Setelah menyandang gelar sebagai seorang istri. Rima memutuskan berhenti berkarir agar bisa fokus mengurus suami dan anaknya. Dengan sepenuh hati Rima menyayangi mertua seperti menyayangi ibu kandungnya sendiri. Namun, bukannya kasih sayang dan kebahagiaan yang Rima dapatkan tetapi pengkhianatan dari kedua orang tersebut.
Dengan perasaan hancur, Rima berusaha bangkit dan membalas pengkhianatan suaminya. Balas dendam terbaik adalah dengan menjadikan diri lebih baik dari para pengkhianat. Hingga perlahan Rima bangkit dari keterpurukan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon violla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cctv
22
Aku merasa ruangan ini begitu pengap. Seperti tidak ada oksigen yang bisa aku hirup membuat dadaku terasa kian semakin sesak. Air mata yang tidak bisa aku hentikan telah membasahi kemeja Dimas. Ya, pria itu masih memeluk ku erat.
"Tempat ini nggak nyaman untuk kamu. Sebaiknya kita kembali ke ruangan saja." Dimas seolah tahu apa yang aku rasakan dan aku butuhkan, dia membantuku berdiri dan memapahku ke luar dari tempat yang nyaris membuat aku kehabisan nafas.
"Aku pulang saja, aku takut Rama mengambil Susan dariku. Tolong biarkan aku pulang." Bibir ini bergetar setiap kali bicara, bisa aku rasakan Dimas semakin menggenggam tanganku erat.
"Jadi, apa pria itu yang menjadi alasan kamu ada di sana?" Dimas tidak mengindahkan permintaanku. Dengan satu tangannya dia membuka pintu ruangan lalu mendudukkan aku di sofa.
"Aku sudah melakukan kesalahan. Aku terlalu kegabah sampai semua bukti yang aku punya berhasil diambilnya. Hanya Susan satu-satunya harapan dan semangat hidupku. Tapi, Rama menginginkan hak asuhnya juga."
Aku menangis tergugu sembari menyembunyikan wajahku di balik telapak tangan. Bingung, ke mana aku mengadu dan meminta pertolongan. Tidak lama kemudian, tanganku diraih Dimas. Pria itu memberiku segalas air putih yang sepertinya baru diambil dari dispenser yang ada di sudut ruangan.
"Minumlah, setelah itu ceritakan apa yang membuat kamu sekacau ini," ujar Dimas, tidak ada wajah pemimpin yang aku lihat, melainkan wajah pria yang begitu perduli padaku. Aku bergeming sejenak menimbang apakah aku harus menceritakan masalahku padanya.
Rama mendekatkan ujung gelas yang ia pegang di bibirku. "Minumlah sedikit saja." Baru pertama kali aku minum dari tangan pria lain. Sungguh aku tidak bisa berfikir lebih jernih lagi.
"Makasih," ucapku sembari menyeka air mata. Kutatap Dimas setelah pria itu duduk di hadapanku.
"Ada yang mau kamu sampaikan padaku? Bicaralah selayaknya seorang teman. Kamu tidak perlu sungkan padaku," ucap Dimas.
Jemari tanganku saling meremat satu sama lain. Antara bingung dan gugup rasanya bibir ini tidak bisa terbuka. Aku coba menghirup udara sebanyak mungkin lalu kuhembuskan secara perlahan. Setelah merasa lebih tenang barulah aku beranikan diri bicara.
"Aku memutuskan menerima tawaran bapak untuk memakai pengacara, karena aku pikir itu adalah pilihan yang tepat. Sebab aku tidak punya banyak uang untuk membayar pengacara yang kompeten. Aku sudah memutuskan menggugat bang Rama. Tapi, sekarang semua bukti perselingkuhannya dengan Citra sudah dia ambil. Sekarang, aku terancam kehilangan hak asuh Susan."
Aku menangis tersedu lagi di hadapan Dimas. Ketakutan akan kehilangan Susan membuat aku kehilangan semangat. Rasa bersalah tidak bisa aku lepaskan dari diriku. Bagaimana kalau di persidangan nanti aku kalah?
"Jadi, itu alasannya kamu menangis seperti ini? Suamimu itu berselingkuh dengan Citra?" Dimas berdecak sembari mengepalkan tangan. "Tidak tahu malu!" Ada nada emosi di setiap kalimatnya.
"Jika mereka terbukti korupsi, Rama memintaku untuk tidak melaporkan mereka ke polisi. Rama akan mengambil hak asuh Susan kalau aku tidak menuruti permintaannya! Aku bingung mana yang harus aku pilih. Aku tidak mau urusan pribadiku merugikan perusahaan Bapak. Tapi, aku nggak bisa kehilangan Susan. Sekarang, aku harus apa?"
Dimas bergeming melihatku, aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya itu. Lalu pria itu berpindah duduk di balik meja kerjanya. Menghubungi seseorang sembari membuka laptop.
Usai mengakhiri percakapan singkat itu melalui telepon. Mata Dimas fokus menatap layar datar tersebut. Wajahnya tampak memerah dan serius sekali.
"Kamu masih punya bukti, Rima. Rekaman cctv ini bisa memberatkan suamimu. Untuk sementara waktu kita lupakan dugaan korupsi yang mereka lakukan. Kamu fokus saja pada perceraianmu. Pengacaraku dalam perjalanan menuju ke mari. Aku pastikan hak asuh Susan akan jatuh di tanganmu."
Ucapan Dimas menghidupkan harapanku yang sempat mati. Aku tidak tahu kebaikan apa yang aku lakukan di masa lalu hingga sekarang ada orang baik yang mau membantuku keluar dari masalah.