewek mah, emang gitu, sikap mereka yang cuek bukan berarti benci, bisa jadi sebaliknya. Sabar dan berusaha. Tetap semangat!" Meichen memberikan kata semangat buat Zaim seraya menepuk perlahan pundak lelaki itu. Zaim hanya diam, menatap sosok Haniyatul yang semakin jauh darinya.

***

"Hah! Hah!"

Haniyatul memberhentikan sepedanya di pinggir jalan. Berusaha menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan kembali jantungnya yang berdetak kencang sedari tadi.

"Ada apa denganku?" gumam Haniyatul. "Tidak biasanya aku begini," Haniyatul mengibas-ngibas tangannya ke wajah. Sesekali ia menyentuh kedua pipinya yang terasa memanas. Mengapa ia seperti ini? Padahal dulu ketika bertemu dengan lelaki itu ia biasa saja.

"Tidak.. tidak," Haniyatul menidakkan kata hatinya. Kepalanya menggeleng perlahan. Kemudian, ia menaiki kembali sepeda santainya.

Meski kita berusaha untuk tidak mengakuinya, berusaha menghindar sekeras apapun, atau mengabaikannya sesering mungkin. Tapi percayalah, hatimu akan selalu peduli, hatimu akan selalu mengakui dan mengatakan kebenarannya, hatimu akan selalu berusaha untuk memperhatikannya, hal ini karena.. karena hatimu sudah jatuh cinta.

"Selamat hari ibu." Haniyatul memeluk erat tubuh ibunya. Tiada kue ulang tahun yang tersedia untuk menyambut hari yang penting itu. Karena Haniyatul tahu sekali jika ibunya tidak menyukai acara tiup lilin. Bahkan ulang tahun anaknya tidak pernah disambutnya. Menurut Aida, acara tiup lilin itu hanya budaya orang-orang barat. Budaya Islam itu cukup sederhana sekali. Mendoakan kebahagiaan anak di hari ulang tahunnya itu saja sudah cukup. Karena doa ibu adalah doa yang paling mustajab.

"Ini kado buat ibu," Haniyatul meletakkan bunga berserta potnya di hadapan sang ibu. Sudah tentu Aida senang bukan kepalang karena ia teramat menyukai bunga.

"Ya, Allah, Han. Kok repot-repot gini?" ujar Aida. Matanya berkaca-kaca. Sungguh terharunya ia saat ini.

"Tidak repot kok, Bu," Haniyatul berdalih.

"Harganya berapa?" tanya Aida pula. Ia sudah menilik tiap sisi bunga yang berada di hadapannya kini.

"Harganya Rp100.000,00 tapi, di kasi diskon menjadi Rp80.000,00," jelas Haniyatul.

"Ya, ampun, nak. Kemahalan ini," ucap Aida. Ia ingin marah karena anaknya membelikannya kado semahal ini. Padahal dengan uang Rp80.0000,00 itu bisa digunakan untuk belanja keperluan sekolah lainnya. Namun, disisi lain ia juga teramat menyukai bunga tersebut. Putrinya ini tahu benar jika ia menyukai bunga, berbagai jenis bunga yang Aida tanam di halaman rumahnya. Dan kini bertambahlah koleksi bunganya.

"Sekali-sekali, tidak mengapa kan, ibu?"

"Dari mana kamu dapat uang, nak?" Aida mulai menyelidiki sang anak.

"Beberapa bulan ini, uang jajan yang ibu berikan Hani tabung untuk beli kado buat ibu," jelas Haniyatul. Ia tidak ingin ibunya salah paham.

"Pantasan saja sering minta uang jajan, padahal bawa bekal ke sekolah," ujar Aida. Sedangkan Haniyatul sudah cengar-cengir sendiri.

Aida menggeleng perlahan. Kemudian, ia mengangkat pot bunga yang berada di hadapannya dan menuju ke halaman rumah diikuti oleh Haniyatul.

Setibanya di halaman rumah, Aida langsung meletakkan pot bunga tersebut diantara jejeran bunga-bunga yang lain.

"Nama bunganya apa, Han?" tanya Aida karena ia baru pertama kali melihat bunga spesies ini.

"Meichen bilang, bunga itu adalah bunga bulan Januari," sahut Haniyatul.

"Bunga bulan Januari?" Aida mengerutkan dahinya. Ia baru pertama kali mendengar nama bunga ini.

"Iya, Bu. Karena bunga ini akan mengeluarkan bunga tepat pada tanggal satu Januari," jelas Haniyatul. Tangannya bergerak kesana-kemari. Mirip seperti para pembaca berita di tv.

