"DAVINNNN!" Suara lantang Leora memenuhi seisi kamar.
Ia terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa aneh.
Selimut tebal melilit rapat di tubuhnya, dan ketika ia sadar… sesuatu sudah berubah. Bajunya tak lagi terpasang. Davin menoleh dari kursi dekat jendela,
"Kenapa. Kaget?"
"Semalem, lo apain gue. Hah?!!"
"Nggak, ngapa-ngapain sih. Cuma, 'masuk sedikit'. Gak papa, 'kan?"
"Dasaaar Cowok Gila!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raey Luma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dunia Leora
"Bebal kalo dikasih tau." ucap Leora tak ingin kalah.
Lalu, dengan tiba tiba, Davin bangkit dengan cepat. Hampir saja wajahnya menabrak wajah Leora.
"Lo ngerti gak, kalo gue suruh diem?" Tanya Leora setengah kesal.
Kesal bukan karena Davin ngeyel, tapi karena wajah Davin hampir menabrak wajahnya.
"Gue serius. Gue baik baik aja. Jadi, simpen aja semua itu, terus lo tidur" jawab Davin dengan tegas.
Leora memalingkan wajah, bingung. Sudah jelas Davin demam, dan itu akan memperburuk kondisinya jika ia tidak segera ditangani.
"Oke. Kalau itu mau lo. Tapi..." lanjut Leora menggantung, "kalo sampai lo kenapa napa, gue gak bakal tanggung jawab."
Davin tersenyum mendengar itu, "ya elah, dari awal juga lo gak pernah tanggung jawab kok. So, gue udah biasa atasi semuanya sendirian"
Leora mendengus kesal. Ia memang cuek pada Davin, terlebih setelah orang tua mereka menikahkannya, namun Leora tak terima dengan ucapan Davin barusan.
"Lo kalo ngomong dipikir dulu apa. Sejauh ini, gue udah bantu lo. Buktinya, cuma gue yang tau lo lagi demam, kan?"
Davin menoleh ke arahnya, rasanya ia ingin mengakui hal itu. Namun gengsi menutupi segalanya.
"Udah lah. Lo tidur aja. Gue bisa atasi ini. Tenang aja"
Leora menatap punggung Davin yang kembali berbaring membelakanginya.
Ucapan itu menancap lebih dalam dari yang ia duga.
Ia terdiam lama.
Lampu tidur masih menyala redup. Nafas Davin terdengar berat, tidak sepenuhnya stabil. Panas tubuhnya masih terasa dari jarak sedekat itu.
Leora akhirnya bergerak lagi.
Pelan.
Ia meraih kain kompres yang tadi hampir terjatuh, membasahinya kembali, lalu duduk di sisi ranjang. Tanpa bicara, ia menempelkan kain itu ke tengkuk Davin bukan di dahi kali ini.
Davin tersentak kecil.
“Ra—”
“Diem,” potong Leora cepat, “Lo bilang gue nggak tanggung jawab, kan? Oke. Tapi asal lo tahu, gue juga bukan tipe orang yang bisa tenang kalo ngeliat orang lagi kesakitan.”
Tangannya dingin. Sentuhannya kontras dengan panas tubuh Davin.
Davin terdiam.
Beberapa detik berlalu tanpa suara.
Lalu Davin berbalik lagi, kali ini lebih pelan, seolah takut gerakannya mematahkan sesuatu yang rapuh. Wajah mereka kembali berhadapan, jaraknya terlalu dekat.
Leora refleks ingin mundur, tapi tangan Davin sudah lebih dulu menahan pergelangan tangannya. Genggamannya lemah, tapi penuh maksud.
“Kenapa sih lo begini?” tanya Davin pelan, “Lo nggak pernah peduli… tapi sekarang—”
Leora menelan ludah.
“Karena lo keras kepala,” jawabnya cepat, “Dan karena lo demam.”
Davin tersenyum tipis.
“Lo tau nggak,” katanya lirih, “ini pertama kalinya ada orang cuek yang maksa jagain gue waktu gue sakit.”
Leora terdiam.
Kalimat itu sederhana. Tapi entah kenapa, dadanya terasa sesak.
“Jangan bikin gue ngerasa spesial,” gumamnya, “Gue cuma kebetulan ada.”
“Tapi lo tetap jagain gue di sini,” balas Davin. “Itu bedanya.”
Hening kembali turun.
Tanpa diduga, Davin sedikit bergeser—kepalanya jatuh tepat di bahu Leora. Beratnya membuat Leora refleks menahan tubuhnya.
“Vin—”
“Bentar aja,” potong Davin pelan. “Gue ngerasa pusing.”
