NovelToon NovelToon
Cinta Sendirian

Cinta Sendirian

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri / Romansa Fantasi / Kehidupan alternatif / Romansa
Popularitas:181
Nilai: 5
Nama Author: Tara Yulina

Aira Nayara seorang putri tunggal dharma Aryasatya iya ditugaskan oleh ayahnya kembali ke tahun 2011 untuk mencari Siluman Bayangan—tanpa pernah tahu bahwa ibunya mati karena siluman yang sama. OPSIL, organisasi rahasia yang dipimpin ayahnya, punya satu aturan mutlak:

Manusia tidak boleh jatuh cinta pada siluman.

Aira berpikir itu mudah…
sampai ia bertemu Aksa Dirgantara, pria pendiam yang misterius, selalu muncul tepat ketika ia butuh pertolongan.

Aksa baik, tapi dingin.
Dekat, tapi selalu menjaga jarak, hanya hal hal tertentu yang membuat mereka dekat.


Aira jatuh cinta pelan-pelan.
Dan Aksa… merasakan hal yang sama, tapi memilih diam.
Karena ia tahu batasnya. Ia tahu siapa dirinya.

Siluman tidak boleh mencintai manusia.
Dan manusia tidak seharusnya mencintai siluman.

Namun hati tidak pernah tunduk pada aturan.

Ini kisah seseorang yang mencintai… sendirian,
dan seseorang yang mencintai… dalam diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tara Yulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bukan Arti Mimpi Pangeran

Saat Aira menikmati hangatnya tangan Aksa yang menggenggam tangannya, senyum kecil tak bisa ia tahan. Bayangan mimpinya tentang “pangeran” itu muncul lagi di kepalanya. Tanpa sadar, bibirnya berucap pelan, “Pangeranku… depan mata.”

“Pangeran?” ulang Aksa, sedikit heran.

Aira masih tenggelam dalam lamunannya. Tangan Aksa melambai di depan wajah Aira sekali, dua kali—tetap tidak ada respon. Akhirnya Aksa menepuk pundaknya.

Sekejap Aira tersadar dan—karena kaget—ia kembali menyebut, “Pangeran!” dengan nada terkejut.

“Duh, keceplosan terus nih mulut gue… depan Aksa pula,” batinnya panik.

Sayangnya, Aksa sama sekali tidak penasaran kenapa Aira berkali-kali menyebut “pangeran” di depannya. Ia justru bersiap pergi karena merasa keadaan Aira sudah aman.

“Gue du—” kalimat Aksa terpotong ketika suara kruyuk perut Aira terdengar sangat jelas, bahkan lebih keras dari percakapan mereka.

Aira nyengir malu. “Gue laper…”

“Ya udah, makan,” jawab Aksa santai. Ia langsung menarik dan menggandeng tangan Aira menuju kantin. Tapi kali ini kantinnya berbeda—kantin umum, yang dipenuhi mahasiswa perempuan dan laki-laki dengan jumlah seimbang.

Tanpa banyak tanya, Aksa langsung memesan makanan, tidak menunggu Aira memilih. Beberapa menit kemudian pesanan datang: dua porsi nasi ayam balado dan dua gelas teh hangat.

“Makasih… kamu hari ini baik banget sama aku,” ucap Aira pelan setelah suapan pertamanya.

“Sama-sama,” jawab Aksa singkat, seperti biasa—tenang dan datar.

Keduanya kembali fokus makan. Tiba-tiba cling—sendok Aira jatuh ke lantai. Aira spontan membungkuk untuk mengambilnya. Tanpa ia sadari, Aksa juga melakukan hal yang sama.

Tangan mereka bersentuhan.

Waktu seperti berhenti. Keduanya terdiam dan saling menatap tanpa kata.

“Wajah Aksa… bener-bener sama kayak pangeran di mimpi aku. Apa ini pertanda? Apa Aksa… takdir gue?” batin Aira berdebar.

Sementara Aksa memandang Aira dengan sorot yang tak biasa.

“Kenapa Aira selalu beda dari yang lain…?” gumamnya dalam hati.

“Biar gue aja,” ucap Aira, masih menahan gugup.

“Gue aja,” sahut Aksa bersamaan.