Aida manggut-manggut. Tampak wajahnya juga terlihat takjub dan penasaran dengan warna bunga tersebut. Tetapi, ia harus menunggu beberapa bulan lagi untuk bisa melihat bunga itu berbunga.

***

Haniyatul meletakkan kepalanya di atas meja belajarnya. Tangan kirinya dijadikan alas agar kepalanya bisa diletakkan di atas meja belajar dengan nyaman. Pandangannya mengarah pada jendela kamarnya, terlihat bulan di balik jendela kayu itu karena Haniyatul tak menutup jendelanya, maka samar-samar angin mulai menyapa jilbabnya.

Zaim tadi siang kok bisa ya ada di toko bunga? Batin Haniyatul. Tangan kanannya mengetuk-ngetuk pulpen di atas meja

Mau beli bunga untuk siapa? Batinnya lagi.

Haniyatul mengangkat kepalanya. Menghembuskan napas perlahan. Sepertinya otaknya benar-benar tidak beres. Sejak kapan ia tertarik dengan apa yang di lakukan oleh pria itu.

"Astagfirullahal'azim, mainan setan ini," Haniyatul bermonolog sendiri. Lalu bangkit dari posisi duduknya dan menuju ke kasur. Selimutnya ia tarik lalu membaca doa dan siap-siap untuk tidur. Ia tidak ingin terhanyut dalam mainan setan dengan terus menerus memikirkan lelaki itu. Jadi ia pun memutuskan untuk segera tidur.

Cklit!

Haniyatul mematikan lampu kamarnya. Dan bulan masih mengintip malu di balik jendela kayu.

.

.

.

.

Cklit!

Zaim membuka lampu kamarnya. Malam ini sungguh ia tidak bisa tidur. Dilihatnya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 12:00 malam. Ia hanya tidur beberapa menit saja. Segera ia bangkit dari pembaringannya dan menuju ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Ketika gelisah dan tak bisa tidur salah satu solusinya adalah mengerjakan shalat Sunnah, mungkin Allah sedang merindukan kita untuk menghadap padanya.

Kedua telapak tangan Zaim disatukan dan diangkat setinggi dada. Ia memohon pada sang pencipta. Menghilangkan segala keresahan hatinya, meningkatkan ketakwaannya, serta menjadikannya hamba yang shaleh dan taat pada Allah serta patuh pada kedua orang tua.

Setelah selesai berdoa, Zaim berjalan menuju kearah jendela kamarnya yang berbahan kaca. Ia masih memakai peci diatas kepalanya dengan tasbih di tangan kanannya. Jendelanya di buka perlahan hingga angin menerobos masuk dan mengenai wajahnya. Lelaki ini mendongak ke langit. Dilihatnya bulan yang bersinar terang, lebih terang dari hari- hari sebelumnya.

Kemudian, Zaim melihat kearah meja belajarnya. Diatas meja belajar tersebut terdapat foto seorang gadis yang sedang menulis dan lengkap memakai seragam sekolah. Bukan hanya satu foto saja, tapi ada beberapa foto lainnya dengan pose yang berbeda. Zaim tersenyum, ia tidak menyangka ia akan segila ini. Menangkap foto Haniyatul diam-diam, membuatnya mirip seperti seorang stalker.

Zaim melihat kembali ke arah bulan dengan sisa tawanya yang masih berada di bibir. Membayangkan kembali kejadian sebulan yang lalu.

"Baiklah, hari ini kelas XI. IPA 2 dan XI. IPA 1 akan di gabung untuk mengikuti mata-pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)," ucap Bu Aliza.

"Karena kelas XI. IPA 2 lebih besar dan ruangannya lebih luas, maka kelas XI. IPA 1 diminta untuk menuju ke ruangan XI. IPA 2," titah Bu Aliza.

Haniyatul mendengus kesal. Ia tak suka jika kelasnya digabung dengan kelas XI. IPA 2. Itu berarti ia akan sekelas dengan Zaim.

"Maaf, Bu." Ainul mengangkat tangannya. Meminta izin untuk bertanya.

"Iya, ada apa, Ainul?" tanya Bu Aliza. Guru itu sedang merapikan beberapa buku di atas mejanya.

"Kenapa harus digabung, Bu?" tanya Ainul. Ia juga tidak suka jika kelasnya digabung dengan kelas XI. IPA 2 disebabkan tidak ingin bertemu dengan Aydan, karena sekarang gadis itu sedang berada di fase berusaha untuk move on.

