Jelita Maheswari, gadis yang kecantikannya selalu tertutupi dengan penampilannya yang sangat sederhana, bahkan terkesan kolot. Dia menerima pinangan dari seorang wanita setengah baya, yang menginginkannya untuk menikah dengan putranya, karena merasa tidak enak untuk menolak permintaan wanita itu. Pernikahan yang semula dianggap akan memberikan kebahagiaan buatnya, benar-benar jauh dari harapan. Gavin Melviano, pria yang dijodohkan dengan Jelita, terlihat sangat tidak menyukainya, karena penampilan Jelita yang benar-benar tidak fashionable. Namun, pria itu terpaksa menerima Jelita sebagai istri, demi supaya harta kekayaan orang tuanya tidak jatuh ke tangan Jelita. Gavin bahkan menuduh Jelita, mau menerima lamaran mamanya, hanya demi harta.
Akankah Jelita bisa bertahan dengan sikap Gavin yang selalu menghinanya? dan apakah Gavin selamanya akan menatap hina Jelita?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosma Sri Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Reynaldi berjalan sembari mengulum senyumnya. Pria itu membayangkan bagaimana raut wajah Gavin yang berusaha menahan kesal, padanya. Padahal dia tahu kalau sahabatnya itu, sangat ingin menariknya keluar dari apartemen secepat mungkin, tadi.
"Hei, kenapa kamu senyum-senyum?" tegur seseorang, yang membuat Reynaldi kaget.
"Eh, Denis, kenapa kamu ada di sini?" tanya Reynaldi setelah rasa kagetnya hilang dan kini berganti dengan keryitan di keningnya.
"Lho, kata kamu, Gavin sedang sakit. Jadi aku ke sini mau melihatnya. Aku juga sengaja membawa makanan ini untuknya," Denis menunjukkan bungkusan plastik yang berisi kotak makanan.
Reynaldi sontak menarik tangan Denis, mengajak Denis meninggalkan tempat itu.
"Kamu apa-apaan sih? aku kan mau menemui Gavin," Denis menepis tangan Reynaldi.
"Aku sarankan lebih baik, jangan! karena mood Gavin sekarang sedang hancur. Salah- salah nanti, bukan makanan yang kamu bawa itu, dia makan, tapi kamu," ucap Reynaldi, ambigu.
"Maksudnya? emang ada apa dengan dia?" Denis mengrenyitkan keningnya.
Dengan sedikit menahan tawa, Reynaldi pun menceritakan tentang apa yang baru saja terjadi, dan bagaimana cara Gavin mengusirnya dari apartemen itu.
"Serius? masa sih sampai segitunya? seingatku waktu dia masih bersama dengan Maya, tidak terlalu seperti itu," sahut Denis disertai dengan kekehan.
"Ya, emang sulit dipercaya, tapi itulah yang terjadi.Tapi, sepertinya dia belum menyadarinya."
"Aku jadi penasaran ingin lihat bagaimana wajah istrinya itu," ujar Denis.
"Lain kali saja, karena untuk saat ini situasinya tidak memungkinkan. Ayo, lebih baik kita pergi saja dari sini," Reynaldi menepuk pundak Denis, kemudian pria itu dan Denis, melanjutkan langkah mereka, ke tempat di mana mobil mereka diparkiran.
"Rey, apa kamu tahu seseorang atau toko kue yang bisa mensuplay ke cafeku? soalnya yang kemarin sudah tidak bisa lagi karena dia harus pindah ke luar kota mengikuti suaminya,"
"Emm, bagaimana kalau ...." Reynaldi menggantung ucapannya, karena tiba-tiba dia menyadari, kalau dia tidak seharusnya mendahului Gavin.
"Kenapa berhenti? kalau apa?" Denis terlihat penasaran.
"Hmm, tidak ada. Aku tadi hanya ingin bilang, bagaimana kalau kamu belajar membuat kue, jadi kamu bisa buat sendiri untuk Cafemu,"
"Sialan kamu! aku tidak punya bakat untuk itu. Lagian, apa kamu pikir kalau aku hanya sibuk mengurus cafeku saja? aku juga harus mengurus usaha tour dan travel, Papa," sahut Denis yang papanya memang memiliki bisnis tour dan travel yang cukup besar.
"Ya udah, kali begitu kamu coba cari aja sendiri. Untuk sekarang aku kira banyak yang membuka usaha kue,"
"Iya deh kalau begitu," pungkas Denis sembari menghentikan langkahnya, karena dia sudah berdiri di dekat mobilnya.
"Kamu mau kembali ke kantor, atau ikut aku ke Cafe," tanya Denis kembali, sebelum pria itu masuk ke dalam mobilnya.
Reynaldi terlihat berpikir sejenak, memikirkan apakah masih ada pekerjaan yang harus dia kerjakan sesegera mungkin atau apakah ada janji untuk bertemu dengan klien.
