Kayshan shock mendengar diagnosa dokter atas Gauri, otaknya berpikir cepat untuk melakukan serangkaian prosedur medis demi kesembuhan sang anak.
Masalah timbul ketika Kay harus mencari ibu kandung putrinya. Geisha pasti akan menolak sebab teringat masa lalu pernikahan mereka. Gauri adalah pembawa petaka baginya saat itu.
Semua kian runyam manakala Gauri menolak tindakan medis dan menutup diri, Kayshan terpaksa mendatangkan seseorang untuk membujuk Gauri agar bersedia berobat sembari terus meyakinkan Geisha.
Siapa sosok lembut yang akan hadir? Mampukah dia membuat Gauri luluh? Apakah segala upaya Kayshan berhasil?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Qiev, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22. PERASAAN ELEA
Bada isya.
Eiwa mengetuk pintu ruang baca sang ayah karena tak melihat beliau sejak turun mimbar tadi.
Tok. Tok.
Sahutan Efendi terdengar, menyilakan putrinya yang tengah hamil trimester kedua itu masuk ke ruangan, Eiwa lalu duduk di hadapan sang ayah.
Efendi yang mengenal karakter putrinya ini paham betul bahwa Eiwa pasti ingin menanyakan kondisi adik satu-satunya.
"Kenapa merahasiakan tempat peristirahatan Elea. Apakah aku punya salah dengan Buya atau Elea?" tanya Eiwa terus terang, memandang wajah teduh Efendi yang masih membaca Al Hikam.
Efendi menjeda, melihat ke arah Eiwa lalu menutup kitab. Dia menarik nafas pelan, seakan menggambarkan bahwa otaknya tengah mencari kata yang pas untuk mengelak.
"Bukan merahasiakan. Hanya tidak ingin kamu terlalu capek. Ngajar, ngatur jadwal piket dan susun menu makan, ngurus rumah tangga juga. Bentar lagi, anakmu lahir. Kondisi ibu kan harus sehat," tutur Efendi.
"Ah, itu sih pengalihan Buya saja. Aku merasa ada yang salah dengan El. Buya, dia dan akang saling suka, ya?" cecar Eiwa, masih tak beralih pandang.
Efendi kali ini melepas kacamatanya, dia mengusap wajah seraya ujung jari telunjuk memijit pangkal mata.
"Jangan berprasangka." Efendi menunduk, berpura merapikan beberapa buku bacaan di atas meja.
"Aku tahu. Tapi bukan sepenuhnya salahku, kan? keluarga akang yang memilihku dibandingkan Elea, gak adil rasanya jika aku harus menanggung rasa tak enak hati," ujar Eiwa lagi. Kesal sebab Efendi seakan menutupi fakta.
"Adikmu sakit. Gak mau nambahin beban kamu. Sudah, itu saja. Eiwa, bukankah impianmu memang ingin menjadi istri Farshad? sudah tercapai, kan? maka sepatutnya jaga dan layani suamimu dengan baik. Fokus pada kewajiban istri. Urusan perasaan Elea bukan kewenangan kalian berdua." Efendi membuat penegasan kali ini.
Pemilik As-Shofa di hadapkan pada pilihan sulit kala itu. Dia tahu bahwa Elea menaruh suka pada Farshad, begitupun sebaliknya. Tapi alasan pria itu memilih Eiwa lantaran desakan ibunya. Efendi memutuskan berdiri di depan si putri bungsu yang terluka.
Dia tiada kuasa menahan Elea kala putrinya meminta menghilang beberapa waktu. Efendi dilanda rasa bersalah hebat, dan hanya dapat menahan rindu serta keyakinan bahwa Elea akan pulang suatu saat nanti.
"Buya selalu saja belain El!" rajuk Eiwa, menghentakkan kaki.
"Eiwa! Nyai!" sebut sang ayah tapi tak digubris Eiwa.
Efendi hanya menarik nafas panjang dan berat saat Eiwa bangkit dan keluar dari ruangannya.
Lelaki jelang usia senja itu ikut keluar dari sana lalu menuju garasi. Efendi ingin mengunjungi Elea dan bermalam di sana. Brio hitam pun meluncur perlahan meninggalkan Majlis.
Tak butuh waktu lama, city car yang cocok di jalanan sempit itu tiba di padepokan. Suasana kampung begitu kental terasa. Bunyi ban bergesekan dengan batu kerikil di halaman, menyambut mobil Efendi masuk.
Rumah panggung dengan dinding setengah permanen, terbuat dari anyaman bambu dan papan kayu bersusun mengelilingi fasad depan hunian hingga bangunan utama. Tampak hangat dan serasi dengan sekitar.
Suara gemericik air dari kolam ikan di taman, bel angin yang gemerincing tertiup angin malam, menyambut kedatangan Efendi. Suasana tenang, rimbun pepohonan, pas seperti yang Elea butuhkan agar fisiknya cepat pulih.
Kusni, penjaga rumah menyambut pemilik hunian. Dia membukakan pintu sang pengemudi agar Efendi leluasa turun dari mobilnya.
"El sudah tidur, Mang?" tanya Efendi.
"Belum, Kang. Masih di depan lektop," jawab Kusni, berjalan mengiringi majikannya.