"Hari ini ibu ada acara keluarga, jadi harus pulang lebih awal dan kebetulan ibu mengajar SKI di jam ketiga di kelas ini dan jam keempat di XI. IPA 2. Jadi, ibu berencana untuk menggabungkan saja kedua kelas. Kebetulan juga kelas XI. IPA 2 sedang jam kosong karena guru yang seharusnya mengajar di kelas mereka sedang tidak masuk," jelas Bu Aliza.

"Ya, udah lah, Ainul, kita menurut saja," ujar Haniyatul. Ia sebenarnya tidak tahu alasan mengapa gadis itu tidak ingin ke kelas XI. IPA 2. Padahal dulu, sebut saja soal kelas XI. IPA 2 sudah membuatnya kegirangan.

Setiap siswa mulai membawa kursi mereka masing-masing, untuk digunakan di kelas XI. IPA 2 nanti karena memang kursi yang ada di kelas XI. IPA 2 hanya pas-pasan saja. Yakni sesuai dengan jumlah siswa di kelas tersebut.

Setibanya di kelas XI IPA 2, Haniyatul dan Ainul mulai mencari meja kosong, atau paling tidak meja yang tidak terlalu banyak penghuninya. Namun, sangat di sayangkan, hanya meja yang berada di hadapan Zaim saja yang dihuni oleh dua siswa. Selebihnya semuanya penuh dengan siswa lain. Dalam dua meja kadang terdiri dari empat siswa, dan hanya meja yang berada di depan Zaim saja yang dihuni oleh dua siswa. Mau tidak mau, Haniyatul dan Ainul tidak mempunyai pilihan lain. Ia terpaksa duduk di depan Zaim dan Mukhlis sedangkan Aydan berada di samping kanan meja Zaim. Kini siswa laki-laki mengambil posisi di barisan belakang dan siswa perempuan banyak yang mengambil posisi duduk di barisan depan. Tempat duduk antara siswa laki-laki dan perempuan malah tersusun teracak, karena jumlah siswa yang terlalu banyak digabungkan dalam satu ruangan.

Bu Aliza mengetuk-ngetuk meja dengan tangan. Berharap agar semua siswa diam dan memperhatikannya yang berada di depan. Namun, tidak ada siswa yang mendengarkannya.

"Han, Han!" Zaim mulai memanggil-manggil Haniyatul. Akan tetapi, Haniyatul hanya bergeming di tempatnya, bahkan tak menoleh sama sekali kearah Zaim.

"Han," Zaim tak ingin menyerah, ia menarik-narik kursi Haniyatul. Namun, Haniyatul tetap tak memperdulikan Zaim.

Brak!!

"Aduuuh!" Haniyatul mengadu kesakitan. Kini ia sudah berada di atas lantai. Sontak, semua mata mengarah padanya, suara yang tadi bising dengan obrolan disana sini, kini berubah menjadi gelak tawa dari setiap siswa.

Haniyatul menjeling tajam kearah Zaim. Mata Zaim melebar, mulutnya membentuk bulatan dengan setiap muaranya hampir saja bertemu. Ah, lagi-lagi lelaki ini berhasil membuat Haniyatul menjadi bahan tawa orang lain. Ainul mencubit sepupunya itu, lalu membantu Haniyatul untuk kembali berdiri.

"Kamu kelewatan, Za," ucap Ainul.

"Maaf, aku sungguh tidak sengaja," Zaim menyatukan kedua tangannya. Seperti sedang mengatur sembah.

Bu Aliza memukul meja dengan menggunakan sapu. Melihat raut wajah sang guru yang mulai murka. Setiap siswa pun mulai menutup mulut mereka rapat-rapat. Kelas XI. IPA 2 kembali sepi. Tidak ada siswa yang berani mengangkat bicara lagi.

"Saya mengumpulkan kalian di sini karena saya ingin mengadakan sesi debat antara dua kelas. Kelas XI. IPA 1 bisa memilih perwakilan mereka dan demikian juga dengan kelas XI. IPA 2. Ingat! Perwakilan kelas mana pun yang kalah dalam debat kali ini, maka seluruh siswa di kelas tersebut akan membersihkan toilet mulai besok pagi dan tiga hari ke depannya," ujar Bu Aliza.

Semua siswa mendadak panik karena mereka tidak mempersiapkan apapun, bahkan untuk materi debat itu sendiri mereka juga belum tahu.

"Saya beri waktu selama lima menit untuk mencari siswa yang akan mewakili kelas kalian masing-masing. Pilihlah dengan teliti karena jika salah pilih dan akhirnya kalah maka, konsekuensinya itu harus membersihkan toilet sekolah,"

"Han, kamu ya, wakili kelas kita," ucap Ainul yang disetujui oleh siswa lainnya.

