Lahir dari pasangan milyuner Amerika-Perancis, Jeane Isabelle Richmond memiliki semua yang didambakan wanita di seluruh dunia. Dikaruniai wajah cantik, tubuh yang sempurna serta kekayaan orang tuanya membuat Jeane selalu memperoleh apa yang diinginkannya dalam hidup. Tapi dia justru mendambakan cinta seorang pria yang diluar jangkauannya. Dan diluar nalarnya.
Nun jauh di sana adalah Baltasar, seorang lelaki yang kenyang dengan pergulatan hidup, pelanggar hukum, pemimpin para gangster dan penuh kekerasan namun penuh karisma. Lelaki yang bagaikan seekor singa muda yang perkasa dan menguasai belantara, telah menyandera Jeane demi memperoleh uang tebusan. Lelaki yang mau menukarkan Jeane untuk memperoleh harta.
Catatan. Cerita ini berlatar belakang tahun 1900-an dan hanya fiktif belaka. Kesamaan nama dan tempat hanya merupakan sebuah kebetulan. Demikian juga mohon dimaklumi bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian tempat dengan keadaan yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 33
"Tidak!" suara Baltasar terdengar rendah dan seram, bagaikan bunyi guntur, menyentak Antonio dan Jeane, sehingga mereka saling melepaskan pelukannya. Baltasar berdiri menghadap kepada mereka berdua. Amarah membuat mata hitamnya semakin kelam. "Kau tidak akan membujuk Antonio untuk melakukan permintaanmu itu, senora. Juga tidak dengan perbuatan. Ia sudah tahu apa hukumannya kalu meninggalkan tempat ini tanpa izin dariku. Dan ia juga tahu kalau ia membawa dirimu dari sini maka aku akan mengejar dan membunuhnya. Jika seseorang kau haruskan memilih antara uang, seorang wanita, cantik sekalipun atau nyawanya, maka ia akan lebih memilih nyawanya. Antonnio tidak akan membawamu ke mana pun kecuali kalau aku bilang bahwa kau boleh meninggalkan tempat ini."
Wajah Jeane telah menjadi pucat pasi. Dipandangnya pria itu dengan mulut setengah terbuka karena kaget...... bukan karena kalimat yang dikatakan oleh pria itu, tetapi karena pria itu ternyata berbicara dalam bahasa yang membuatnya mengerti setiap kata yang diucapkan oleh Jeane. Baltasar telah berbicara dalam bahasa Inggris yang sempurna.
"Apa.... bagaimana...... bagaimana mungkin?" dalam bingungya Jeane bahkan tidak tahu apa yang harus dikatakan. "Kau... kau berbicara bahasa Ingggris," akhirnya Jeane berhasil juga melontarkan kebingungannya.
"Ya, aku berbicara bahasa Inggris," jawab pria itu dengan dingin.
"Seharusnya kau.... kau mengatakan bahwa kau bisa berbicara bahasa Inggris," Jeane berhasil memulihkan keseimbangan pikiran dan perasaannya..... walau baru sebagian.
"Kalaupun aku mengatakannya, apakah akan mencegahmu menyebut diriku seorang haram jadah?" tantang Baltasar. "Atau menghilangkan keinginanmu untuk mencungkil keluar hatiku dan mengiris irisnya? Kurasa tidak juga."
"Tidak. Memang tidak akan mengubah sikapku terhadapmu," Jeane membenarkan dengan kemarahan memuncak. "Jadi, mengapa kau tidak mengatakannyya kepadaku? Mengapa kau berpura pura memerlukan Antonio untuk berbicara kepadaku atau menerjemahkan kata kataku kepadamu? Apakah kau senang membuatku seperti orang tolol ya?"
"Aku tidak punya niat untuk berbicara denganmu, aku juga tidak menganggap harus melayani semua pertanyaanmu. Dan.... kalau kau tahu bahwa aku dapat berbicara bahasa Inggris, kau tidak akan pernah mengemukakan niatmu kepada Antonio seperti yang baru saja kau lakukan."
Pandangan mata Jeane melesat kepada Antonio yang berdiri tenang dan santai di sisinya. Antonio tahu sekali bahwa boss nya itu dapat berbicara bahasa Inggris, namun demikian ia tidak memperingatkan Jeane akan kebodohannya itu. Kemarahan Jeane meningkat berkali kali lipat dan mengenai Antonio pula.
"Seharusnya kau memberitahu aku," Jeane mendakwa Antonio.
"Tidak seharusnya aku berbuat demikian," Antonio mengangkat bahunya.
"Benar sekali," kata Jeane dengan pedas. "Seharusnya aku tahu bahwa kau akan selalu berada di pihaknya."
"Kan sudah aku katakan kepadamu sejak semula?" jawab Antonio dengan tenang.
Kemarahan dan kebencian melanda diri Jeane.
