Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perpisahan
Matahari baru saja naik, cahaya hangatnya memeluk tanah lembab Gunung Gede.
Angin membawa aroma tanah dan sisa dupa. Hutan sunyi, seolah ikut bersedih atas semua yang telah terjadi.
Namun di tengah altar batu yang telah retak dan membisu…
Sasmita berdiri.
Debu masih menempel di trench coat merah maroonnya. Kujang Kembar Larang disarungkan kembali ke sabuk kulitnya. Tubuhnya penuh luka dan perban. Tapi berdiri tetap tegak—seperti selalu.
Di depannya, Kenan berlutut, tubuhnya kecil, lehernya masih dibalut kain putih.
Dia belum banyak bicara sejak segel darah dilakukan.
Tapi matanya…
Penuh arti.
Sasmita menatapnya, lalu mengangkat tangan kanannya, perlahan—mengelus rambut Kenan.
Lembut.
"Kau luar biasa, Nak."
Suara itu lirih. Dalam. Seolah keluar dari dasar hati seorang wanita yang seumur hidup menolak menunjukkan kelembutan…
Tapi hari ini… ia izinkan sedikit keluar.
"Ayahmu pasti bangga."
Kenan menggigit bibirnya. Matanya berair.
Tapi ia menunduk dalam-dalam, hanya membisik:
"Terima kasih, Bu Sasmita."
Di belakang mereka, Maya dan Aditya berdiri sambil menahan air mata.
Maya menutupi wajah dengan tangan, tangisnya tak bisa dibendung.
Aditya hanya menggenggam bahu istrinya, matanya merah, dada bergetar.
“Dia menyelamatkan kita semua, Mas…” bisik Maya.
“Iya…” Aditya mengangguk.
“Dan mereka semua… terlalu muda untuk menanggung beban segel ini.”
Suster Ira berdiri di dekat mereka, menggenggam salibnya erat, air mata jatuh diam-diam di kerah jubahnya.
Ia menatap ke arah Rengganis Larang.
Wanita keras yang rela bertaruh nyawa demi anak kecil yang bukan darah dagingnya.
---
Tri dan Ningsih berdiri dengan tubuh penuh perban.
Tri menyender ke pintu mobil SUV, sambil senyum kecil melihat gurunya dan Kenan.
“Guru lagi-lagi mewek diem-diem,” gumamnya pelan, berusaha menghibur diri.
Ningsih menyikutnya pelan.
“Nggak usah gaya, kamu juga mewek semalem.”
---
Perjalanan pulang ke desa terasa hening.
Mobil SUV hitam mengantar mereka melewati kabut tipis. Elang Sembara sudah menghilang dari langit, kembali ke alam khodam.
Tapi ketenangan baru saja lahir di gunung ini.
Warga desa berdiri berjajar di jalan masuk saat mobil mereka berhenti.
Di antara mereka, Kang Ujang berdiri di depan, mengenakan iket kepala dan baju kampret coklat tuanya.
“Alhamdulillah… Gusti Nu Agung… selamet kabeh…”
Sasmita keluar pertama. Tubuhnya sempoyongan sedikit, tapi segera menegakkan punggung.
Kang Ujang menghampiri. Dan tanpa berkata apa-apa…
ia langsung sujud mencium tangan Sasmita.
“Hatur nuhun, Rengganis Larang. Nyi parantos janten tameng ka lembur abdi.”
Sasmita menarik tangannya pelan, matanya berkaca.
“Jangan sujud ke saya, Kang. Saya bukan wali.”
“Tapi panjenengan nyegah kiamat ti leuweung ieu,” balas Kang Ujang pelan.
Tepuk tangan warga meledak. Beberapa ibu menangis, anak-anak bersembunyi di balik sarung bapaknya, mengintip pahlawan mereka.
Sasmita hanya menunduk sebentar, menahan rasa haru.
Dia tak biasa disambut seperti ini. Biasanya, hanya bayangan, darah, dan kesunyian.
TIGA HARI KEMUDIAN
RUMAH KELUARGA ADITYA - BANDUNG
Pagi cerah menyelimuti kawasan rumah mewah milik Aditya dan Maya.