"Yakin? Kalian yakin memilih aku?" Haniyatul memastikan.

"Iya," ucap Ainul. Siswa yang lain juga mengiyakan

"Emang, perwakilannya cuma bisa satu orang saja?" tanya Haniyatul. Ia berharap bukan Zaim yang menjadi lawan debatnya nanti

"Cuma bisa satu orang, Han," jelas Ainul.

Haniyatul tidak memiliki pilihan lain lagi. Teman-teman sekelasnya memandang kearahnya dengan penuh harapan.

"Baiklah," Haniyatul menyetujui untuk mewakili kelasnya dalam debat kali ini.

"Yang mewakili debat hari ini silakan maju," titah Bu Aliza.

Perwakilan dari kelas XI. IPA 1 maju duluan ke depan, yakni Haniyatul Qariah. Kemudian, perwakilan dari kelas XI. IPA 2 yaitu Muhammad Hazim Zaim. Haniyatul sudah menduga bahwa lelaki itu pasti akan mewakili kelasnya.

"Hal yang akan kalian perdebatkan hari ini adalah, jika kalian berada dalam posisi seorang ibu ataupun ayah, yang memiliki penyakit kanker tahap kronis, dan peluang satu-satunya untuk hidup adalah dengan operasi yang biayanya mahal. Namun, uang yang bisa kalian gunakan untuk melakukan operasi tersebut adalah uang biaya sekolah buat anak-anak kalian. Maka, apa yang akan kalian lakukan? Melakukan operasi dan anak-anak kalian tidak bisa sekolah dan terlantar? Atau melakukan operasi dan kalian bisa kembali sehat seperti semula," ujar Bu Aliza.

Zaim mengangkat tangannya.

"Iya, silakan," ucap Bu Aliza.

Ruangan kelas terlihat sepi, meski jumlah siswa yang mendiami kelas itu tidak sedikit jumlahnya. Ada Atmosfer ketegangan yang mulai menyelimuti.

"Jika saya berada di posisi tersebut maka saya akan menjalani operasi.

Haniyatul segera mengangkat tangan.

"Iya, silakan perwakilan dari kelas XI. IPA 1,"

"Jika saya berada di posisi tersebut maka saya akan memilih untuk tidak melakukan operasi," ucap Haniyatul.

Setiap siswa mulai berpandangan antara satu sama lain. Suasana kelas pun mulai memanas, ternyata dua kandidat tersebut memiliki pemahaman dan sudut pandang yang berbeda.

Mukhlis mulai mengeluarkan camilan dari tasnya. Sepertinya perdebatan kali ini akan berlangsung lama. Haniyatul benar-benar terbawa arus, ia menjadi serius dalam berdebat padahal, debat adalah hal yang paling tidak disukainya. Namun, hari ini berbeda karena lawan debatnya adalah Zaim.

_______________to be continued_______________

1
Ai
mampir, Thor
Tetesan Embun: terima kasih 🥰🙏
total 1 replies
👑Queen of tears👑
bakal sad boy ini zaim 🥴
👑Queen of tears👑
aku bersama mu aydan,,sm² penasaran 🤣🤣🤣
👑Queen of tears👑
nyeeessss/Brokenheart/
👑Queen of tears👑
huhf,,,😤
👑Queen of tears👑
ehmmm🧐
👑Queen of tears👑
kannnn rumit cinta segi delapan itu🧐😎
👑Queen of tears👑
menyukai dalam diam itu sungguh menyiksa kantong
👑Queen of tears👑
temannya aydan,,,mmm cinta segi delapan ini🧐
👑Queen of tears👑
banting Hani🤣🤣
👑Queen of tears👑
nikotin mulai keluar🤣🙈
👑Queen of tears👑
no Hani
but Honey hehehe gak sayang juga sih tapi madu hahahahaha 🤣✌️
👑Queen of tears👑
dingin..dingin tapi peduli m kucing😍
mmm...jdi pengen dipeduliin 🙈
👑Queen of tears👑
hmmmm,,aku mulai menemukan radar disini🧐🧐😎
👑Queen of tears👑
cinta pada pandangan pertama,,dari merangkak naik kemata/Drool/
Rinjani Putri
hallo KK author ijin tinggalkan jejak bintang ya disini
Tetesan Embun: silakan kak, makasih🤗
total 1 replies
Floricia Li
ketat bgt aturannya 😭
Floricia Li
lucu bgt hani 😭😭
Floricia Li
heh ngapain ditarik 🤣🤣
Floricia Li
lucuu bgt masi ada kunang kunang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!