Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Setelah prosesi tukar cincin yang sakral dan in-tim, Nara dan Devan resmi menjadi suami istri. Suasana haru dan bahagia menyelimuti ruangan terbuka yang dihias bunga-bunga asli itu. Namun, di balik senyum Nara, sebuah keraguan masih tertinggal.
“Nara, akhirnya kita berhasil menikah,” kata Devan, suaranya lembut. “Apa sekarang kamu bisa merasa lega? Dari tadi wajahmu tegang banget, sampai bikin aku lupa secantik apa kamu kalau tersenyum.” Devan menggoda Nara, mencoba mencairkan suasana.
Nara berusaha tersenyum, tetapi raut wajahnya masih menunjukkan keraguan. Pertanyaan tentang hubungan Devan dan Endra masih menghantuinya.
Tiba-tiba, Devan mencium bibir Nara. Tanpa aba-aba, dan tanpa kode sama sekali.
Nara tersentak, hampir saja melepaskan diri, tetapi tangan Devan sudah menahan pinggangnya. Ciuman itu terjadi begitu saja, di depan para tamu undangan yang menyaksikan dengan riuh rendah.
Devan baru melepaskan ciuman itu setelah mendengar tepuk tangan dan sorak sorai para tamu. Ia menatap Nara, tersenyum.
Nara merasa malu luar biasa karena berciuman di depan banyak orang.
Melihat rona merah itu, Devan dengan sigap memeluk Nara, menyembunyikan wajah istrinya di dada. Pelukan itu terasa hangat, tetapi tak mampu sepenuhnya menghilangkan keraguan yang masih menghantui hati Nara.
Devan menggenggam tangan Nara, jemarinya terasa hangat dan menenangkan di tengah debaran jantung Nara yang masih belum sepenuhnya reda. Mereka menyusuri kerumunan tamu, seakan terapung di lautan wajah-wajah tersenyum dan ucapan selamat.
Aroma makanan yang lezat dan musik meriah menjadi latar belakang perjalanan mereka menuju orang tua Nara. Doa restu dari orang tua Nara terasa seperti embun pagi yang menyejukkan, mengurangi beban keraguan yang masih membayangi hati Nara.
Selanjutnya, mereka menuju orang tua Devan. Mama Devan, wanita berparas anggun dengan senyum ramah, memeluk Nara dengan erat. “Akhirnya, aku punya teman belanja, makan-makan, dan jalan-jalan!” ujarnya, suaranya riang dan penuh kasih sayang. Pelukan itu terasa hangat, menghilangkan sedikit demi sedikit rasa canggung dan keraguan Nara.
“Iya, Tante … eh, maksudnya Mama,” kata Nara, tersenyum canggung. Ia masih sedikit kesulitan memanggil Mama Devan dengan panggilan "Mama" karena belum terbiasa.
“Panggil Mama aja, Sayang! Kamu kan udah jadi anak Mama sekarang,” sahut Mama Devan, matanya berbinar.
Suasana hangat dan akrab langsung tercipta. Bahkan Oma Devan, yang sebelumnya terlihat dingin dan garang, kini tersenyum lembut, memberikan restu dengan tatapan yang penuh makna. Namun, di balik senyum itu, Nara menangkap kilasan kecemasan yang samar di mata sang Oma.
“Nara, kita harus sapa tamu yang lain,” kata Devan, berniat membawa kabur istrinya dari Mama dan Omanya.
Devan kini menggandeng tangan Nara, menuntunnya menyapa para tamu yang mulai menikmati hidangan. Saat mereka melewati kerumunan, tatapan Devan bertemu dengan tatapan Endra.
Endra, yang dipaksa istrinya untuk menghampiri mereka, memandang Devan dengan tatapan tajam dan penuh kebencian. Devan membalasnya dengan tatapan yang sama intensnya, tetapi ada sesuatu yang berbeda.
Di balik tatapan tajam itu, sesuatu yang aneh dan tak terdefinisi berkelebat. Sebuah kilatan yang singkat, tetapi cukup untuk membuat Nara merasakan sebuah kejanggalan. Senyum Devan tampak sedikit memudar, diganti oleh ekspresi yang sulit diartikan.
Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang membuat Nara bertanya-tanya, siapakah sebenarnya Devan yang ia nikahi hari ini?
Suara Renata, nyaring dan ceria, menarik perhatian Endra dan Devan dari tatapan mata mereka yang menegangkan. Ia menghampiri Devan dan Nara, tersenyum lebar. “Selamat ya, Kak Nara, Kak Devan! Semoga kalian selalu langgeng dan bahagia.” Ia kemudian memperkenalkan Endra pada Devan.
Devan mengulurkan tangan, tetapi senyumnya terasa dipaksakan, kaku dan tak sampai ke matanya. Tatapan matanya pun terasa kosong, seaakan ada penghalang tak terlihat di antara mereka.
