“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Flashback Ara—Harry.
Setelah bertahun-tahun mengikhlaskan luka dari cinta pertamanya—Elan Wiratama—Ara akhirnya membuka hatinya untuk seseorang yang terlihat lebih tenang dan menjanjikan. Harry. Bukan pria yang kaya raya, bukan pula lelaki yang punya pekerjaan, tapi entah kenapa, ada rasa nyaman yang tumbuh setiap kali Harry menggenggam tangannya, atau menatapnya dengan cara yang begitu meyakinkan.
“Nggak terasa, udah 100 hari aja kita jadian, Ar. Terimakasih ya, kamu sudah mau memberi aku kesempatan untuk berlabuh dihatimu. Aku janji, aku nggak bakalan nyia-nyiain kamu.”
Meski saat itu Harry masih pengangguran, keluarga Ara sama sekali tak memandangnya rendah. Ayah Ara, Pak Gantara, yang seorang pedagang ayam, justru menyukai cara Harry memperlakukan putrinya. Sopan, hangat, dan tak pernah abai.
Begitu pula dengan Bu Farida, ibu Ara, yang tak pernah keberatan jika anaknya membantu Harry mencarikan pekerjaan—karena baginya, itulah cinta, saling mendukung—saat yang satu belum bisa berdiri tegak. Benar bukan?
Sampai suatu hari, surat lamaran yang dikirimkan Ara melalui email pencari kerja berbalas kabar baik. Harry diterima disaat-saat pria itu sudah benar-benar putus asa.
“MAS HARRY, KAMU DI TERIMA!” Ara membentangkan kedua tangannya. “Selamat ya!”
Harry lekas menyerbu tubuh Ara, memeluknya dengan erat.
“Makasih ya, Sayang. Ini semua berkat kamu. Padahal, Mas udah nggak mau berharap apa-apa lagi. Tapi, kamu begitu gigih. Diam-diam, kamu tak menyerah—mengirim email lamaran kerja ke sana ke mari. Padahal, seharusnya aku yang berusaha lebih giat.”
Senyum mereka mengembang malam itu, seperti baru saja memenangkan hadiah paling berharga.
Namun, tak lama setelah kabar baik itu datang, kabar buruk pun menyusul. Pak Gantara jatuh sakit. Kondisinya sangat kritis.
Dan dalam keadaan lemah, di ranjang rumah sakit, Pak Gantara memandang putrinya dengan mata yang sayu.
“Ara ... mungkin, hidup Ayah ... nggak bakalan lama lagi. Maka dari itu, Ayah hendak mengutarakan permintaan terakhir Ayah.” Pak Gantara menatap sendu pada Ara, lalu beralih pada Harry.
Ara terisak, dadanya sesak. “Ayah, jangan bicara seperti itu, Yah. Ara ... Ara nggak sanggup kehilangan Ayah!” Air matanya terjun bebas, menetes deras.
“Apa yang ingin Ayah inginkan?” tanya Harry lembut. Sepulang bekerja, Harry langsung menjenguk ayah dari sang kekasih.
Napas Pak Gantara mulai sengal. ”Ayah ingin ... Ara untuk segera menikah. Mungkin ini terdengar memaksa. Namun, Ayah nggak bisa pergi dengan tenang kalau Ara belum menikah. Ayah ingin ... Ara berada dalam perlindungan seseorang saat Ayah tak bisa lagi melindunginya. Setidaknya ... jika Ayah pergi, Ayah bisa tenang … karena Ara punya seseorang yang menjaganya.”
“Yah, kalau untuk urusan menjaga—kan ada Iraz,” sanggah Ara lemah.
“Ini berbeda, Ara. Ayah yakin, kamu pasti paham betul maksud dari permintaan Ayah.”
Ara menunduk, kalimat itu menghantam kalbu. Membuat malam itu tak hanya penuh air mata, tapi juga doa-doa yang diam-diam dikirim Ara ke langit—agar permintaan terakhir itu bisa ia penuhi, meski hatinya masih remuk melihat ayahnya terbaring begitu rapuh.
“Harry akan mengabulkan permintaan Ayah.”
Tanpa pikir panjang, Harry langsung menyetujui permintaan Pak Gantara. Ia bahkan tak butuh waktu lama untuk mengatakan iya. Karena, sejak awal, ia memang mencintai Ara lebih dari apa pun. Apalagi selama ini—Ara sudah banyak membantunya. Anggap saja, ini sebagai bentuk balas budi.
Namun, tidak semua orang menyetujui keputusan Harry.
Bu Syam, ibunya Harry, menolak mentah-mentah. Baginya, keluarga Gantara terlalu—biasa saja, jika harus disandingkan dengan keluarganya. Suaminya seorang PNS, sedangkan dirinya—seorang guru TK.
Sementara ayah dan ibunya Ara? Ayahnya hanya seorang pedagang ayam—sekarat pula. Sedangkan ibunya? Hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Adiknya pun hanya kuliah di kampus yang—tak terkenal namanya.
