Mereka dijodohkan dan berani membuat komitmen untuk berumah tangga. Tapi kabar mengejutkan di ucapkan si pria di usia pernikahan yang belum genap 1 bulan. Yudha meminta berpisah dengan alasan cinta masa lalunya telah kembali.
Delapan tahun berlalu Yudha kembali bertemu dengan mantan istrinya.
Tidak ada yang berubah. Wanita itu tetap cantik dan bersahaja tapi bukan itu yang menjadi soal. Matanya memaku pada seorang gadis kecil berambut pirang yang begitu mirip dengannya.
"Bisa kau jelaskan?"
"Tidak ada yang perlu ku jelaskan!"
"Aku sudah mencari tahu tentangmu tujuh tahun terakhir dan tidak ada catatan kau pernah menikah sebelumnya selain..... apa itu anakku?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
"Intinya kita butuh waktu untuk berpikir," Tidak ada yang bisa Yudha lakukan selain membuat kesepakatan bersama sang istri berharap Ruliana mau mengerti keadaannya.
Sudah dua hari Yudha juga tak bisa mengunjungi Mylea. Niatnya hari ini dia akan membawa putrinya menemui sang Ibu, berharap akan ada kabar baik setelah keduanya bertemu. Setidaknya sedikit meredam amarah Maulida padanya.
"Kenapa harus pindah ke apartemen segala?" tidak hanya marah Ruliana tersinggung dengan ucapan suaminya.
"Kamu tahu kan jika hubungan kita sedang tidak baik-baik saja?" Yudha berusaha menekan suaranya agar tetap kecil.
"Apa yang tidak baik-baik saja?" Ruliana mencabikkan bibirnya.
Yudha menghela napas lelah.
"Ana please!"
"Hati mu yang tidak baik-baik saja, bukan hubungan kita!" jerit Ruliana mendorong tubuh Yudha.
"Ana..."
"Diam! Tidak ada yang harus pergi dari rumah ini, kamu tahu kan Mas, selama ini tidak pernah sekalipun aku tidak menurut padamu, saat ini bukan kamu yang butuh pengertian. Tapi aku, ibumu sudah menyudutkan ku jangan sampai kamu melakukan hal yang sama." tangis Ruliana pecah.
Yudha meraup wajahnya, dia bimbang dengan keputusannya.
"Maaf, Ana. Aku benar-benar minta maaf." ucap Yudha penuh sesal.
Ruliana menatap suaminya dengan nyalang dan mengepalkan tangan.
"Pergi!" usirnya.
"Ana, kita memang butuh...."
"Pergi." balas Ruliana penuh penekanan.
Yudha hanya mampu menatap nanar pada Ruliana. Memohon tidak ada artinya jika Ruliana sedang marah. Yudha juga tidak menyangka jika Ruliana akan benar-benar mengusirnya tanpa ragu. Bersyukur tidak ada adegan benda melayang seperti kejadian di rumah ibunya kemarin dulu, karena tidak ingin membuat istrinya semakin marah Yudha memutuskan benar-benar pergi ke apartemennya seperti tujuan awal.
Kejadian beberapa hari ini menguras emosinya. Yudha butuh menenangkan diri dan juga berpikir lebih jernih.
********
"Kalau Jenar melamar mu gimana!"
"Apa?" Nilam mengerjap, lantas tersenyum simpul. "Tidak mungkin lah, Sa." Nilam tidak pernah berpikir seperti itu. " Dia masih terlalu muda."
"Bukankah garis takdir rahasia Tuhan?" Lisa kembali menyakinkan sahabatnya.
Nilam tidak menyanggah pendapat Lisa. Hanya saja kegagalan masa lalu membuat dirinya tak mudah menjatuhkan pilihan. Selayaknya kisah Cinderella yang berakhir di tengah malam, pernikahannya pun tak mendapatkan lagi harapan untuk hari esoknya. Kita, layaknya kata itu seharusnya bisa sampai menjadi kami, tapi tidak ia ketahui jika sejak awal kata kita itu tidak pernah ada, karena yang sebenarnya kala itu. Yudha sudah memiliki keinginannya sendiri. Adanya mereka dan Nilam harus rela menyerah di dua puluh delapan hari menjadi seorang istri. Bukan hal remeh kegagalan masa lalu bisa menimbulkan rasa trauma.
Tanpa diketahui siapapun perpisahannya dengan mantan suami delapan tahun lalu membuat hati Nilam tertutup rapat untuk sekedar menjalin hubungan dengan lawan jenis. Ia teramat kecewa dengan pernikahannya yang berujung perpisahan, memang benar Nilam yang memilih pergi, tapi siapa pun juga pasti memilih jalan yang Nilam tempuh jika diposisi yang sama.
Duduk berhadapan dengan Alfaaro Nilam juga tidak tahu kenapa harus menuruti titah Elsa sementara dia bisa saja mengelak atau berdalih sedang banyak pekerjaan bukan malah terjebak di tempat ini.
