Setelah mengorbankan dirinya demi melindungi benua Tianlong, Wusheng, Sang Dewa Beladiri, seharusnya telah tiada. Namun, takdir berkata lain—ia terlahir kembali di masa depan, dalam tubuh seorang bocah lemah yang dianggap tak berbakat dalam seni bela diri.
Di era ini, Wusheng dikenang sebagai pahlawan, tetapi ajarannya telah diselewengkan oleh murid-muridnya sendiri, menciptakan dunia yang jauh dari apa yang ia perjuangkan. Dengan tubuh barunya dan kekuatannya yang tersegel, ia harus menemukan jalannya kembali ke puncak, memperbaiki warisan yang telah ternoda, dan menghadapi murid-murid yang kini menjadi penguasa dunia.
Bisakah Dewa Beladiri yang jatuh sekali lagi menaklukkan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13 Kedatangan Penatua Mu Liehan: Hukuman Yang Menyenangkan
Ye Jiang mengepalkan tangannya dengan kuat, nyaris menghancurkan tengkorak bocah di depannya. Namun sebelum ia sempat melakukan sesuatu, pikirannya teringat satu hal—alasan sebenarnya mengapa ia membenci Wu Shen.
Mata tajamnya menatap Wu Shen penuh kebencian.
‘Dia anak dari Wu Ruoxi… wanita yang seharusnya menjadi milikku…’
Dulu, Ye Jiang mencintai Wu Ruoxi, ibu Wu Shen, dengan sepenuh hatinya. Namun, wanita itu justru memilih seorang pria biasa yang tidak memiliki latar belakang apa pun.
Sejak saat itu, dendam dan kebenciannya terhadap keluarga kecil Wu Shen terus membara.
Dan kini, putranya berani mempermalukannya di depan umum?
Ye Jiang mengertakkan gigi. "Wu Shen, kau berani sekali bermain-main denganku. Mari kita lihat sampai kapan keberanianmu bertahan."
Wu Shen hanya tersenyum tipis, seolah tak peduli dengan ancaman tersebut.
"Ada keributan apa di sini!"
Suara langkah kaki menggema dari arah gerbang utama lapangan latihan. Semua murid yang sebelumnya terpaku karena kejadian antara Wu Shen dan Ye Jiang, kini langsung menundukkan kepala mereka serempak.
"Salam hormat, Penatua Mu Leihan!"
Suara mereka bergema dengan penuh rasa hormat dan ketakutan.
Sosok pria tua berambut perak panjang yang diikat rapi melangkah masuk. Tatapannya tajam seperti elang, seolah membedah siapa pun yang memandangnya.
Jubah panjangnya berkibar perlahan tertiup angin, menambah kesan wibawa yang luar biasa. Ia adalah Penatua Mu Leihan, salah satu tokoh terkuat di Sekte Phoenix dan figur yang sangat ditakuti.
Ye Jiang langsung menyeringai lebar. Ia melangkah mendekati mantan gurunya itu dan menunduk sedikit sebagai bentuk hormat.
“Penatua Mu, saya bersyukur Anda datang. Murid Wu Shen ini telah berani bertindak lancang terhadap saya sebagai gurunya. Ia tidak hanya menantang otoritas saya, tapi juga melukai saya di hadapan semua murid.”
Mu Leihan mengangkat alis sedikit, matanya menatap lurus ke arah Wu Shen yang masih berdiri santai.
“Begitu ya…” gumamnya pelan.
Wu Shen hanya menyilangkan tangan di depan dada, tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Ia lalu membuka suara, suaranya ringan dan santai, namun penuh sindiran halus.
“Wah, Guru Ye ternyata masih suka mengadu seperti anak kecil. Saya kira seseorang selevel Anda akan menyelesaikan masalah dengan kedewasaan, bukan membawa-bawa Penatua hanya karena harga dirinya tercakar.”
Beberapa murid menahan napas. Meski mereka tidak menyukai Ye Jiang, menantang otoritasnya di depan Penatua adalah tindakan yang berani—atau bodoh.
Ye Jiang mengerutkan dahi, namun sebelum ia sempat membalas, Mu Leihan melambaikan tangan, memberi isyarat untuk diam.
“Wu Shen,” ucapnya dengan suara berat dan dalam, “Kau sudah tidak sopan. Sekalipun Ye Jiang bersalah, kau tidak seharusnya melanggar batas sebagai murid. Sekte kita dibangun di atas pondasi disiplin dan rasa hormat.”
Tatapan Wu Shen mulai berubah. Ia bisa merasakan ketidakadilan yang kembali muncul dari orang-orang yang membenci keluarganya.
Mu Leihan melanjutkan tanpa emosi, “Untuk itu, kau akan dikenakan hukuman. Mulai hari ini, kau dilarang mengikuti latihan apa pun selama satu minggu. Anggap ini sebagai waktu untuk merenungi tindakanmu.”
