"Tidak ada yang namanya cinta sejati di dunia ini. Kalaupun ada, seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami." ~Liam
"Cinta sejati tak perlu dicari. Dia bisa menemukan takdirnya sendiri." ~Lilis.
Bagaimana ceritanya jika dua kepribadian yang saling bertolak belakang ini tiba-tiba menjadi suami istri?
Penasaran? Ikuti kisahnya sekarang ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Ramainya Rasa
...----------------...
Liam membawa pulang Lilis yang masih dalam mode marah. Selama perjalanan, tak ada satu pun kata yang terlontar dari mulut perempuan tersebut, membuat Liam sedikit takut. Namun, Liam tidak mau memulai percakapan di jalan, jika nantinya akan berujung pertengkaran. Maka, lebih baik Liam menahan diri sampai mereka tiba di rumah.
Keduanya pun sama-sama diam sampai mereka tiba di rumah Liam. Ketika mobil Liam sudah terparkir rapi di garasi mobil, Lilis langsung turun mendahului suaminya. Namun, baru beberapa langkah kaki Lilis menginjak lantai marmer di bagian depan rumah itu, seorang tetangga Lilis tiba-tiba datang bertamu.
"Neng Lilis ke mana aja?" tanya tetangga Lilis yang bernama Dona. Perempuan paruh baya yang selalu berlagak kaya di kompleks mereka.
"Ada apa, ya, Bu Dona?" tanya Lilis sambil mengernyit kening. Tumben sekali tetangganya itu menyapa Lilis dengan sopan. Biasanya, Dona selalu sibuk memamerkan hartanya dengan gaya yang arogan.
Dona pun berjalan mendekati Lilis, sedangkan Liam masih berdiri memperhatikan dua perempuan beda usia itu sedikit agak jauh.
"Ehm ... gini, Lis. Waktu itu kamu pernah ngerias anaknya Bu RT, kan? Katanya dia menang lomba jadi modelnya, ya?"
"Iya," jawab Lilis mengingat jasanya pada Rara—anaknya Ketua RT di kompleks itu.
"Lilis mau nggak bantuin saya? Anak saya mau ikutan lomba modeling juga dan saya mau Lilis yang merias wajahnya Dita, anak saya. Bisa, ya. Nanti saya bayar, deh," pinta Dona.
Lilis mengernyitkan keningnya. Dia ingat betul jika perempuan itu pernah menghina dirinya yang tidak punya pendidikan merias wajah waktu itu.
"Maaf, Bu Dona. Bukannya dulu Ibu pernah menghina istri saya, ya?" Liam menginterupsi, membuat pandangan Lilis beralih pada lelaki itu.
Lilis lebih bingung dari mana lelaki itu bisa tahu tentang hal tersebut? Padahal, ketika Dona menghinanya, Liam tidak ada di sana.
"Ehm ... itu ... saya minta maaf untuk itu, Mas Liam. Itu, kan, udah lama, Mas. Masa masih diinget-inget aja, sih?" tutur Dona merasa malu.
Liam tersenyum pelik lalu berdiri menghalangi tubuh istrinya. "Walaupun udah lama, tetap saja Anda sudah menghina istri saya," tutur Liam berusaha melindungi istrinya.
"Loh, kenapa jadi Mas Liam yang marah. Lilisnya aja biasa aja."
"Jelaslah saya marah. Dia istri saya!"
Lilis sontak terkesima mendengar Liam berkata seperti itu. Jantungnya berdegup kencang dan pipinya pun tersipu.
"Ya, saya tahu Lilis istri kamu, tapi tanya dulu Lilisnya. Kali aja dia mau. Bayarannya gede, loh. Saya itu nggak kayak Bu RT yang cuma bisa bayar seadanya. Gimana, Neng Lilis? Mau, kan, merias wajah Dita?" Dona berkata sambil menatap wajah Lilis.
Lilis berpikir sejenak. Sebelumnya dia mendengar kalimat Dona yang kembali mengeluarkan hinaannya. Memang bukan ditujukan pada Lilis, tetapi entah kenapa rasanya tetap sakit hati.
"Punten, atuh, Bu Dona. Lilis mau bantu kalau suami Lilis juga mengizinkan," jawab Lilis sambil tersenyum pada sang suami.
"Oke, kalau memang kalian nggak mau bantu saya, saya juga nggak maksa. Saya masih bisa bayar salon yang mahal buat ngerias anak saya biar cantik dan bisa menang lomba itu. Lihat aja!" Dona kesal dengan sikap sepasang suami istri yang menolak permintaannya itu. Lantas pergi begitu saya setelah menghentakkan kakinya.
Kini, tinggal Lilis dan Liam yang berdiri canggung. Sikap mereka tadi seperti pasangan yang akur, padahal mereka seperti habis bertempur. Hening sejenak melingkupi atmosfer di tempat itu sampai Liam yang tadinya membelakangi Lilis kini berbalik badan.
Lilis jadi salah tingkah ditatap oleh suaminya. Perempuan itu pun langsung melengos pergi guna menghindari tatapan tersebut.