"Gak usah nyuguhin apa-apa. Saya nginep di sini nemenin El. Gih, istirahat. Ceu Koma nanti nyariin," seloroh ayah Elea, tersenyum.
"Kokom, Kang. Koma mah atuh lanceukna pengsan, teu eling," sahut Kusni, menggeleng kepala sambil terkekeh meninggalkan Efendi. Dia masuk lewat pintu belakang rumah. (koma sih ibarat sebutan diatas kata pingsan, kagak sadar)
Efendi tertawa kecil mendengar jawaban Kusni. Dia lantas masuk dan langsung menuju kamar putri bungsunya. Tok.Tok.
"Assalamualaikum, Salihah," sebut Efendi saat membuka panel pintu kamar.
Elea menoleh ke arah pintu, senyumnya mengembang sempurna. "Buya! wa 'alaikumsalam."
Gadis usia 21 tahun itu menyongsong sang ayah yang baru tiba. Dia rindu sosok bijak tersebut.
"Sudah malam, tidur, Neng." Efendi mengelus kepala putrinya yang tak tertutup hijab.
"Ehm, bentar lagi. Judul skripsi sudah lulus, jadi mau mulai nyusun. Aku pakai pengalaman kemarin. Waktu ngurus Oyi, kan dia pendiam dan berhasil ku pancing pake permainan audio visual termasuk menjalin komunikasi sebab Gauri itu tidak mengenyam pendidikan formal," tutur Elea menjelaskan alasannya begadang.
"Tahu banget. Kamu ngajarjn dia?" tanya Efendi. Masih memeluk Elea.
"Iya, Buya. Guru lesnya kan nyerah jadi Gauri belajar huruf, abjad, nulis sama aku. Termasuk toilet training yang benar. Gauri introvert," ujar Elea.
Efendi hanya mendengarkan, sesekali mengusap punggungnya, kepala, bahkan membelai pipi Elea lembut. Sesayang ini dirinya pada si bungsu seolah tengah menebus dosa untuk Elea yang terluka.
"Reezi bilang ke Emran bahwa kamu sakit. Buya diminta memberi ruang. El, janji sehat lagi. Kita check up, yuk," bisik Efendi.
Sunyi.
Elea tak menanggapi. Dia rindu Gauri. Sangat rindu. Jika di izinkan keluar pun pastilah yang akan ditemui adalah Gauri.
Efendi mengurai pelukan. "Oh iya, tentang Gauri, sejauh mana hubungan kamu dengan Kayshan?" tanyanya.
"Enggak ada hubungan khusus. Dia paman Gauri yang menjamin segala kebutuhan anak itu. Single dan aku memberikan isyarat padanya, Buya," jawab Elea, menunduk dan memilih duduk di sisi ranjang.
"Berarti sudah bisa move on? kamu condong padanya, Neng?" desak Efendi ikut duduk disamping Elea.
Tiada jawaban lagi. Elea tak berani menyimpulkan bahwa perasaannya kuat pada pria itu.
"Neng!" panggil Efendi, menepuk paha Elea lembut.
Elea menoleh ke arah sang ayah yang juga sedang menatap dirinya. "Ya?"
"Seandainya, ada pria yang menurut buya pantas untukmu, selain Kayshan, bagaimana? bolehkah Buya ajukan untuk nadzor?" tanya Efendi.
Inginnya tak mengangguk tapi entah mengapa justru kepala Elea melakukan hal sebaliknya. Dia bagai terhipnotis tatapan teduh ayahnya.
"Alhamdulillah. Buya cuma pengen ada yang dampingin kamu. Selagi diri ini masih bisa lihat semua anak-anak bahagia dengan pasangan masing-masing. Sebelum ruh pergi meninggalkan jasad, tugas dan kewajiban Efendi Ghazali telah selesai," lirih Pemilik As-Shofa.
"Gak boleh. Buya akan umur panjang sampai cucu Buya nikah lagi nanti," kata Elea kembali memeluk ayahnya.
Efendi terkekeh. "Nikah juga belum, udah bilang cucu ... pekan depan, putra Haji Emran dari Surabaya mau main ke sini. Beliau kawan buya saat haji dulu. Abrisam minta di carikan teman hidup," jujur Efendi.
Efendi lalu meraih ponsel dari saku baju koko lalu menyodorkan sebuah foto pada Elea.
"I-ini kan?"
...***...
Di tempat lainnya, saat yang sama.
Deeza sedang basa basi pada Emran agar dia berkenan membagi nomer ponselnya untuk diberikan pada Kayshan. Gadis belia itu mengatakan bahwa Kayshan butuh banyak oleh-oleh untuk dibagikan pada kerabat setelah umroh nanti.
"Mampus gue. Pak Kay sewot gak, ya? gue ngibul dia umroh. Ah, Ghazwan kan tajir. Berkorban dikit ngapa," kekeh Deeza, menepuk pipinya berkali seraya menghentak kaki di atas kasur sambil tertawa.
.
.
...________________________...
aku sampai speechles lanjutin bacanya mommy, baru komen lagi di sini , gk kuat bangett😭😭😭😭😭😭
ehhh bener juga sihhh