Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 22 Kedatangan Mona
"Anda sudah pulang, Bu?" tanya pelayan saat menyambut Mona yang pulang kerumah setelah satu minggu pergi ke Medan.
Mona mengangguk.
"Saya mau langsung kekamar, Bi, pasti jam segini Mas Edwin belum bangun," kata Mona lalu melangkah masuk kedalam rumah.
Pelayan yang menyambut Mona kebingungan, dia ingin memberitahu Mona bila sudah satu minggu Edwin tidak pulang kerumah tapi tak enak karena melihat Mona yang sangat antusias ingin bertemu dengan Edwin.
Saat ini masih pukul 05.00 pagi. Mona baru saja tiba di Jakarta 30 menit yang lalu dan langsung pulang kerumah ingin bertemu dengan Edwin. Mona tentu saja paham alasan Edwin tidak pernah menjawab panggilan teleponnya dan membalas pesan yang dia kirim karena pria itu sedang marah.
Mona melangkahkan kakinya menaiki anak tangga, menuju kamarnya dilantai dua, meraih handle pintu dan membukanya.
Ceklek.
Kamar nampak gelap gulita tak ada pencahayaan sama sekali serta tercium bau khas ruangan yang sudah lama tidak ditempati.
Mona menghidupkan saklar lampu dan saat itu juga dia tak mendapati suaminya berada dikamar.
Mona menghampiri ranjang yang nampak rapih, meraba kasur yang terasa dingin ditangannya.
"Apa mas Edwin tidak pulang?" tanya Mona pada dirinya sendiri.
Mona mengambil ponselnya dari dalam tas lalu menghubungi Edwin. Tiga kali menelpon panggilannya tak dijawab oleh Edwin.
"Kenapa kamu jadi seperti ini, Mas, tidak biasanya kamu mengabaikan aku," lirih Mona menatap nanar pada layar ponsel yang menampilkan riwayat panggilan telepon yang tak pernah dijawab Edwin.
Mona melepas high heels dikakinya, mengganti dengan sandal rumahan. Meregangkan otot yang begitu pegal lalu menuju kamar mandi untuk mencuci muka, tangan dan kaki. Setelahnya Mona merebahkan tubuhnya dikasur yang terasa dingin. Rasa lelah dan mengantuk membuat Mona tidak terasa langsung terlelap.
Selama satu minggu di Medan Mona sangat sibuk mengurus karya lukisnya yang sedang bermasalah dan mengurus pekerjaannya sekaligus membuatnya jadi kurang beristirahat. Beruntungnya dalam satu minggu Mona berhasil menyelesaikan karyanya yang bermasalah jadilah dia bisa kembali ke Jakarta tepat di hari ke-7.
Pukul delapan pagi Mona mengerjapkan mata bangun dari tidurnya. Dia mengedarkan pandangannya kepenjuru kamar dan masih tidak mendapati keberadaan suaminya.
"Kamu tidur dimana, Mas?" gumam Mona. Dia turun dari ranjang langsung menuju kamar mandi, membersihkan diri disana setelah selesai, Mona segera bersiap dan keluar dari kamar.
Mona mendatangi meja makan untuk sarapan. Mengambil sandwich lalu memakannya.
"Mau dibuatkan teh, Bu?" tanya pelayan.
"Susu hangat saja," jawab Mona.
Pelayan itu mengangguk kemudian membuatkan Mona susu coklat hangat karena wanita itu memang menyukainya.
"Apa Mas Edwin tidak pulang kerumah, Bi?" tanya Mona pada pelayan yang sudah selesai membuatkan susu untuknya.
"Tidak, Bu. Pak Edwin sudah satu minggu tidak pulang kerumah," kata pelayan itu membuat Mona seketika tersentak.
"Satu minggu?" tanya Mona memastikan bila dirinya tidak salah dengar.
"Iya, Bu, satu minggu."
"Tidur dimana dia, Bi?"
"Saya kurang tahu, Bu," jawab pelayan itu apa adanya.
Mona mengangguk kemudian menyelesaikan sarapannya.
...****************...
Mona mendatangi restoran Hamara, dia bertanya lebih dulu pada salah satu karyawan Edwin menanyakan keberadaan pria itu direstoran.
"Pak Edwin baru saja datang, Bu, beliau ada diruangannya," kata karyawan itu.
Mona mengangguk kemudian melangkah masuk kedalam lift. Setelah tiba dilantai empat, Mona langsung menuju ruangan Edwin dan disinilah dia berdiri menghadap pintu ruangan Edwin yang tertutup.