"Tunggu, Lis!"
Langkah Lilis terhenti karena tangannya dicekal oleh sang suami. Tubuh perempuan itu pun berbalik lagi.
"Apa?" tanya Lilis ketus.
Liam menghela napas kasar lalu melepaskan tangan Lilis. Dipandanginya perempuan itu dengan lekat sebelum dia berucap, "Kamu masih marah?"
Kedua sudut bibir Lilis berkedut merasa ragu untuk berkata. Jujur, hatinya masih sakit hati dengan perkataan Liam di rumah kakeknya, tetapi pembelaan Liam barusan juga membuat hatinya sedikit terenyuh. Sukses juga membuat jantungnya bergemuruh.
"Kalau kamu masih marah, aku minta maaf lagi, ya! Aku mohon ...." Liam memelas. Sepertinya dia sudah sadar dan membuka hatinya untuk cinta.
"Ay teh nggak lagi pura-pura, kan?" tanya Lilis memastikan.
Liam mendekatkan tubuhnya dengan sang istri. Kedua tangannya menggenggam telapak tangan Lilis begitu romantis. Hal itu sukses membuat hati Lilis jadi kembang kempis.
"Aku nggak lagi pura-pura, Lis. Aku sadar, sesadar-sadarnya," ucap Liam begitu yakin.
Lilis tertegun sambil mengerjap kaku. Tatapan lelaki itu sungguh membuatnya malu.
"Oke, Lilis coba buat percaya. Lilis maafin Ay, tapi kalau kejadian kayak tadi berulang, Lilis bakalan pergi beneran." Lilis melepaskan tangan Liam karena tidak tahan dengan sorot mata Liam yang membuatnya semakin jatuh cinta. Dari awal pertemuan mereka, sorot mata itulah yang membuat Lilis terpedaya. Lilis takut tidak bisa menahan diri untuk tidak menggoda suaminya lagi. Mereka baru berdamai, masa iya Lilis langsung kegatelan. Namun, kalau kegatelannya sama suami sendiri, boleh, kan?
Akan tetapi, Liam tak membiarkan Lilis pergi. Tangan yang ingin dilepas malah ditarik lagi. Alhasil, jarak tubuh mereka menjadi sangat dekat, bahkan menempel dan tanpa jarak.
Lilis membeku dalam pelukan suaminya. Pipinya merona seperti buah delima. "Ay, jangan gini. Ini masih di luar. Malu," ucap Lilis sambil menoleh ke sekitar. Ia takut jika ada orang lain yang tiba-tiba melintas di depan rumah itu.
"Kalau gitu kita masuk dulu. Tunggu di sini sebentar!"
Liam melepaskan Lilis lalu bergegas membuka pintu dengan kuncinya yang diambil dari saku. Setelah itu, lelaki itu kembali menghampiri Lilis lagi, lalu menggendong perempuan itu ala Bridal Style.
"Ah!" Lilis memekik kencang, tetapi langsung memeluk leher Liam. Perempuan itu takut terjatuh.
"Sstt ... jangan teriak! Nanti tetangga pada denger, dikira aku KDRT sama kamu," seru Liam sambil tersenyum menyeringai.
Senyuman itu terlihat aneh di mata Lilis. Bagaimana tidak, selama ini dirinyalah yang selalu menggoda Liam dengan berbagai cara, tetapi pertahanan Liam tidak pernah bisa ditembus oleh Lilis. Kini, ketika sifat asli kelelakian Liam muncul, keberanian Lilis tiba-tiba luntur.
"Tapi ...."
"Katanya malu kalau di luar? Ayo, masuk!"
Yang diajak Liam tentu saja ikut. Bagaimana tidak karena Lilis tak bisa kabur dari gendongannya tersebut. Liam menutup pintu dengan menggunakan kakinya, lalu membawa Lilis ke ruang keluarga.
Sofa panjang nan empuk menjadi tempat landasan Lilis. Tubuh sexinya sedikit memantul ketika Liam melemparkan perempuan itu di atasnya.
Lilis beringsut mundur ketika tubuh Liam bergerak hendak mengungkungnya. Apa kabar dengan jantung perempuan itu? Tentu saja berdegup kencang. Lilis berusaha tetap sadar agar rasa gugupnya itu bisa dikendalikan.
"Ka-kamu ... mau ngapain?"
Liam menaikkan kedua alisnya sebelah. Dia mengingat kegigihan Lilis ketika datang menggoda. Tiba-tiba saja senyuman cerah terbesit di bibirnya.
"Kenapa? Bukannya kamu suka? Waktu itu kamu begitu semangat melakukan ini. Kenapa sekarang nggak mau?"
Lilis menelan ludahnya susah payah. Waktu itu dia tidak berada di posisi Liam. Ternyata seperti ini rasanya digoda seseorang. Manis, asem, asin, begitulah ramainya rasa yang Lilis rasakan sekarang.
...----------------...
...To be continued...
Mampir thor 🙋
mimpi ternyata
pengen narik rara