Evan dipaksa menikah oleh ayahnya dengan Alya, gadis yang tidak dikenalnya. Dengan sangat terpaksa Evan menjalani pernikahan dengan gadis yang tidak dicintainya.
Evan mulai menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alya. Perbedaan karakter dan pola pikir menjadi bumbu dalam pernikahan mereka.
Akankah pernikahan mereka berhasil? Atau mereka menyerah dan memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mau Jadi Pacarku?
“ALYA!!!”
Evan melemparkan asal ponselnya ke atas meja, lalu menghampiri istrinya. Dia mengangkat kepala Alya, menopangnya dengan sebelah tangannya. Wajah Alya nampak pucat, nafas wanita itu juga tersengal.
“Al.. kamu kenapa?”
“Ka..cang,” jawab Alya lemah.
Telinga Evan masih bisa menangkap apa yang dikatakan Alya. Seketika otaknya memutar percakapannya dengan Alya di awal pernikahan. Istrinya itu alergi kacang. Tanpa pikir panjang, Evan langsung membopong tubuh istrinya. Susah payah dia membuka pintu, lalu lari secepat kilat begitu berhasil keluar. Tujuannya adalah rumah Slamet yang berbeda dua rumah darinya. Slamet adalah driver taksi online.
“Pak Slamet!! Pak!!”
Slamet yang baru saja sampai di rumah, terkejut mendengar teriakan Evan. Pria itu berlari ke arahnya sambil membopong istrinya. Teriakan kencang Evan juga menarik perhatian tetangga yang lain. Tuti, Wati, Endang sampai Salma ikut keluar dari rumahnya. Begitu juga Susi, istri dari Slamet.
“Mas Evan.. Alya kenapa?” tanya Salma dengan cemas.
“Alya makan kacang, bu. Saya titip rumah ya, bu.”
"Pak.. Tolong antar ke rumah sakit."
Slamet segera membukakan pintu mobil. Setelah merebahkan Alya di jok belakang, Evan menyusul masuk. Slamet langsung tancap gas menuju rumah sakit terdekat. Salma dan yang lainnya bergegas menuju rumah Evan yang pintunya dibiarkan terbuka begitu saja oleh pemiliknya.
“Mas Evan pasti panik banget. Ini hapenya sampai ditinggal,” ujar bu Salma.
“Bukan cuma hape aja, bu. Kayanya mas Evan ngga pake sandal juga saking paniknya,” Tuti menunjuk sandal Evan di teras.
“Duh kasihan. Kita anterin aja, yuk,” usul Salma.
Wanita itu mengambil ponsel Evan juga sandalnya. Setelah mengunci pintu rumah dan pagar, wanita itu bermaksud meminta suaminya mengantar. Namun Rusdi berbaik hati mengantarkan barang Evan yang tertinggal ke rumah sakit.
“Biar saya saja, bu. Kira-kira mereka ke rumah sakit mana ya?”
“Kayanya ke Merlina Hospital. Kan itu yang paling dekat dari sini.”
“Ya sudah, biar saya antarkan. Mama di rumah aja, ya.”
“Iya, pa.”
Rusdi mengeluarkan motornya. Dia memasukkan sandal Evan ke dalam kantong plastik, lalu menggantungnya di bagian depan motor. Sedang ponsel Evan dimasukkan ke saku celananya. Tanpa membuang waktu lagi, pria itu segera menjalankan kendaraan roda duanya.
Sementara itu, mobil yang dikendarai Slamet sudah sampai di depan pintu masuk IGD. Dengan cepat Evan keluar, lalu membopong tubuh istrinya masuk ke Instalasi Gawat Darurat tersebut.
“Dokter! Tolong istri saya!”
“Silahkan ke sebelah sini, pak.”
Seorang perawat segera menunjuk blankar yang kosong. Evan merebahkan tubuh istrinya di sana. Dokter yang berjaga segera memeriksa keadaan Alya. Seorang suster segera memakaikan masker oksigen pada Alya. Dokter yang memeriksa keadaan Alya segera tahu kalau gadis itu terkena alergi.
“Pasien habis makan sesuatu?”
“Iya, dok. Makan kacang, dia alergi kacang.”
Dokter itu menganggukkan kepalanya. Dia memerintahkan suster membawa obat anti alergi. Dengan cepat dia menyuntikkan obat tersebut pada Alya. Perlahan namun pasti nafas gadis itu sudah mulai lancar. Hanya menyisakan ruam kemerahan di wajah dan tangan.