Mona mengetuk pintu lebih dulu barangkali diruangan Edwin sedang ada klien.
"Masuk," sahut Edwin dari dalam ruangannya.
Pria itu sedang menatap layar laptopnya membaca email masuk dari klien yang akan membooking restorannya untuk acara anniversary.
"Mas," panggil Mona membuat Edwin mengalihkan pandangannya menatap pada seseorang yang baru saja masuk keruangannya.
Edwin bergeming memasang wajah datar tanpa ekspresi tapi sesungguhnya dia sangat merindukan istrinya, ingin memeluk dan menciumnya.
"Mas," panggil Mona lagi. Dia melangkah mendekat pada Edwin.
Edwin masih bergeming dia tetap duduk dikursinya tak menyambut Mona datang menghampirinya.
Tiba dihadapan Edwin, Mona langsung memeluk Edwin yang masih duduk dikursinya. Tangan Edwin menggantung dia ingin membalas pelukan Mona namun urung.
Mona mengurai pelukannya ditubuh Edwin lalu naik diatas pangkuan pria itu. Menangkup kedua sisi waja Edwin lalu mencium bibirnya, menggerakan lidahnya dan mellumatnya.
Edwin tak membalas ciuman dari Mona, dia hanya diam saja membuat Mona langsung melepas ciumannya.
"Kamu masih marah?" tanya Mona mengusap bibir Edwin yang basah.
Edwin menatap Mona yang duduk sendiri dipangkuannya padahal biasanya Mona tak betah duduk seperti ini karena lebih memilih bekerja.
"Kamu mengabaikan aku, mementingkan karir dan hobi kamu. Lalu aku tidak boleh marah?"
"Maaf, kamu tahu sendirikan kalau hobi dan karirku sudah melekat pada diriku? Bukannya selama ini tidak apa-apa kenapa akhir-akhir ini kamu jadi mempersalahkannya?"
"Karena aku sudah lelah, Mona. Aku lelah kamu abaikan, belum lagi orang tuamu yang tidak menyukaiku hingga melarangmu melahirkan anakku. Aku sudah lelah dengan ini semua, Mona."
"Jangan bicara seperti itu, Mas, kamu tidak ingat bagaimana perjuangan kita untuk bisa bersama?" tanya Mona namun Edwin hanya diam dan memalingkan wajahnya kearah lain.
"Aku pernah diusir dari rumah karena ketahuan menikah diam-diam denganmu. Kamu pernah masuk rumah sakit karena dikeroyok bodyguard papa. Kamu juga sudah berjuang memantaskan diri menjadi menantu papa. Dan masih banyak lagi perjuangan kita, Mas. Kamu tidak boleh menyerah."
"Percuma aku mengingat perjuangan kita, karena kamu juga tak menghargai aku, Mona. Aku masih bisa terima bila hanya orang tua kamu yang tidak menghargai aku tapi disini kamu juga tidak menghargai aku."
"Apa yang membuat kamu berfikir seperti itu? Aku menghargai kamu, Mas, aku juga menghargai kerja keras kamu," kata Mona.
Edwin menarik nafas kemudian menghembuskannya.
"Kamu tidak pernah menggunakan uangku, tidak pernah menerima bantuanku, kamu terlalu mandiri, Mona, aku merasa kamu tidak membutuhkan aku."
"Mas ...."
"Kamu juga tidak memprioritaskan aku, lebih mementingkan pekerjaan dan hobi kamu ketimbang aku. Aku sakit, Mona, kamu memperlakukan aku seperti itu," ucap Edwin.
"Maaf, Mas, aku tidak tahu bila sikapku itu menyakiti kamu. Aku pikir kamu baik-baik saja dengan itu semua, maaf," lirih Mona.
Edwin bergeming dia tak menanggapi perkataan Mona.
"Jangan menyerah ya, Mas," pinta Mona.
"Entahlah, Mon."
Edwin mendorong pelan pinggang Mona yang duduk dipangkuannya membuat Mona mau tidak mau turun. Setelah Mona turun Edwin bangkit dari duduknya melangkah menuju pintu keluar namun Mona memeluknya dari belakang membuat Edwin menghentikan langkah kakinya.
"Kumohon jangan menyerah, Mas," pinta Mona.
Edwin menghembuskan nafas berat, melepas tangan Mona yang memeluknya lalu melangkah keluar.