Mereka kembali membungkuk—dan duk! kepala mereka saling terjeduk.

Aira meringis sambil memegangi kepalanya, sementara Aksa hanya bisa menghela napas kecil, antara menahan tawa dan menahan rasa malu.

...****************...

Tak jauh dari meja mereka, ada seseorang yang memperhatikan tanpa berkedip—Rosa Kartika.

Ia mencolek sahabat dekatnya, Gina Maharani, yang sejak lama menyukai Aksa namun selalu merasa sulit untuk mendekatinya.

“Gin, Gina… itu beneran Aksa kan?” bisik Rosa, matanya terus menatap ke arah Aksa.

Gina langsung menoleh. Mata itu membesar saat melihat sosok yang duduk bersama Aira.

“A–apa itu… Aksa?” gumam Gina, suaranya tercekat. Ia memperhatikan dengan seksama ketika Aksa dan Aira sama-sama membungkuk untuk mengambil sendok.

“Sendoknya kotor,” ujar Aira begitu sendok itu berhasil ia ambil.

“Jangan dipakai,” jawab Aksa singkat.

“Terus?” Aira mengerutkan kening.

Tanpa banyak bicara, Aksa menarik piring Aira sedikit mendekat. Lalu dengan santainya ia menyuapkan makanan ke arah Aira.

“Apa?” Aira melotot kaget.

“Makan,” ucap Aksa, kali ini lebih lembut. “Aa…”

Aira membeku. Sementara dari jauh, Gina merasakan dadanya mencelos, seakan seluruh udara di ruangan itu mendadak hilang.

Gina menggenggam ujung bajunya erat-erat. Dadanya terasa sesak melihat Aksa menyuapi Aira dengan begitu natural, seolah itu hal biasa mereka lakukan.

“Aku… aku harus ke sana,” gumam Gina lirih. Ia sudah setengah bangkit dari kursinya, bola matanya tak lepas dari Aksa.

Rosa langsung menarik lengannya. “Gin! Jangan sekarang!”

“Tapi Ros… liat mereka! Aksa—Aksa nyuapin dia! Masa aku diem aja?!”

Rosa menahan Gina makin kuat. “Kalau kamu nyamperin sekarang, bisa-bisa Aksa langsung ilfeel sama kamu. Kamu tau kan dia nggak suka drama di depan umum.”

Gina terhenti. Napasnya naik turun, matanya memerah menahan emosi.

“Tapi aku nggak mau Aira duluan yang dapetin dia…” suaranya pecah, terdengar seperti bisikan patah hati.

Rosa menggeleng pelan. “Kamu tuh suka sama Aksa udah lama. Justru karena itu… kamu harus pintar. Jangan terburu-buru. Jangan bikin dia menjauh.”

Gina memejamkan mata, menahan diri sekuat tenaga.

Sementara itu, Aksa masih menyuapkan suapan kedua ke Aira yang wajahnya kini memerah kayak kepiting rebus. Aira menunduk malu, tidak sadar dua pasang mata sedang memperhatikan mereka penuh campuran rasa.

Gina membuka mata pelan-pelan—dipenuhi tekad baru.

“oke, bukan sekarang,” bisiknya. “Tapi aku nggak akan tinggal diem setelah itu.”

Rosa mengangguk, tersenyum licik. “Nah, gitu dong. Ada waktunya.”

Lewat jauh di sana, Aira masih belum tahu… badai kecil bernama Gina Maharani sedang bersiap datang ke hidupnya.

Aira menunduk, wajahnya memerah hampir sewarna sambal balado di piring. Ia masih belum percaya Aksa menyuapinya—di tempat umum pula. Di mana-mana ada mahasiswa. Banyak mata bisa melihat.

Termasuk dua pasang mata yang tadi sempat mengintai.

Aksa mengangkat sendok lagi. “Mulutnya kebuka, Ra.”

Aira menatap Aksa seolah ingin protes, tapi yang keluar hanya gumaman, “Gue bisa makan sendiri, tau…”

“Lo bilang ‘terus?’ tadi,” jawab Aksa santai. “Ya gue lanjutin.”