“Mas Evan, ini hapenya ketinggalan,” Rusdi yang baru datang menyerahkan benda pipih persegi itu pada Evan. Dia juga menyerahkan kantong plastik hitam pada pria itu.
“Terima kasih, pak. Ini apa?”
“Sendal. Mas Evan ngga sadar ngga pake sandal?”
Refleks Evan menundukkan kepalanya. Saking paniknya, dia sampai lupa memakai sandal. Pantas saja dari tadi orang-orang di IGD memperhatikan dirinya. Pria itu melemparkan cengiran, lalu segera memakai sandalnya. Evan segera menghubungi papanya, karena tidak membawa dompet ke rumah sakit.
Mendapat kabar dari Evan, Antonio bersama dengan Fariz segera datang ke rumah sakit. Mereka langsung mencari keberadaan Evan dan Alya. Di salah satu blankar, nampak Alya sedang berbaring dan Evan dengan setia menunggui di sampingnya.
“Van..” panggil Antonio.
“Papa.”
“Alya kenapa?”
“Alya alergi, pa. Tadi ngga sengaja dia makan makanan yang ada kacangnya.”
“Kamu kenapa bisa teledor gitu sih?”
“Maaf, pa. Aku lupa.”
“Van.. coba kamu lebih perhatian sama istri kamu. Masa hal sepenting itu kamu lupa. Nyawa loh taruhannya,” Fariz ikut menasehati.
Evan tak mampu membantah apa yang dikatakan kakaknya. Memang benar ini kesalahannya. Harusnya dulu dia menyimak dengan seksama apa yang disuka dan tidak disuka Alya. Tapi seingatnya dia hanya memberikan macaron saja.
“Emang Alya makan apa tadi?” tanya Fariz membuyarkan lamunan Evan
“Macaron, yang aku beli dari resto abang.”
“Pantes. Macaron itu kan dibuat dari tepung almond. Astaga, Van.. untung Alya ngga kenapa-napa.”
“Ya mana aku tahu, bang. Aku kan tahunya makan aja, ngga tau bahannya.”
“Sudah-sudah.. yang penting Alya baik-baik aja. Kapan dia dipindahkan ke ruang perawatan?”
“Kalau administrasinya udah beres. Aku lupa bawa dompet, pa.”
“Ya sudah. Fariz.. kamu urus administrasinya. Kasih Alya kamar kelas satu.”
“Iya, pa.”
Fariz segera mengajak Evan untuk membereskan masalah administrasi. Antonio menarik kursi di samping blankar, lalu mendudukinya. Matanya menatap Alya yang masih terpejam. Untung saja menantunya itu mendapat pertolongan tepat waktu.
☘️☘️☘️
Setelah cukup lama tertidur, Alya terbangun juga. Matanya memandang sekeliling, dia mengenali kalau sekarang bukan berada di kamarnya. Kemudian pandangannya tertuju pada Evan yang duduk di dekat bednya dengan kepala bertumpu pada kedua tangannya yang ada di atas bed. Gadis itu mencoba mengingat kembali, apa yang menyebabkannya masuk ke rumah sakit.
“Mas..” panggil Alya dengan suara pelan.
Mendengar ada suara yang memanggilnya, Evan membuka matanya. Matanya langsung tertuju pada Alya yang tengah melihat ke arahnya juga. Pria itu langsung menegakkan tubuhnya. Tangannya meraih bel yang ada di dekat bed, lalu memijitnya. Tak lama seorang suster datang.
“Ada apa, pak?”
“Istri saya sudah bangun, sus.”
Melihat Alya sudah terbangun, suster tersebut langsung memeriksa kondisi Alya. Kondisi gadis itu sudah baik, hanya masih membutuhkan istirahat saja untuk memulihkan kondisinya. Dia memeriksa infusan yang tergantung di sisi kanan Alya.
“Keadaan bu Alya baik-baik saja. Nanti kalau infusannya habis, panggil saya ya, pak. Tapi masih lama, kok. Mungkin besok pagi baru habis.”
“Iya, sus. Makasih.”
Setelah yakin keadaan Alya baik-baik saja, suster tersebut meninggalkan ruangan tersebut. Meninggalkan pasangan pengantin yang masih terbilang baru untuk menghabiskan waktu berdua. Antonio dan Fariz juga sudah pulang ke rumah. Jadi di kamar ini hanya ada Alya dan Evan saja.
“Maafin aku, Al. Aku ngga tau kalau macaron itu terbuat dari tepung almond. Maafin aku.”
“Ngga apa-apa, mas.”
“Aku niatnya mau buat kamu senang, malah bikin kamu sakit.”
