Ratih yang tidak terima karena anaknya meningal atas kekerasan kembali menuntut balas pada mereka.
Ia menuntut keadilan pada hukum namun tidak di dengar alhasil ia Kembali menganut ilmu hitam, saat para warga kembali mengolok-olok dirinya. Ditambah kematian Rarasati anaknya.
"Hutang nyawa harus dibayar nyawa.." Teriak Ratih dalam kemarahan itu...
Kisah lanjutan Santet Pitung Dino...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom young, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Kematian Pak lurah
"Apakah semua ini ada kaitanya dengan Ratih?" Gumam Sinta terduduk lemas di lantai. Tetapi ia tidak bisa membuktikan apapun, karena disaat ini malah semua warga membicarakan pamanya yang suka berzina.
Bahkan warga merasa menyesal telah memilih pak lurah untuk menjadi kepala desa. Hari ini juga pak lurah akan di makamkan.
Udara yang semula panas namun tiba-tiba saja nampak mendung sepertinya langit akan segera turun hujan.
Beberapa warga terpaksa ikut memakamkan pak lurah, karena jenazahnya harus segera di kebumikan.
Sementara wanita yang bersimbah darah bersama pak lurah juga ikut di makamkan di kuburan umum desa Pengasinan, sebab sampai sekarang tidak ada yang mengakui jenazah wanita itu, ataupun keluarnya sama sekali tidak ada yang mau mengaku.
Sinta merasa seperti ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa ada kaitannya dengan Ratih, tapi dia tidak bisa membuktikannya. Dia merasa seperti terjebak dalam sebuah misteri yang tidak bisa dia pecahkan. Ia seolah terjebak di desa ini, bahkan suaminya yang pulang kesemarang saja sampai sekarang tidak ada kabar dan entah kapan akan kembali menengoknya.
Tiba-tiba, suara azan Dzuhur terdengar dari mushola desa, menandakan bahwa waktu siang telah tiba, namun cuacanya nampak mendung. Warga desa yang sedang berkumpul di depan rumah pak lurah mulai bergerak menuju ke kuburan untuk memakamkan jenazah pak lurah.
Sinta masih terduduk lemas di lantai, tidak bisa menerima kenyataan bahwa pamannya telah meninggal. Dia merasa seperti kehilangan satu-satunya orang yang dia andalkan. langkahnya begitu berat saat mengantarkan jenazah pak lurah.
"Apakah semua ini karena Ratih?" gumam Sinta lagi, suaranya hampir tidak terdengar.
Sinta merasa seperti ada yang memanggilnya, tapi dia tidak tahu siapa itu. Dia merasa seperti ada yang menariknya ke arah kuburan pamannya.
Dengan hati yang berat, Sinta berdiri dan berjalan ke arah kuburan pamannya. Dia merasa seperti ada yang menariknya, tapi dia tidak tahu siapa itu.
Ketika Sinta tiba di kuburan pamannya, hujan mulai turun dengan deras. Warga desa yang sedang memakamkan jenazah pak lurah terpaksa berhenti sejenak karena hujan yang deras.
Sinta menatap ke arah kuburan pamannya, merasa kesedihan dan kemarahan yang campur aduk. Dia merasa seperti pamannya tidak mendapatkan keadilan.
Petir menyambar dilangit siang, seharusnya udara saat ini sedang panas-panasnya, tapi entah kenapa malah turun hujan besar bahkan seolah semesta menolak jenazah pak lurah yang hendak di makamkan.
Tokoh agama di kampung itu masih melantunkan doa, berharap agar hujannya segera mereda, dan kedua jasad itu, bisa segera di kebumikan.
Tiba-tiba, petir menyambar lagi, membuat Sinta terkejut. Dia menatap ke arah kuburan pamannya, merasa kesedihan dan kemarahan yang campur aduk.
"Amin," kata tokoh agama itu, menandakan bahwa doa telah selesai.
Warga desa mulai melanjutkan prosesi pemakaman, meskipun hujan masih turun dengan deras. Sinta merasa seperti ada yang menariknya, tapi dia tidak tahu siapa itu.
Dia melihat ke arah kuburan pamannya, merasa seperti ada yang tidak beres. Hujan yang deras membuat suasana semakin suram.
Sinta merasa seperti kehilangan satu-satunya orang yang dia andalkan. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa pamannya telah meninggal.
"Aku tidak percaya," kata Sinta, suaranya bergetar. "Paman tidak mungkin meninggal seperti ini."