Leora membeku.
Ini bukan rencana dan tak masuk akal.
Tapi ia tidak mendorongnya menjauh.
Tangannya, tanpa ia sadari, naik mengusap rambut Davin perlahan. Jari-jarinya menyusuri helai rambut yang masih sedikit lembap oleh keringat.
Davin menghela napas panjang.
Hangat dan tenang.
Dan tanpa disadari Leora, tubuh Davin benar-benar rileks.
Ia tertidur… di bahunya.
Leora menunduk menatap wajah itu dari dekat. Garis rahangnya tegas, alisnya sedikit berkerut bahkan saat tidur. Wajah seseorang yang selalu menahan terlalu banyak sendiri.
“Bodoh,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Ia tidak tahu kenapa, tapi dadanya terasa aneh. Dan malam itu, tanpa mereka rencanakan…
Mereka tertidur dalam posisi itu.
---
Esok paginya
Leora bangun lebih awal dari biasanya. Cahaya pagi menyelinap lewat celah tirai. Davin baru membuka matanya, posisinya sedikit berubah dari malam hari.
Leora duduk, merapikan rambutnya, lalu menatap Davin cukup lama.
Hari ini babak final.
Ia tahu Davin tidak ingin ia datang. Tapi justru karena itu… ia harus datang.
Leora meraih tasnya pelan-pelan.
“Gue ikut ke sekolah,” katanya pelan.
Davin mengerang kecil, lalu membuka mata. “Enggak usah,” jawabnya cepat, suaranya masih berat. “Lo istirahat aja di rumah.”
Ia langsung berhenti bergerak.
“Tapi gue mau, gimana dong?” tanyanya lagi.
Davin menoleh singkat. “Enggak.”
“Gue udah bilang—”
“Gue mau,” potong Leora cepat. “Dan jawaban gue tetap sama.”
Davin menghela napas pelan. Tubuhnya terasa makin nyeri sejak bangun tidur, tapi ia tidak mau menunjukkannya. Bahunya ditegakkan, ekspresi dibuat santai, meski dadanya terasa berat.
“Ngapain sih maksa?” gumamnya. “Babak final itu ribet, panas dan berisik.”
Leora mendekat, menatapnya lurus. “Gue mau lihat performa lo.”
Kalimat itu sederhana. Tapi cukup membuat Davin terdiam sesaat.
“Kenapa?” tanyanya pelan, hampir seperti bertanya pada diri sendiri.
“Karena gue pengen. Dan lo gak bisa ngelarang.”
Davin tersenyum tipis, kalah sebelum benar-benar bertarung. “Kepala batu,” ujarnya, tanpa nada marah.
Leora membalas singkat, “Mirip lo.”
---
Di meja makan, Bi Marni sudah menyiapkan sarapan sederhana. Nasi hangat, telur dadar, dan teh manis yang masih mengepul.
“Kalian bangun pagi sekali hari ini,” ujar Bi Marni sambil tersenyum, menuang teh ke dua gelas.
“Ada babak final, Bi,” jawab Davin.
Leora ikut duduk. “Dia sok kuat, Bi. Padahal semalaman demam.”
Davin langsung melirik. “Heh—”
Bi Marni tertawa kecil. “Makanya makan yang banyak. Jangan cuma jago di lapangan aja Den.”
Leora tersenyum tipis, sementara Davin menunduk, menyuap nasi pelan. Entah kenapa, meja makan pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya. Tidak banyak bicara, tapi tidak juga canggung.
Sebelum berdiri, Bi Marni menepuk bahu Davin. “Hati-hati. Jangan terlalu memaksakan diri.”
Davin mengangguk. “Iya, Bi.”
Keduanya berangkat dan menuju teras luar. Leora memesan taksi lebih dulu, lalu berdiri agak menjauh.
“Gue duluan,” katanya singkat.
Davin mengangguk. “Nanti ketemu di sekolah.”
Tidak ada lambaian. Tidak ada kata berlebihan. Hanya perpisahan singkat.
Tak berapa lama dari itu, dua taksi datang, berbeda waktu dan arah.
Seperti hari-hari sebelumnya.
Dan seperti biasa, mereka berangkat seolah tidak memiliki hubungan apa apa.
____
Setibanya di sekolah, gerbang mulai ramai ketika taksi pertama berhenti.
Leora turun lebih dulu.
Belum sempat ia melangkah jauh, beberapa temannya sudah menyambut dengan antusias berlebihan. Ada yang sigap mengambil tasnya, ada pula yang langsung merangkul lengannya, seolah Leora adalah pusat semesta pagi itu.
