Panggilan Emran, sang papa yang meminta Ghani kembali ke Indonesia sebulan yang lalu ternyata untuk membicarakan perihal pernikahan yang sudah direncanakan Emran sejak lama. Ancaman Emran membuat Ghani tak bisa berkutik.
Ghani terpaksa menyembunyikan status pernikahannya dari sang kekasih.
Bagi Khalisa bukan sebuah keberuntungan bertemu dengan Ghani kembali setelah tak pernah bertukar kabar selama tujuh belas tahun.
Bisakah Khalisa bertahan dengan pernikahan tanpa cinta ini, sedang suaminya masih mencintai perempuan lain.
***
"Kamu sendiri yang membuatmu terjebak." Ghani sudah berdiri di depannya, menyalahkan semua yang terjadi pada Khalisa. "Kalau kamu tidak menyetujui lamaran Papa tidak akan terjebak seperti ini." Sangat jelas kekesalan lelaki itu ditujukan padanya.
"Kalau kamu bisa menahan Papamu untuk tidak melamarku semua ini tidak akan terjadi Gha, kamu memanfaatkanku agar masih bisa menikmati kekayaan yang Papamu berikan."
"Benar, aku akan menyiksamu dengan menjadi istriku, Kha." Suara tawa yang menyeramkan keluar dari mulut lelaki itu. Membuat Khalisa bergidik ngeri, berlari ke ranjang menyelimuti seluruh tubuh. Ghani kemudian pergi meninggalkan kamar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
"Kha," tangan Ghani menahan Khalisa yang ingin pergi. "Jangan seperti ini lagi, nanti kamu migrain di kampus."
Ghani semakin mendekatkan wajahnya pada sang istri. Khalisa tak mampu menolak karena tangan Ghani sudah masuk dalam jilbab memijat-mijat tengkuknya, sedang bibir lelaki itu sudah membungkam sempurna bibirnya.
Khalisa merinding dan menggeliat dibuatnya, kehangatan menjalar dalam jiwanya yang kedinginan.
Ghani melakukannya tidak lama, namun cukup membuat Khalisa sangat rileks dan bahagia.
"Jangan stres, kamu selalu tegang Kha." Sekarang kedua tangan Ghani memijat keningnya. "Kamu gampang ngedrop kalau tidak bisa mengatasi emosimu seperti ini. Apa mahasiswamu nakal-nakal, sampai membuatmu stres?"
"Kamu yang membuatku stres Gha."
"Jangan terlalu memikirkanku Kha, bahagiakan dirimu."
"Aku bahagia kalau kamu terus seperti ini padaku."
"Jangan baper Kha, ayo berangkat."
Ghani mengalihkan perhatian istrinya, bisa-bisa dia khilaf karena pancingan Kha kalau tetap meladeni istrinya itu. Khilaf? Adakah kata khilaf untuk orang yang sudah menikah. Ghani menarik tangan Khalisa menuju mobil.
Benar-benar misterius, kadang hangat, kadang dingin, sungguh sangat aneh. Apa yang disembunyikan Ghani dari Khalisa? Kalau tidak menginginkannya kenapa Ghani senafsu itu saat menciumnya.
Lama-lama Ghani membuat Khalisa ketergantungan dengan lelaki itu. Ada rasa ingin merebut hatinya, sebesar itukah harapannya setelah mendapatkan dua kali kiss dari Ghani. Kasian banget, sungguh sangat kasian kamu Kha.
Sepanjang perjalanan menuju kampus Khalisa diam, belajar menandingi dinginnya sikap Ghani padanya. Tanpa bicara, tanpa senyum dan tanpa basa-basi.
"Kha, kalau kamu seperti ini lebih baik istirahat di rumah." Kata Ghani melepas keheningan di jalan raya, Khalisa mengernyitkan kening ke arahnya. "Cemberut aja, pasti mikirin kata-kataku tadi ya."
Ghani menepikan mobil, memandang mata Khalisa yang kehilangan harapan. "Pulang aja ya?"
"Emangnya kenapa kalau aku cemberut?" Khalisa tidak menjawab pertanyaan Ghani, malah bertanya balik. Ingin tau alasannya, apa dia rindu senyuman manis ini.
"Kalau kamu berangkat kerja seperti ini, orang akan tau masalah kita. Kalau Mama sampai tau masalahnya akan tambah panjang Kha."
"Oke, kita pulang."
"Hmmm."
"Ikut aku ke kantor aja."
Demi Ghani Khalisa korbankan semuanya termasuk pekerjaan. Mungkin sebentar lagi Ghani akan membuatnya berhenti dan mendekam di rumah sendirian.
Setelah begitu banyak yang Khalisa lepaskan untuk Ghani, apakah dia juga harus melepaskan Ghani nanti. Perempuan itu pasti akan datang mengambil kekasihnya lagi. Khalisa hanyalah penghalang diantara dua insan yang saling mencintai.
Khalisa menyandarkan kepala ke kursi dan memejamkan mata, susah payah menahan mata yang mulai menghangat.
"Kha sampai." Khalisa mengerjap, saat Ghani memanggilnya. Dia berada di kampus bukan di rumah atau kantor Ghani. "Jangan menangis lagi." Ghani mencium keningnya. "Kalau sakit telpon aku segera, jangan sampai parah ya."
Khalisa mengangguk, hatinya berada dalam kebingungan ketika mendapat perlakuan Ghani yang seperti ini. Tapi kadang ucapan suaminya itu menegaskan tidak menginginkannya.