Warga desa yang sedang memakamkan jenazah pamannya menatap ke arah Sinta dengan belas kasihan. Mereka tahu bahwa Sinta sangat dekat dengan pamannya.
Hujan terus turun, membuat suasana semakin suram. Sinta merasa seperti ada yang salah, tapi dia tidak tahu apa itu.
Bu lurah juga masih ikut menangis, karena biar bagaimanapun pak lurah adalah suaminya. Meskipun Ia menemukan pak lurah yang tewas setelah mengulangi penghianatan itu, ia masih bisa memafkan pak lurah dengan ikhlas dan lapang dada karena ini bukan yang pertama kalinya pak lurah berulah, namun sebagi seorang istri dia tetap bersabar, akan tetapi ulah bejad pak lurah kini sudah di ketahui warganya.
Pemakaman Pak lurah dan wanita itu di makamkan bersebelahan. langit masih gerimis namun warga harus segera pulang saat pemakaman sudah selesai.
Kini hanya tingal bu lurah dan Sinta saja yang masih berada di makam. "Bude, ayo kita pulang." Sinta merangkul pundak Bu lurah.
Sinta dan Bu Lurah berjalan perlahan meninggalkan kuburan, meninggalkan kenangan pahit di belakang mereka. Hujan masih terus turun, tapi mereka tidak merasa basah, karena air mata mereka sudah cukup untuk membasahi hati.
Mereka berjalan dalam diam, hanya terdengar suara langkah kaki mereka di atas tanah yang basah. Sinta masih merangkul Bu Lurah, mencoba memberikan kekuatan dan dukungan.
Ketika mereka tiba di rumah, Bu Lurah duduk di sofa, menatap ke arah foto keluarga yang tergantung di dinding. Sinta duduk di sebelahnya, memegang tangannya.
"Bibi, jangan terlalu sedih," kata Sinta, mencoba menghibur. "Paman sudah tenang sekarang."
Bu Lurah mengangguk, tapi air matanya masih terus mengalir. "Aku hanya ingin tahu siapa yang melakukan ini pada suamiku," katanya, suaranya bergetar.
Sinta menatap Bu Lurah, merasa kesedihan yang sama. "Aku juga ingin tahu, Bibi," katanya. "Aku tidak percaya paman melakukan hal seperti itu."
Bu Lurah menatap Sinta, matanya merah karena menangis. "Aku juga tidak percaya," katanya. "Tapi aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Aku akan mencari tahu siapa yang melakukan ini."
Sinta mengangguk, merasakan tekad yang sama. Mereka akan mencari kebenaran, tidak peduli apa yang akan terjadi.
.
.
Sementara didalam rumah Ratih masih merasa haus akan pembalasan, ia ingin segera melancarkan aksi balas dendamnya lagi, tapi bukan untuk malam ini. Karena malam ini Iblis berujud harimau itu pasti akan kembali meneror warga, dan ia juga tidak mau kalau ada salah. satu warga desa yang tahu jika dirinya kembali bersekutu dengan iblis. Bahkan iblis itu datang karena, ia yang memanggilnya.
Ratih duduk diatas kasur, menggerak badanya, yang mana seolah seluruh tulangnya terasa kaku, sejak balas dendam ia memang sudah berhenti menangis, namun tulang-tulang di tubuhnya seolah terputus beberapa bagian, karena saat meninju lawan ia melakukan atraksi yang begitu ekstrim.
"Sepertinya aku butuh Istrahat." Ratih mulai menguap, karena lelah, ia langsung pulas begitu saja.
Dalam tidurnya Ratih langsung bermimpi bertemu dengan anaknya Sati, ia berusaha meraih mimpinya, agar lebih semakin dekat dengan Sati, Ratih mendekat ingin memeluk Sati namun seolah dinding besar menghalangi mereka berdua.
"Sati... ibu kangen Nduk." mata Ratih basah, tangisanya sampai kedunia nyata.
"Sati juga rindu bu, ibu pulanglah. Sati rasa ibu sudah terlalu jauh." Kata Sati, ia terseyum dalam mimpi itu.
Ratih semakin tersendu. "Tidak Nduk, belum selesai dalang yang ada dalam pembubuhan kamu dia masih hidup! ibu masih ingin menuntut balas." kata Ratih dalam mimpinya.
pelan pelan aja berbasa-basi dulu, atau siksa dulu ank buah nya itu, klo mati cpt trlalu enk buat mereka, karena mereka sangat keji sm ankmu loh. 😥