“Makasih, mas.”
“Untuk apa?”
“Udah niat bikin aku senang, walau eksekusinya kacau balau.”
Senyum Evan terbit juga mendengar gurauan Alya. Pria itu sedikit menegakkan tubuhnya, lalu mendaratkan ciuman di kening sang istri. Untuk sesaat suasana menjadi hening, wajah Alya kembali memerah, tak menyangka kalau suaminya itu akan memberikan kecupan di keningnya.
“Sekarang jam berapa, mas?”
“Jam sebelas malam. Kamu tidur lagi aja,” Evan membetulkan selimut Alya.
“Mas jangan tidur di kursi, nanti punggungnya pegal.”
“Terus aku tidur di mana?”
“Di sini aja, mas.”
Alya menepuk ruang kosong di ranjangnya dengan wajah memerah. Biar bagaimana pun juga Evan adalah suaminya. Dia tidak tega kalau membiarkan suaminya tidur di kursi seperti tadi. Evan tak menyia-nyiakan kesempatan yang ditawarkan Alya. Pria itu segera naik ke atas bed, dan menelusupkan dirinya ke balik selimut. Dia mengangkat kepala Alya sedikit, lalu merentangkan tangan sebelah kanannya. Diletakkan kembali kepala Alya ke atas lengannya.
Untuk sesaat posisi mereka masih dalam keadaan telentang. Alya tak berani melihat pada Evan, begitu juga suaminya. Masing-masing masih menikmati debaran di jantung mereka yang berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Setelah beberapa menit, Evan memberanikan diri melakukan pergerakan lebih dulu. Dia sedikit menarik bahu Alya, hingga posisi mereka lebih merapat. Pria itu juga mengubah posisinya menjadi miring. Pelan-pelan Evan menggeser tubuh Alya hingga menghadapnya.
Alya menatap lekat kedua netra Evan. Melihat sedekat ini, gadis itu baru sadar kalau ternyata warna pupil suaminya bukan berwarna hitam, tetapi coklat. Dan dalam jarak sedekat ini, wajah sang suami terlihat jauh lebih tampan. Dada Alya berdesir ketika Evan membelai lembut pipinya.
“Kamu.. cantik.”
Memerah pipi Alya mendapat pujian dari suaminya. Karena malu, dia menyurukkan kepala ke dada Evan. Hal tersebut malah membuat degup jantungnya berdetak semakin cepat. Aroma maskulin yang menguar dari tubuh suaminya, semakin membuat gadis itu gugup. Kemudian Alya teringat kalau belum mengganti roti Jepangnya.
“Mas..”
“Kenapa?”
“Itu, mas.”
“Itu apa?”
“Ini.. itu..”
“Apa sih, kamu tuh kalau ngomong yang jelas, ini.. itu.. jangan bikin aku pusing.”
“Itu.. pembalutku sudah penuh kayanya.”
“Aku belum bawa baju kamu. Aku beli dulu ya di mini market.”
Alya hanya menganggukkan kepalanya dengan wajah yang kembali merona. Pelan-pelan Evan menarik lengannya, kemudian turun dari bed. Untung saja tadi papanya memberinya uang untuk bekal di rumah sakit. Bergegas pria itu menuju mini market yang ada di sebrang rumah sakit.
Tak sampai lima belas menit, Evan sudah kembali dengan plastik putih di tangannya. Melihat kedatangan Evan, Alya segera bangun dari tidurnya. Dengan sigap Evan membantu istrinya turun.
“Aku beli yang model celana, ngga apa-apa kan?”
“Ngga apa-apa, mas.”
Dengan penuh kelembutan, Evan membantu Alya menuju kamar mandi. Dia membukakan pintu, lalu mengantar istrinya itu sampai masuk ke kamar mandi. Pria itu menyerahkan plastik di tangannya.
“Kamu bisa sendiri?”
“Bisa kok, mas.”
“Ya sudah.”
Evan segera menutup pintu kamar mandi. Pria itu memilih menunggu di depan pintu kamar mandi. Lagi pula kalau dia ikut masuk, mungkin pria itu hanya bisa membantu menurunkan segitiga pengaman sang istri. Evan mengesah pelan, mendadak pikirannya kembali mengingat saat melihat gunung kembar dan lembah sang istri. Pria itu menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran mesum dari otaknya.
Tak berapa lama pintu kamar mandi kembali terbuka. Evan langsung membantu Alya naik ke atas kasur. Dia juga langsung naik dan kembali merentangkan lengannya. Perlahan Alya merebahkan kepalanya di lengan suaminya. Gadis itu terjengit ketika Evan menarik bahunya, dan tubuh mereka langsung berdempetan.