Bu Syam benar-benar tak rela, jika anak yang ia besarkan dengan susah payah itu—malah menyerahkan hidupnya pada gadis yang keluarganya sangat tak setara.
Namun, Harry yang sudah bucin—tentu tidak menyerah begitu saja.
“Kalau Ibu masih juga enggan merestui, Harry nggak akan sudi menikah dengan perempuan manapun, Bu. Biarin jadi perjaka tua!” ancam Harry malam itu, sepulang ia dari rumah sakit.
Malam itu, perdebatan sengit antara Bu Syam dengan anak laki-lakinya itu pun tak terelakkan—wanita paruh baya itu akhirnya mengalah. Namun, tentu saja tidak gratis. Bu Syam menyodorkan satu syarat:
“Baik, kalau kamu masih kekeuh untuk menikah dengan wanita miskin itu, silahkan! Tapi, kamu nggak boleh melupakan Ibu. Kamu tau kan—membesarkan kamu itu nggak gratis, Harry. Membiayai pendidikan mu hingga selesai menjadi sarjana—tentu sudah menghabiskan banyak modal kami—selaku orang tuamu. Tentu kamu nggak mau kan, jadi anak durhaka? Kamu nggak mau kan, jadi anak yang nggak berbakti?”
Harry menggeleng. “Tentu aja nggak mau, Bu ...,” lirihnya.
“Kamu harus berbakti sama Ibu dan Ayahmu dulu, Harry. Sekarang, dengarkan permintaan ibu—separuh dari gaji kamu, harus kamu berikan ke Ibu. Dan ... Ibu mau, kamu harus selalu memihak Ibu—apapun yang akan terjadi di kedepannya nanti.”
Harry tertegun sejenak. Akan tetapi, akhirnya ia mengangguk setuju. Mungkin karena terdesak waktu. Mungkin karena ia juga tak ingin di cap sebagai anak durhaka.
Namun, satu hal yang Harry tidak tau ... kesepakatan yang dibuatnya malam itu—justru menjadi salah satu penyebab pondasi rumah tangganya rapuh, menjadi bibit konflik yang diam-diam tumbuh menjadi belukar. Karena pada akhirnya, Harry yang terlihat sebagai pria yang “berusaha adil” untuk membalas budi pada ibunya dan Ara, kenyataannya—ia hanya mampu berdiri pada satu sisi.
Dan jelas, sisi itu adalah di sisi sang ibu, Syamsinar.
“Sebaiknya, kamu mulai resign, Dek. Mas maunya kamu fokus ngurus rumah tangga aja.” Pinta Harry usai mereguk nikmatnya dunia bersama Ara, yang hari ini baru saja sah menjadi istrinya.
Ara yang awalnya bekerja, serta memiliki gaji yang cukup, akhirnya mempercayakan perekonomian rumah tangganya kepada Harry—sang suami.
Wanita itu rela melepas karirnya demi keutuhan rumah tangga—namun, malah terjebak dalam hubungan yang timpang kuasa.
Dan kesepakatan yang dibuat Harry dan Bu Syam diam-diam itu—membuat Ara seperti “orang nomor dua” di rumahnya sendiri.
...****************...
Malam itu, setelah perdebatan sengit di rumah Bu Syam, Ara menginap di rumah ibunya—Farida.
Ara merebahkan kepalanya di pangkuan sang ibu. Air matanya berlinang setelah menceritakan semua hinaan yang ia dapatkan selama ini.
“Bu ...,” suara Ara terdengar lirih dan sedih. “Apa sebaiknya, Ara cerai saja ya, Bu?”
Bu Farida terhenyak. Tentu ia mengerti perasaan sang putri. Namun, membayangkan putrinya harus menjadi janda di usia yang terbilang—masih muda, sungguh ia tak rela.
Bu Farida membuka mulutnya, hendak memberi nasehat. Namun, niatnya itu urung ketika mendengar suara pintu di ketuk.
Ara menoleh ke arah pintu, dengan malas ia pun beranjak bangun dari pangkuan sang ibu. Jelas ia tau, siapa gerangan yang datang.
“Bu ... Ibu aja deh yang buka pintunya. Ara males banget liat mukanya.” Pinta Ara dengan sorot mata memohon.
Bu Farida menggeleng-geleng, tetapi lekas berdiri. Wanita paruh baya itu melangkah pelan dan segera membuka pintu.
Namun, begitu pintu terbuka, keningnya langsung berkerut—sambil memindai sosok yang berdiri di depannya.
“Siapa, Bu?” tanya Ara yang menyusul di belakang. Begitu melihat siapa yang datang, manik Ara membulat—dadanya bergemuruh hebat.
.
.
.
“Harry, muka mu kenapa—bonyok begitu?!”
*
*
*
pinisirinnnnnn🤭🤭🤭