“Leoraaa, akhirnya datang juga!”
“Gila, lo keliatan cantik banget hari ini.”
Leora hanya tersenyum tipis, membiarkan mereka menariknya masuk ke area halaman.
“Eh, ngomong-ngomong,” salah satu temannya mendekat sambil berbisik, “Gue kemarin lihat Davin pas pemanasan.”
Leora melirik sekilas. “Terus?”
“Badannya…” temannya terkekeh kecil, “asli, gak bohong. Beda banget sama yang keliatan pake seragam. Gue langsung—”
“Rugi banget lo gak nonton dari awal,” timpal yang lain. “Sumpah, Ra. Kalau lo lihat langsung, lo pasti—”
Leora tertawa kecil, hambar.
“Iya, iya,” potongnya pelan.
Tak satu pun dari mereka yang tahu bahwa Leora jauh lebih mengenal tubuh Davin, napasnya saat lelah, caranya menahan sakit, bahkan detak jantungnya saat malam terlalu sunyi.
Tak berselang lama, suara motor berhenti tak jauh dari mereka.
Rey tiba.
Beberapa siswa otomatis menoleh. Rey melangkah dengan percaya diri, jaket terbuka, ekspresinya tenang tapi penuh kendali. Begitu melihat Leora, ia langsung menghampiri.
“Sebentar,” katanya singkat pada teman-teman Leora.
Mereka mundur, memberi ruang.
Rey berdiri tepat di depan Leora. Tangannya terangkat, punggung jari menyentuh kening Leora dengan lembut.
“Dingin. Kamu udah sehat?” tanyanya rendah.
Leora mengangguk kecil. “Iya.”
Rey tersenyum tipis. “Jangan kecapekan. Hari ini pasti rame banget.”
Dari jarak beberapa langkah—
Davin sudah berdiri di sana.
Ia menyaksikan semuanya. Cara Rey mendekat. Cara tangannya menyentuh Leora tanpa ragu, dan cara Leora membiarkan itu terjadi.
Davin menarik napas panjang. Dadanya terasa nyeri, entah karena demam atau karena sesuatu yang lain.
Dia cinta Rey, batinnya.
Dan gue gak punya hak apa-apa.
Ia memalingkan wajah, mencoba meyakinkan diri bahwa yang terpenting hanyalah Leora aman.
Belum sempat Davin menjauh, beberapa siswi yang melihatnya langsung berseru kecil.
“Eh, itu Davin!”
“Babak final hari ini, ya?”
“Semangat, Vin!”
Mereka mendekat, mengelilinginya tanpa sadar. Ada yang tersenyum malu-malu, ada yang terang-terangan menatap kagum.
“Lo keren banget kemarin.”
“Gue doain lo menang.”
Davin hanya mengangguk singkat, senyum tipis dipaksakan.
Dari kejauhan, Rey melihat pemandangan itu.
Rahangnya mengeras.
Tanpa berkata apa-apa, ia meraih pergelangan tangan Leora dengan halus tapi pasti.
“Ayo ke kantin,” ujarnya singkat.
*kenapa di novel2 pernikahan paksa dan sang suami masih punya pacar, maka kalian tegas anggap itu selingkuh, dan pacar suami kalian anggap wanita murahana, dan suami kalian anggap melakukan kesalahan paling fatal karena tidak menghargai pernikahan dan tidak menghargai istrinya, kalian akan buat suami dapat karma, menyesal, dan mengemis maaf, istri kalian buat tegas pergi dan tidak mudah memaafkan, dan satu lagi kalian pasti hadirkan lelaki lain yang jadi pahlawan bagi sang istri
*tapi sangat berbanding terbalik dengan novel2 pernikahan paksa tapi sang istri yang masih punya pacar, kalian bukan anggap itu selingkuh, pacar istri kalian anggap korban yang harus diperlakukan sangat2 lembut, kalian membenarkan kelakuan istri dan anggap itu bukan kesalahan serius, nanti semudah itu dimaafkan dan sang suami kalian buat kayak budak cinta dan kayak boneka yang Terima saja diperlakukan kayak gitu oleh istrinya, dan dia akan nerima begitu saja dan mudah sekali memaafkan, dan kalian tidak akan berani hadirkan wanita lain yang baik dan bak pahlawan bagi suami kalau pun kalian hadirkan tetap saja kalian perlakuan kayak pelakor dan wanita murahan, dan yang paling parah di novel2 kayak gini ada yang malah memutar balik fakta jadi suami yang salah karena tidak sabar dan tidak bisa mengerti perasaan istri yang masih mencintai pria lain
tolong Thor tanggapan dan jawaban?