Tangan Evan mengarahkan kepala Alya ke dadanya. Sedang pria itu meletakkan dagunya ke puncak kepala sang istri. Tangan sebelahnya mengusapi punggung sang istri. Tak ada penolakan dari Alya, dia benar-benar menikmati apa yang dilakukan suaminya. Debaran jantungnya juga tidak sekencang tadi.
“Besok habis shubuh aku pulang dulu, ambil pakaian dan hape kamu.”
“Iya, mas.”
“Telepon bos kamu, bilang kamu ngga bisa masuk kerja.”
“Iya.”
Suasana kembali hening, keduanya masih menikmati kedekatan yang baru tercipta malam ini. Tubuh mereka berpelukan, dan sedikit demi sedikit kecanggungan di antara keduanya mulai terkikis. Sikap lembut dan hangat Evan membuat Alya begitu nyaman berada di dekat suaminya. Dirinya yang tak pernah mendapatkan pelukan hangat dari sang ayah, tentu saja merasa bahagia, berhasil mendapatkannya dari sang suami.
“Al.. kamu masih ingin kuliah?”
“Mau sih, mas. Tapi kuliah kan biayanya besar.”
“Nanti kita cari solusinya sama-sama, ya. Mudah-mudahan ada rejeki dan kamu bisa melanjutkan pendidikan.”
“Aamiin..”
“Al.. kalau tamu kamu sudah pergi, kita ibadah ya.”
“Tamu apa, mas?”
“Itu yang merah-merah.”
Sebuah tepukan pelan mendarat di dada Evan. Pria itu hanya terkekeh saja. Pasti saat ini wajah istrinya kembali memerah. Evan mengeratkan pelukan di tubuh istrinya. Tangannya kembali mengusapi punggung sang istri. Pelukan hangat Evan dan usapan lembut di punggungnya membuat Alya kembali mengantuk. Perlahan mata wanita itu mulai memberat. Dia kembali masuk ke alam mimpi dalam pelukan suaminya.
☘️☘️☘️
Selesai shalat shubuh, Evan langsung pulang ke rumah untuk mengambil pakaian dan ponsel Alya. Sebelum berangkat ke rumah sakit lagi, Evan menyempatkan mandi lebih dulu. Saat pria itu mengeluarkan motornya, berondongan pertanyaan dari tetangganya yang sedang belanja langsung keluar.
“Mas Evan, Alya gimana?”
“Alya ngga apa-apa, kan?”
“Dirawat berapa hari Alyanya?”
“Apa kata dokter?”
Evan menghela nafas panjang sebelum menjawab berondongan pertanyaan para tetangganya. Dia bingung harus menjawab pertanyaan yang mana lebih dulu, bahkan mang Maman pun ikutan bertanya.
“Kondisi neng Alya ngga parah kan?” tanya mang Maman.
“Alhamdulillah Alya udah baikan. Kemarin ngga sengaja Alya makan yang ada kacangnya. Belum tahu juga kapan boleh pulang,” jawab Evan, mencoba merangkum pertanyaan para tetangganya.
“Alhamdulillah kalau ngga apa-apa. Alya emang alergi kacang. Besok-besok lebih hati-hati, mas.”
“Iya, bu. Makasih. Saya permisi dulu ya, bu.”
Evan segera menyalakan mesin motornya. Pria itu langsung melajukan kendaraan roda duanya menuju rumah sakit. Dia takut Alya mencarinya, tadi saat Evan pergi, istrinya itu belum bangun.
Tak butuh waktu lama, Evan sudah sampai ke rumah sakit. Dia bergegas menuju lantai tujuh, tempat di mana kamar perawatan istrinya berada. Begitu dia masuk, Alya sudah bangun. Di dekat bed terdapat perlengkapan mandi yang disiapkan oleh suster. Evan meletakkan tas ke dalam nakas. Evan menyerahkan ponsel Alya. Gadis itu langsung mengirimkan pesan pada atasannya, dan juga sahabatnya, Nana.
“Kamu udah mandi?”
“Belum, mas.”
“Mau aku bantu?”
“Eh.. ngga.. ngga usah, mas.”
Bagaimana mungkin Alya membiarkan Evan membantunya mandi. Gadis itu masih malu saat Evan melihat tubuh polosnya tempo hari. Lagi pula lembahnya masih banjir, pasti Evan akan merasa tidak nyaman melihatnya. Gadis itu terjengit ketika ponselnya berdering, ternyata Nana yang menghubunginya.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.. Al.. lo kenapa?”