Sebuah perubahan halus, tetapi cukup kentara bagi Nara yang memperhatikannya dengan seksama. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dari Devan yang dikenalnya.
“Selamat untuk pernikahan kalian,” kata Endra saat menjabat tangan Devan, suaranya datar dan tanpa emosi.
Devan hanya berdehem pelan, suaranya terdengar sedikit lebih berat dan dalam dari biasanya. Ia mengalihkan pandangannya sejenak, seakan menghindari tatapan Endra.
Nara, yang merasakan ketegangan di antara mereka, dengan sigap menggenggam tangan Devan. Sentuhannya terasa lembut menyentuh jari-jari Devan yang terasa dingin dan sedikit kaku di genggamannya.
“Kalian nikmati makanannya, ya,” kata Nara, suaranya sedikit gemetar. Ia berusaha agar suaranya terdengar tenang, tetapi tangannya gemetar. “Aku sama Devan harus ganti baju dulu untuk persiapan pesta malam nanti.”
Nara menarik tangan Devan, tetapi Devan tampak tak memberikan perlawanan, seperti patung yang ditarik. Ia meninggalkan Endra yang masih berdiri di sana, tatapannya masih tertuju pada mereka.
Nara merasakan sebuah firasat buruk, sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar ketegangan antara Devan dan Endra.
Di kamar, suasana tenang menyelimuti Nara dan Devan. Kelelahan tampak jelas di wajah Devan yang kini menjatuhkan tubuhnya di sofa.
Nara memecah kesunyian di dalam kamar yang canggung. “Devan,” suaranya lembut, “tadi … kenapa kamu bersikap dingin sekali pada Endra? Dan kenapa Endra menatapmu dengan kebencian seperti itu?”
Pertanyaan Nara membuat Devan terdiam sejenak. Ia merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak biasa. Sebuah perasaan tidak nyaman yang dalam, seperti sebuah bayangan yang menggelayut di pikirannya. Untuk pertama kalinya, Devan menyadari ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak beres dengan dirinya sendiri.
Nara, yang melihat keraguan dan kegelisahan Devan, melanjutkan pertanyaannya. “Devan, aku penasaran … apa sebenarnya hubunganmu dengan Endra? Aku melihat ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketidaksukaan biasa di antara kalian.”
Devan menghela napas panjang, matanya tampak sayu dan lelah. Ia mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan pikirannya yang terasa berantakan.
“Papaku … adik tirinya papa Endra,” ujarnya, suaranya terdengar berat dan lesu. “Keluarga kami dan keluarga Endra … tidak pernah akur. Apalagi setelah Kakek meninggal.”
Devan terdiam, suaranya tercekat. Ia tampak sangat lelah, baik secara fisik maupun emosional. Rahasia keluarga yang terungkap ini, justru semakin menambah beban yang ia rasakan. Pria itu menyadari ada sesuatu yang jauh lebih besar dan rumit yang perlu dihadapinya.
Nara tampak keheranan melihat Devan yang terlihat sangat lelah, jauh melampaui kelelahan biasa setelah hari yang panjang. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin kentara, dan napasnya terdengar berat. Padahal, acara pernikahan mereka masih belum selesai.
Dengan penuh perhatian, Nara mendekati Devan yang kini terbaring di sofa dengan mata terpejam. Rambutnya sedikit berantakan, menambah kesan lelah dan rapuh.
“Dev,” suaranya lembut, dipenuhi kekhawatiran, “kamu kenapa? Kamu sakit?” Ia berusaha memegang kening Devan untuk memeriksa suhunya, tetapi Devan tiba-tiba membuka mata, tatapannya tampak kosong dan jauh.
Sebelum Nara sempat menarik tangannya, Devan menariknya ke dalam pelukan yang erat. Pelukannya begitu kuat, seakan membutuhkan pegangan yang kuat untuk menopang tubuhnya yang lemas.
“Aku … aku nggak tahu kenapa,” bisik Devan, suaranya hampir tak terdengar, “Rasanya … aku sangat lelah … sangat, sangat lelah. Berikan aku energimu, Nara…” Suaranya terdengar seperti memohon, seakan membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar istirahat.
Pelukannya semakin erat, menunjukkan kelelahan dan kerentanan yang mendalam.
Nara terpaku, merasakan sesuatu yang aneh dan mencemaskan dalam pelukan Devan. Ini bukan hanya kelelahan fisik biasa, ada sesuatu yang lebih dalam yang belum ia mengerti.
“Aku butuh lebih dari pelukan,” kata Devan seraya membalik posisi sehingga kini Nara yang tertidur di sofa, dan dia ada di atas tubuh Nara.
“Kamu … kamu mau apa, Devan?”
***
Kalau aku sih mau like komen aja yang banyak 😂😂
kak semangat up nya,,klo bisa yg banyak up nya😁
udah dilarang bejerja di oerusahaan suami tapi tetap dilanggar