"Aku hampir saja menyusul kalian ke toilet wanita." ucap Alfaaro mengawali percakapan.
"Tadi ketemu teman jadinya ngobrol dulu." jawab Lisa asal.
Ngobrol di dalam toilet?
"Untuk pertanyaan ku tadi anggap saja aku sedang..."
"Aku serius." potong Alfaaro cepat. Mendahului ucapan Lisa.
Nilam berpikir Alfaaro akan menganggap ucapan Lisa hanya sebuah candaan. Kenyataannya yang terjadi sekarang berbanding terbalik dengan hal yang harusnya logis menurutnya, apa yang akan dibicarakan Alfaaro?
"Usia hanya angka, jika aku sudah menyukai seseorang aku akan mengejarnya hingga dapat, tapi sebelum itu aku akan memastikan bahwa yang ku incar mau menerimaku dan belajar memberikan hatinya untuk ku pastinya setelah adanya pengikat. Setidaknya harus ada keyakinan itu padaku."
Nilam dan Lisa meneguk ludah.
Berbicara soal yakin, bukankah itu sudah terlalu jauh?
Kini kelopak mata Nilam mengerjap, ia tak akan menjawab soal itu.
Alfaaro kembali mengunci manik wanita yang telah membuat dirinya merasakan sesuatu yang telah disia-siakan Yudha.
Dia yakin hatinya tak mudah menjatuhkan pilihan hanya saja pesona Nilam yang memang terlalu kuat membuatnya ingin segera mengumumkan isi hatinya.
Jangankan langkah, tatapannya saja tak sanggup di lepaskan oleh Nilam, di netra itu Nilam menemukan ketulusan juga kejujuran dari bait kalimat yang membuatnya tercengang.
"Aku tidak memaksa, aku harap kita masih bisa menjadi rekan. Tapi apa kamu tidak ingin mencoba membuka diri untukku?"
Bukankah Alfaaro terlalu berani? Mereka baru kenal belum lama ini, lantas mengapa kaki-kaki ini begitu yakin dengan perasaannya?
Bagaimana pendapat orang lain terhadap hubungan yang ditawarkan Alfaaro tapi lebih ke dirinya sendiri yang merasa tak pantas karena statusnya yang seorang janda dan ibu daei seorang anak.
Masih sangat awal meski di tolak pun Alfaaro tidak berkecil hati tak juga putus asa dia menghargai perasaan wanita tersebut.
Lisa tersenyum manis. Terjebak antara dua orang yang batinnya belum terpenuhi, ribet memang.
"Dibandingkan perasaan tertarik ku padamu jauh sebelum itu aku lebih tertarik pada Mylea, aku menyayanginya, ingin memberinya sebagian waktu yang kumiliki, kamu seorang Ibu bukan? Pasti kamu tahu apa yang kubiarkan."
Harusnya itu keluar dari bibir Yudha yang statusnya adalah Ayah kandung Mylea. Tapi kenapa kalimat itu harus meluncur dari milik pria bujangan yang bahkan masih begitu muda.
"Aku harus segera kembali ke rumah sakit. Untuk itu aku pamit." tanpa menunggu satu jawaban pun dari Nilam Alfaaro sudah berdiri dari duduknya.
Lisa dibuat terkesima dengan sikap Alfaaro, pria itu sama sekali tidak membutuhkan jawaban.
"Langka,"
"Apa?"
"Laki-laki seperti Jenar itu langka, Nilam. Nggak nyesel pasti kalau kamu terima." usul Elsa yang di tanggapi Nilam dengan decakan kecil.
"Yakinkan diri ketika mengambil keputusan. Pastikan kamu memahami situasi agar lebih bijak dalam menentukan jawaban. Sesekali nggak ada salahnya untuk menurunkan ego demi kebaikan bersama." tambah Elsa lagi menyemangati.
"Jangan ragu untuk melihat risiko dari semua pilihan. Meski nggak semua membuatmu bahagia, namun jalani semua dengan perencanaan yang matang dan juga bijak."
Entah ke-sambet apa sahabat Nilam hari ini kata-katanya terdengar sangat bijak, dan dari penilaian Nilam sepertinya sahabatnya memang benar-benar kesambet.
"Apa, kenapa lihatin aku gitu banget?"
"Kesambet?"
" Kulan?"
Nah kan, mulai nggak jelas.
"Nilam,"
Nilam menoleh mendengar namanya di sebut.
"Aku ajak Mylea ke rumah Ibu setelah selesai dengan kelasnya." ijin Yudha.
"Ya, silahkan."
Cukup sopan Yudha meminta ijin tapi wajah Lisa sudah bersungut-sungut melihat kedatangan Yudha.
"Ngapain sih pake ketemu dia segala?" kesal Lisa.
"Kamu lupa? Ini tempat umum Sa."
"Tapikan, dunia tak seluas daun kelor,"
Lah, kok malah sewot?
msh bs memaafkan menantu yg sdh menabrak cucu sendiri.
miris.
harusnya cerai adalah yg benar dilakukn yudha