Suasana rumah seperti baru mendapat kehidupan. Aroma masakan, suara burung dari taman, dan gelak tawa kecil dari dalam rumah.
Di ruang tamu, Kenan duduk sambil memeluk boneka beruang kecil.
Di hadapannya, Sasmita mengenakan trench coat-nya lagi—bersih, tapi tetap sama.
Tri dan Ningsih berdiri di belakangnya, koper kecil di tangan.
“Kalian yakin nggak mau sarapan dulu?” tanya Maya dengan suara berat, matanya sembab karena baru menangis.
“Kami harus balik ke Garut. Banyak hal harus dibereskan,” jawab Sasmita tenang.
“Siluman gak nunggu makan pagi, Bu Maya.”
Aditya tertawa kecil.
“Kalimat yang cuma bisa keluar dari orang seperti kamu.”
Semua tertawa.
Kecuali Kenan.
Dia menatap Sasmita dalam-dalam.
Matanya berkaca.
Lalu dia berdiri.
Berjalan pelan mendekati wanita itu.
“Bu…”
Sasmita menoleh.
Kenan menunduk.
“Jangan pergi…”
Hening.
Semua yang lain berhenti bicara.
Sasmita menelan ludah. Pelan.
Lalu dia berlutut, sejajar dengan Kenan.
Tangan kirinya meraih pundak bocah itu.
“Aku gak akan pernah pergi dari pikiranmu, Nak.”
“Aku nggak pernah ninggalin siapa pun.”
Kenan menggeleng.
“Tapi aku gak mau sendiri.”
Dan di momen itu—
Sasmita memeluk Kenan.
Pelukan kaku. Awalnya. Tapi pelan-pelan…
Tangan kanan Sasmita mengelus kepala anak itu.
Ia menyandarkan dagunya di atas rambut Kenan.
“Dengar ya, anak kecil…”
“Kalau kau takut, pejamkan mata, ingat apa yang kamu lakukan di Gunung Gede.”
“Kamu bukan cuma anak eksorsis. Kamu anak yang berani ngelawan neraka.”
Kenan mulai menangis.
Sasmita juga. Tapi dia cepat-cepat menghapus air matanya.
“Jangan bikin aku mewek juga, bego…”
Kenan tertawa di tengah isaknya.
“Bu Sasmita…”
“Hmm?”
“Nanti kalau aku gede, aku mau jadi pemburu siluman juga…”
Sasmita menarik nafas panjang.
Lalu menepuk dada Kenan.
“Kalau kamu mau jadi pemburu, pastikan kamu lebih hebat dari aku.”
Kenan mengangguk keras.
Tri dan Ningsih mendekat.
Tri ikut memeluk Kenan dari samping.
“Gue titip nih anak ya,” kata Tri, separuh serius, separuh nangis.
“Kalo dia nakal, tinggal telepon kita. Gue bawa kolor ijo buat nangkep dia.”
Kenan tertawa, matanya basah.
Ningsih mengusap kepala bocah itu, dan membisik:
“Jaga hati kamu, Kenan. Dunia siluman belum selesai.”
Maya menangis lagi saat memeluk Sasmita.
Aditya menyalami satu per satu.
Bahkan suster Ira mencium tangan Sasmita, lalu berkata:
“Kau bukan cuma pemburu. Kau malaikat penjaga.”
Sasmita menahan tangis.
Tapi ketika mereka semua masuk ke mobil…
Kenan lari ke pinggir jalan.
Berteriak:
“BU SASMITA!!!”
Jendela mobil dibuka.
“APA?!” teriak Sasmita sambil senyum.
“AKU SAYANG IBU!!!”
Sasmita terdiam sejenak.
Lalu menjawab pelan, nyaris tak terdengar… tapi cukup untuk menyentuh seluruh yang mendengar:
“Aku juga sayang kamu, Nak…”
Mobil melaju.
Kenan berdiri di pinggir jalan…
Melambaikan tangan… sampai mobil itu hilang dari pandangan.
Langit Bandung cerah.
Tapi di hati semua yang ada di sana—ada hujan kecil.
Hujan yang penuh rindu…
Tapi juga harapan.
Bersambung....