“Ngga apa-apa. Kemarin ngga sengaja gue makan kacang. Tapi udah baikan kok sekarang.”
“Gue sekarang ke rumah sakit deh. Gue takut lo kenapa-kenapa.”
“Gue ngga apa-apa, kok. Ngga usah repot-repot ke sini.”
“Ngga usah banyak protes! Gue ke sana sebentar lagi.”
Nana langsung memutuskan panggilan begitu saja. Alya menghembuskan nafas panjang. Tapi gadis itu bersyukur sang sahabat mau datang menjenguknya. Itu artinya dia bisa meminta Nana membantunya mandi.
“Siapa?” tanya Evan.
“Nana. Dia mau ke sini. Nanti biar Nana aja yang bantu aku mandi.”
“Ooh..”
Hanya itu saja jawaban yang keluar dari mulut Evan. Tapi begitu mendengar Nana hendak ke rumah sakit, pikirannya langsung tertuju pada Gelar. Pria itu mengambil ponselnya, lalu mengirimkan pesan pada sahabatnya.
To Ge :
Bini gue dirawat di Merlina Hospital. Lo bisa ke sini ngga sekarang? Nana mau ke sini juga.
From Ge :
Bini lo kenapa? BTW Nana siapa?
To Ge :
Kaga usah banyak nanya, buruan ke sini. Jangan lupa bawain sarapan buat gue ama Nana.
From Ge :
Nana siapa sih?
To Ge :
Cewek yang lo tanyain waktu itu, dudul.
From Ge :
86!
Senyum tercetak di wajah Evan. Pasti sahabatnya itu sekarang sedang pontang-panting bersiap ke rumah sakit. Alya yang melihat suaminya tersenyum sendiri, menjadi penasaran.
“Kenapa, mas? Senyum-senyum sendiri.”
“Ngga apa-apa. Eh.. Nana itu teman kamu yang waktu itu ada pas kita nikah, kan?”
“Iya, mas. Dia sahabat aku dari kecil. Kenapa emang?”
“Ngga apa-apa. Dia kerja di café bareng kamu, kan?”
“Iya.”
“Dia ngga kuliah juga?”
“Jangankan kuliah, ngalamin sekolah SMA aja, ngga.”
“Hah? Maksudnya?”
“Aku masih beruntung dibanding Nana. Bisa sekolah sampe SMA. Kalau Nana cuma tamat SMP aja. Keluarganya kurang mampu, jadi dia milih kerja buat bantu orang tuanya. Apalagi dia punya dua adik yang masih sekolah.”
“Oh gitu.”
Hati Evan terenyuh mendengar cerita tentang Nana. Ternyata di dunia ini banyak sekali orang yang nasibnya kurang beruntung. Dia bersyukur, walau ayahnya bukanlah seorang konglomerat, tapi sejak kecil sampai dewasa dirinya tidak kekurangan apapun. Bahkan Evan bisa menyelesaikan sekolah sampai ke jenjang master.
“Nana udah punya pacar?”
“Mana ada, mas. Aku sama Nana tuh sama. Kita terlalu sibuk untuk mikirin pacaran. Karena yang ada di otak kita itu kerja dan dapet uang. Pacaran cuma buang waktu aja.”
“Tapi kalau sekarang kamu mau kan pacaran?”
“Pacaran? Sama siapa? Kan aku udah nikah.”
“Kita emang udah nikah. Tapi kan belum pernah pacaran. Jadi kita pacarannya sekarang, pacaran setelah halal. Mau jadi pacarku?”
Tak ada jawaban dari Alya, hanya matanya saja yang terus melihat pada wajah tampan di depannya. Evan mendekatkan wajahnya pada Alya. Refleks wanita itu memundurkan kepalanya, terkejut dengan gerakan Evan yang tiba-tiba. Untuk sesaat waktu seperti terhenti. Pasangan tersebut saling menatap tanpa mengatakan apapun. Perlahan Evan semakin mendekatkan wajahnya. Degup jantung keduanya semakin kencang saja. Evan mendekatkan bibirnya, mengarah pada bibir ranum istrinya.
☘️☘️☘️
**Eeaaaa kentang🤣🏃🏃🏃🏃
Pasti pada travelotak semua nih🤣**
Alya tidak tahu itu - jadi bikin Alya merasa diabaikan - tak di sayang ayahnya.
Gak jadi kabur Bro - jadi menikah nih /Facepalm/