Tanpa memberi ruang untuk debat, Aksa kembali menyodorkan suapan ketiga. Aira akhirnya pasrah, membuka mulut dengan pelan.

“Pinter,” komentar Aksa sambil tersenyum tipis—senyum langka yang jarang keluar dari dirinya.

Aira langsung menunduk lagi. Ya Allah… kenapa dia gitu banget?

Aira baru menyadari sesuatu ketika melihat piring Aksa. Itu masih penuh. Benar-benar belum tersentuh.

“Lo belum makan dari tadi?” tanya Aira.

Aksa menjawab seolah itu hal sepele, “Nanti.”

“Loh? Kenapa? Aku—” Aira berhenti, menyadari kata “aku”-nya hampir lolos.

Aksa mengangkat alis. “Kenapa?”

“…nya ini… demi gue lo belum makan?” Aira akhirnya bertanya, suaranya lirih.

Aksa memutar sendok, wajahnya tetap datar. “Ya. Lo lapor duluan.”

Aira merasa dadanya hangat. Bukan karena makanan, tapi karena laki-laki di depannya.

Untuk pertama kalinya, Aksa terlihat… benar-benar memperhatikan dirinya.

Aksa mendorong piringnya sedikit ke arah Aira. “Udah cukup. Sekarang giliran lo yang nyuapin gue.”

Aira langsung tersedak napasnya sendiri. “Hah?!”

“Fair,” jawab Aksa tenang. “Lo udah makan. Gue belum.”

Aira memandang kiri-kanan, memastikan tidak ada yang memperhatikan. Tapi tentu saja ada—Gina sudah menatap seperti mau meledak emosi, meski dari jauh.

“Tapi… tapi itu…” Aira gugup.

“Lo mau gue kelaperan?” Aksa menaikkan satu sudut bibirnya.

Aira menghela napas panjang, mengambil sendok, dan mengambil sedikit nasi ayam balado dari piring Aksa.

Tangan Aira gemetar sedikit saat sendok itu mendekat ke bibir Aksa.

Aksa tidak menolak. Malah mendekat sedikit.

Dan ketika sendok masuk ke mulut Aksa, Aira merasakan tubuhnya seperti kesetrum.

tapi aira malah gugup dan canggung "ih udah ih kamu makan sendiri deh. " gumam aira lalu meletakkan sendok ke piringnya.

aksa langsung makan dengan sendirinya tanpa menjawab ocehan aira.

Aksa menatap aira.

“kenapa liatin gue gitu banget aksa..??”

aksa mengambil tisu, lalu mengusap sisa sambal di sudut bibir Aira dengan gerakan yang sangat pelan.

“Berantakan,” gumamnya lembut.

Aira membeku.

Dan tanpa Aira sadari, sejak momen itu… hatinya tidak lagi bisa ke mana-mana selain ke Aksa Dirgantara.

“duh jantung gue deg-degan lagi, jangan bilang gue suka sama aksa,” batin aira

“selama hidup gue ada dikehidupan manusia baru kali ini gue dekat dengan perempuan dan itu aira,dia beda dari yang lain,” batin aksa.

“rasanya gue nyaman banget ada didekat aksa, apa ini arti dari mimpi gue tentang pangeran” batin aira

“masih ada jam? ” tanya aksa.

“kosong.”

“gue duluan ya.” ujar aksa sembari berdiri.

“tunggu ak” tahan aira..

“kenapa?”

“kita sekarang temenan kan, gue mau jadi teman lo. ”

“tentang kebaikan dan perhatian gue hari ini itu rasa kemanusian, bukan berarti kita berteman.” ujar aksa memberi tahu agar aira tidak berharap dan baper tentang perhatian yang diberikan aksa hari ini.

Ucapan aksa begitu menyentuh hati aira, senyum yang tadi muncul sekarang pudar karena ucapan itu.

"ternyata ini bukan arti dari mimpi pangeran" batin aira sedih.

Aksa melangkah pergi meninggalkan aira.

rasanya sakit sekali ternyata momen kedekatan hari ini bukanlah awal yang akan berkembang justru awal untuk tidak berharap lebih.

1
Kama
Penuh emosi deh!
Elyn Bvz
Bener-bener bikin ketagihan.
Phone Oppo
Mantap!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!