"Emm, sepertinya aku harus kembali ke kantor, karena memang belum saatnya untuk pulang. Kebetulan, ada berjas yang belum aku selesaikan," ucap Reynaldi akhirnya.
"Ok deh, kalau begitu kita berpisah di sini saja, bye, Rey!" Denis masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya, setelah Reynaldi menganggukkan kepala, mengiyakan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Denis melanjutkan mobilnya dengan kecepatan sedang, menyusuri jalan raya yang tidak terlalu padat, karena memang belum saatnya orang pulang kerja.
Tiba-tiba dia merasakan getaran handphone di saku celananya, pertanda kalau ada yang menghubunginya. Pria itu tidak perlu merogoh sakunya, dia cukup memasukkan earphone ke dalam telinganya dan menekan tombol untuk menerima panggilan.
"Ya?"
"Pak, Denis aku sudah menemukan orang yang bisa menerima pesanan berbagai macam kue dan menurut temanku yang suka memesan padanya, kue buatannya sangat enak," terdengar suara ceria seorang wanita dari ujung telepon, yang ternyata merupakan manager cafenya.
"Oh, kalau begitu kamu bisa hubungi dia? kamu suruh untuk datang ke Cafe. Aku sudah dekat ke Cafe sekarang," titah Denis yang diiyakan oleh karyawannya tadi.
Denis mencopot earphone dari telinganya dan meletakkannya di atas dashboard mobilnya.
Denis membelokkan mobilnya masuk ke parkiran cafe miliknya dan langsung memarkirkan mobilnya itu. Pria tampan yang memiliki tinggi badan 181cm dan berkulit putih itu, keluar dari dalam mobil dan langsung berjalan masuk ke dalam cafenya yang memang tidak pernah sepi dari pengunjung.
"Bagaimana? apa kamu sudah menghubunginya?" tanya Denis tanpa basa-basi, sembari mendaratkan tubuhnya duduk di ruang pribadinya.
"Sudah, Pak, tapi tidak ada yang menjawab. Mungkin, dia saat ini sedang sibuk, karena yang aku dengar kalau dia tidak pernah sepi orderan walaupun dia belum memiliki toko kue," jelas sang Manager, dengan semangat.
"Oh, begitu ya? baiklah nanti kamu coba lagi untuk menghubunginya ya?"
"Baik, Tuan. Tadi aku memang sudah mengirimkan pesan. Mudah-mudahan, orang itu akan menghubungi balik, ketika sudah membaca pesanku,"
Denis mengangguk-anggukan kepalanya, mengerti.
"Ya udah,kamu boleh keluar sekarang! nanti kalau sudah ada kabar dari dia, kamu segera kabari aku,"
Manager yang merupakan seorang perempuan muda itu menganggukkan kepala dengan tidak bergairah. Karena pria yang merupakan bosnya sekaligus pria yang sudah lama disukainya itu tidak ada mengucapkan terima kasih padanya dan bahkan memintanya untuk keluar. Padahal sebenarnya dia masih ingin berlama-lama melihat wajah tampan Denis.
"Kenapa kamu masih ada di sini? apa masih ada sesuatu yang perlu kamu kasih tahu?" celetuk Denis dengan alis yang bertaut.
"Eh, tidak ada,Pak! aku keluar dulu," jawab wanita itu dengan gugup. Kemudian wanita itu berbalik dan hendak melangkah keluar.
"Eh, Bella!
"Iya, Pak?" Bella dengan wajah gembira kembali berbalik, karena mendengar Denis kembali memanggilnya.
"Kamu tolong minta seseorang untuk mengantarkan kopi seperti biasa untukku!"
"Hanya itu, Pak?" tanya Bella.
"Iya, hanya itu. Kamu boleh keluar lagi, dan selesaikan pekerjaanmu!" ucap Denis tanpa senyuman di bibirnya
"Baik, Pak!" sahut Bella dengan nada kecewa.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu, di apartemen Gavin terjadi perang dingin antara Jelita dan Gavin. Jelita benar-benar bingung dengan sikap pria itu yang tiba-tiba diam padanya. Bahkan saat dirinya bertanya apa Gavin mau makan lagi, pria itu berlalu begitu saja dan masuk ke dalam kamarnya, tanpa memberikan jawaban.
"Ah, bodo amat. Yang penting aku sudah menawarkan padanya. Toh dia bukan anak kecil lagi. Kalau dia lapar, dia tahu untuk melakukan apa." batin Jelita, sembari membereskan peralatan-peralatan bekas membuat kuenya tadi.
Setelah semuanya beres, wanita itu meraih ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya tadi.
Jelita mengrenyitkan keningnya, melihat kalau dia tidak mengenali nomor yang baru saja menghubunginya.
"Oh, dia ada mengirimkan pesan," Jelita segera membuka pesan masuk itu dan membacanya.
Wajah wanita itu yang semula kesal, berubah menjadi berbinar begitu membaca pesan itu. Tanpa berpikir panjang, Jelita pun langsung mengirimkan pesan balasan.
Tbc