Ghani membukakan mobil, Khalisa mencium punggung tangannya. Lelaki itu menarik Khalisa dalam pelukan hangat.
"Jaga diri baik-baik Kha."
"Aku hanya mengajar Gha, tidak sedang melawan penjahat."
"Mama akan menjewerku kalau tau kamu terus menangis karena ulahku."
"Makanya jangan nakal, bohong sama Mama." Ucapnya tersenyum jahil.
"Kalau gak bohong susah dapat bonusnya."
"Apaan bonusnya?"
"Kamu."
"Gha, kamu bikin aku tambah bingung."
"Jangan bingung, aku ke kerja dulu ya."
"Hati-hati di jalan Gha."
Ghani mengangguk mengurai pelukannya, Khalisa tersenyum manja. Melambaikan tangan saat suaminya yang meninggalkan parkiran.
Sungguh kamu suami misterius Gha. Khalisa meninggalkan parkiran dengan perasaan yang tak menentu, susah untuk diungkapkan antara sedih dan bahagia.
"Pagi Kha...!" Sapa Azhar yang sudah standby di depan mejanya saat Khalisa memasuki kantor.
"Pagi..." balasnya
"Hari ini berangkat bareng ya ke tempat Pak Luthfi...!"
"Maaf, aku dijemput Ghani."
"Jadi gak datang?"
"InsyaAllah ke sana sama suamiku." Jawab Khalisa tanpa bertele-tele.
"Apa kamu bahagia bersamanya Kha?"
"Maksudmu apa Azhar, dia suamiku jelas aku bahagia dengannya."
"Jangan bohong denganku Kha? Kamu masih kurang yakin dengan video itu?"
"Azhar, cukup...!" Teriak Khalisa, semua yang ada di ruangan memandang ke arahnya. Dia memilih pergi meninggalkan Azhar.
Khalisa mengabari Ghani lima belas menit sebelum jam mengajarnya selesai. Tidak ingin bertemu Azhar lagi hari ini. Setelah jam kuliah berakhir dia langsung menuju parkiran. Ghani sudah menunggunya di sana, Khalisa langsung menghambur kepelukan suaminya.
"Kha, kenapa?" tanya Ghani lembut, perempuan itu menggelengkan kepala pelan.
"Hei jangan menangis. Sudah kubilang jangan menangis lagi." Ghani menangkap kilat amarah di mata Khalisa. Dia membawa istrinya masuk ke mobil. Sambil menyetir satu tangan Ghani memijat tengkuk Khalisa. "Rileks Kha, pasti kamu sedang pusing sekarang."
Khalisa mengernyit melihat Ghani melajukan mobilnya menuju rumah Pak Luthfi. Ada hawa curiga menjalar dipikirannya. Dia belum memberitahu alamat rumah Pak Luthfi tapi Ghani sudah tau jalannya.
Lelaki di sampingnya begitu mesra menggandengnya masuk ke rumah besar itu. Di dalam ada mama dan papa mertua yang mengambutnya hangat. Pantas saja sejak tadi tangan Ghani manis banget tidak mau lepas, ternyata mertuanya ada di sini. Saat melirik wajahnya yang cemberut Ghani malah melingkarkan tangan di pinggangnya.
"Sayang, ayo kita ketemu Paman."
Sayang? Manis banget mulutnya di depan mereka huhh, jadi pengen tinggal sama mertua. Paman? Siapa yang dimaksud? Kami berjalan mengikuti mama dan papa.
Mereka mengenalkan Pak Luthfi padanya sebagai kakak sepupu mama mertua. Pantas saja Ghani begitu akrab dengan rektornya ketika bertemu waktu itu. Dan Pak Luthfi ternyata sudah tau kalau dia istri Ghani, huft serasa terjebak begitu dalam.
"Maaf, Paman waktu itu tidak bisa datang kepernikahan kalian karena ada tugas." Yaa benar, waktu mendekati hari pernikahannya Pak Luthfi memang sedang di luar kota. Menyebalkan deh mengetahui semua ini.
"Tak apa.. aku paham.. Pamankan sibuk, tapi kalau boleh jangan dibuat istriku sibuk juga." Canda Ghani membuat papa mama ikutan tertawa.
"Jadi cemburu nih sama kerjaannya?" Goda Pak Luthfi.
"Dikit.." sahut Ghani tersenyum lebar.
"Bilang aja gak bisa jauh-jauh." Papa terkekeh
Mereka ngomongin apaan sih, orang di rumah juga gak pernah dekat. Jauh, sejauh mata memandang. Tapi anehnya kalau lagi di luar manis banget.
"Tinggal minta Kha di rumah aja apa susahnya sih Gha, kayak kurang uang aja. Kasian Kha kecapean." Mata mama mendelik ke arah Ghani, kacau kalau sampai Ghani setuju, papa dan juga Pak Luthfi. Bakalan mati kutu dia diam di rumah tiap hari, sangat membosankan. Tapi kalau di kampus juga menyebalkan bertemu Azhar, hidupnya tambah sulit sekarang.
"Kha bosen Mah ditinggal sendirian di rumah. Iyakan Sayang?" Jawab Ghani dengan santai.
"Makanya kasih Mama cucu, biar menantu Mama gak kesepian di rumah." Aduuhh ucapan mama bikin nusuk ke jantung deh, bikin lemes. Itu lagi, itu lagi yang mama minta.
"Mah, jangan ributin itu lagi dong di sini banyak orang. Kasian Kha malu." Ghani menangkap perubahannya yang tidak nyaman, karena matanya mulai memanas.