Ye Jiang menyeringai penuh kemenangan. Ia bahkan menoleh ke Wu Shen dengan tatapan mengejek, seolah ingin melihat bocah itu meratap atau merengek karena dikeluarkan dari latihan.
Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Wu Shen mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. “Satu minggu tanpa latihan? Wah, terima kasih banyak, Penatua.”
Ye Jiang sontak mematung. “Apa?”
Wu Shen menoleh sebentar, memasukkan tangannya ke saku dan berujar santai, “Saya justru berterima kasih karena akhirnya tidak perlu melihat wajah Guru Ye yang menyebalkan setiap hari.”
Tawa kecil tertahan di antara beberapa murid yang mendengar komentar Wu Shen saat itu.
“Lagipula, istirahat seminggu bukan hukuman berat. Tapi jika maksud Anda untuk membuat saya jera… maaf, Penatua. Saya justru senang diberi waktu bebas.”
Wu Shen kemudian membalikkan badan dan berjalan meninggalkan lapangan dengan langkah santai, seolah tidak ada beban sama sekali atas hukuman yang ia terima.
Ye Jiang masih terdiam, tidak percaya bahwa bocah itu bisa begitu tenang bahkan setelah dijatuhi hukuman. Senyum puas di wajahnya memudar, digantikan oleh kebingungan dan sedikit rasa frustrasi.
Mu Leihan hanya menghela napas panjang. Tatapannya masih tertuju pada punggung Wu Shen yang perlahan menjauh.
‘Anak itu… tetap saja, dia adalah darah dari Wu Ruoxi. Kalau saja keadaan berbeda…’ pikir Mu Leihan dalam diam.
Sementara itu, Wu Shen berjalan keluar dari lapangan, menatap langit yang cerah.
“Satu minggu bebas… waktu yang cukup untuk berlatih sendirian,” gumamnya pelan, senyumnya semakin melebar. Bagi Wu Shen, berlatih sendiri jauh lebih baik. Ia tidak memerlukan guru karena dia sendiri adalah guru dari segala guru.
...
Wu Shen berjalan santai di sepanjang taman Sekte Phoenix. Kedua tangannya bersilang di belakang kepala, siulan riang keluar dari mulutnya, membelah keheningan hari yang hangat.
Angin semilir meniup ranting-ranting pohon plum di sepanjang jalan. Bunga-bunganya berguguran pelan, seolah ikut menari bersama langkah Wu Shen yang ringan.
Namun, kedamaiannya tidak berlangsung lama.
Bugh!
Seseorang tiba-tiba menabraknya dari samping. Wu Shen bergeser setengah langkah ke kiri, namun orang yang menabraknya justru terjatuh keras ke tanah, membuat lembaran-lembaran kertas yang ia bawa berhamburan di sekitar mereka.
“Aduh... Maaf… maaf…” suara lirih dan sedikit gemetar terdengar dari murid yang terjatuh itu.
Wu Shen tak terlalu ambil pusing. Ia menoleh santai, hendak membantunya berdiri. Namun, tangannya terhenti setelah melihat siapa orang yang menabraknya.
Seorang bocah bertubuh gemuk dengan rambut cepak dan mata kecil yang selalu tampak gugup. Bao Gu.
"Kau..."
Bao Gu membuka matanya dan langsung tersontak kaget begitu melihat sosok Wu Shen. Keringat bercucuran di dahinya, sementara mulut gemuknya menggigil ketakutan.
Wu Shen berjongkok pelan, senyumnya kembali muncul—namun kali ini lebih mirip senyum predator yang menemukan mangsanya.
“Hm? Kenapa? Apa kau sedang melihat hantu?”
Wajah Bao Gu langsung pucat pasi. “A-Aku… Aku… Wu Shen… k-kau…” Bao Gu bergumam tidak jelas, napasnya tersengal seperti habis berlari jauh.
Wu Shen tidak bergeming, matanya menatap lurus ke wajah bocah itu.
Tentu saja ia tahu siapa Bao Gu. Salah satu anak buah Mu Xie.
Saat Mu Xie membunuh Wu Shen yang asli, ada beberapa anak buahnya yang menyaksikan kejadian itu. Bao Gu adalah salah satunya—bahkan dia yang turut membuang tubuh Wu Shen ke Hutan Bayangan.
Bao Gu sangat ketakutan. Ia memang sudah mendengar kabar bahwa Wu Shen telah kembali, tapi melihatnya secara langsung jauh lebih mencengangkan.
Tiba-tiba, ia bersujud di tanah.
“Maafkan aku! Aku hanya mengikuti perintah! Aku tidak tahu apa-apa, sungguh! JANGAN BUNUH AKU!!”