"Aku benar benar tidak tahu, siapakah di antara kalian yang harus paling ku benci." kata Jeane. "Kau, Antonio, karena mengkhianati bangsamu sendiri, atau kau......" Jeane memandang dengan sorot mata bagaikan semburan api kepada pria yang berdiri tenang tenang itu. ".......... yang...... yang......" Jeane seolah kehabisan kata kata,
"Aku tidak berniat mengetahui anggapanmu tentang diriku," Baltasar memotong. "Aku cuma ingin agar kau mengerti dan tahu bahwa percobaan percobaan seperti yang kau lakukan malam ini tidak akan pernah berhasil. Tidak ada seorang pun di sini yang akan membantumu melarikan diri."
"Kau jangan terlalu yakin tentang hal itu," Jeane mengangkat dagunya dengan sikap menantang. "Uang dapat membeli kesetiaan seseorang."
Mata pria itu menyipit. "Kau sungguh gegabah, senora. Kau selalu berbicara tanpa dipikir terlebih dahulu. Aku akan tahu setiap percobaan yang kau lakukan di waktu waktu yang akan datang. Dan kalau kau berkeras........." pria itu tidak menyatakan dengan jelas apa ancaman yang tengah dipikirkannya. "Aku cuma tidak ingin mengambil kebebasan kebebasan yang kau dapat saat ini."
"Kebebasan? Bah, kebebasan apa?" Jeane dengan marah maju selangkah ke arah pria itu. "Di sini aku seorang tawanan."
Baltasar tidak bergeming dengan kemarahan Jeane. "Aku memberimu kebebasan di dalam rumah ini. Dan kebebasan tertentu di luar rumah ini jika dengan pengawalan. Atau kau lebih suka jika aku mengurungmu di dalam kamar?"
"Kau tidak akan berani berbuat demikian terhadapku," Jeane berkata dengan terengah engah saking emosinya.
"Aku bisa saja melakukannya....." pria itu menghadapi Jeane dengan tenang, air mukanya keras dan tidak ada tenggang rasa sedikitpun, "........ kalau permainan dan kepedasan lidahmu terlalu mengganggu....."
Jeane berbuat tanpa dipikir lagi. Hanya naluri dan emosi yang memimpin dirinya ketika tangannya terayun ke wajah yang angkuh itu. Tetapi di tengah ayunannya, tangan Jeane disambar oleh jari jari tangan sekeras baja itu. Secara refleks, Jeane mengayun tangan kirinya untuk menyelesaikan apa yang dimulai oleh tangan kanannya. Tetapi tangan kiri itu juga ditangkap sebelum mencapai sasarannya.
"Lepaskan aku," Jeane tidak mau meronta ronta, ia membiarkan pria itu memegang ke dua tangannya.
Baltasar menatap Jeane dengan muka seram sejenak lamanya, sebelum pandangannya beralih kepada Antonio. "Kau boleh pergi," kata Baltasar. "Kukira 'perayaan' senora ini telah berakhir."
Mendengar langkah langkah kaki Antonio yang pergi dengan patuh itu, Jeane memalingkan mukanya. Suatu kemarahan bergolak dengan dahsyat dalam dirinya, ketika melihat Antonio meninggalkanya sendirian bersama Baltasar.
"Tidak! Antonio jangan kau pergi!" Jeane berseru. "Jangan kau tinggalkan aku sendiri dengan binatang sadis ini!"
Tetapi Antonio tidak menghiraukan seruan Jeane. Tanpa rasa ragu sedikit pun, Antonio keluar meninggalkan rumah gubuk itu.
"Dengan cara bagaimana dan sebab apa kau menguasainya seperti itu?" Jeane mendesis kepada Baltasar, sambil berusaha melepaskan ke dua tangannya dari cengkeramn pria itu.
"Ia berhutang nyawa padaku," Baltasar menjawab tanpa perubahan pada air mukanya. "Sedangkan padamu, ia tidak berhutang apa apa."
"Dan berapa lama kau menyuruhnya membayar kembali hutang itu? Selama hidupnya?" Jeane menggugat.
"Cukup dengan ia mengatakan padaku bahwa ia ingin pergi, maka ia boleh pergi," kata Baltasar. "Ia tinggal di sini atas kemauan dan pilihannya sendiri. Ia memberikan kesetiaannya padaku atas kemauannya sendiri. Ia dapat pergi dari sini setiap saat..... selama ia tidak membawamu berserta dirinya."
"Ya, karena kau telah bersumpah akan membunuhnya kalau ia mencoba itu."
"Itu merupakan sebuah janji....... sebuah janji yang diketahui oleh semua orang di tempat ini akan kupegang teguh. Maka sekarang dengarlah nasehatku, senora. Janganlah mencoba coba membujuk seseorang untuk membantumu melarikan diri dari sini. Kukira kau tidak ingin bertanggung jawab atas kematian orang itu, bukan?" Dan tanpa diduga sebelumnya oleh Jeane, pria itu melepaskan ke dua tangan Jeane dan melangkah pergi. "Pergilah ke kamarmu, senora Beaufort."
Ah, betapa inginnya Jeane melawan dan menolak perintah itu. Ia gemetar dengan luapan amarahnya. Dengan suatu sentakan, Jeane memutar badannya dan berjalan ke kamarnya dengan sikap angkuh dan kepala terangkat tinggi.