Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nada yang Memecah Kaca
Tangan Elara menyentuh Tuts piano.
Tuts piano di saku Elara terasa panas, benda itu membakar kulit telapak tangannya. Rasanya seperti menggenggam bara api. Tapi Elara tidak melepaskannya. Rasa sakit itu justru membuatnya sadar, membuatnya fokus di tengah kekacauan.
Rian masih di sana, lehernya dicengkeram tangan bayangan Adrian, ujung pena tulang itu sudah menembus kain kemejanya, menyentuh kulit dada tepat di atas jantung.
"Satu..." Adrian mulai menghitung. Dia menikmati setiap detik penyiksaan ini. "Dua..."
Elara menarik napas panjang. Dia tidak punya laptop. Dia tidak punya kertas. Tapi dia punya suara.
"Gue nggak butuh laptop buat nulis kehancuran lo!" teriak Elara.
Dia mengeluarkan tuts piano hitam itu. Benda kecil dari kayu eboni itu bersinar dengan cahaya kebiruan yang redup, cahaya yang sama dengan api yang membakar partitur di ruang tengah.
Adrian tersentak saat melihat benda itu. Mata merahnya melebar.
"Itu... kunci nada C tinggiku... Bagaimana kau..."
"Elena ngasih ini ke gue!" Elara tidak membuang waktu. Dia tidak menggunakan tuts itu untuk mengetik. Dia menggunakannya sebagai palu.
Dengan sekuat tenaga, Elara menghantamkan tuts piano itu ke lantai batu yang keras.
TING!
Bunyinya tidak seperti kayu memukul batu. Bunyinya nyaring, jernih, dan tajam. Seperti suara gelas kristal yang dipukul sendok, tapi diperkuat seribu kali lipat.
Gelombang suara kasat mata meledak dari titik hantaman itu.
WUUUNG!
Udara di ruang bawah tanah bergetar hebat.
Para monster tulang yang sedang mengepung Sarah dan Bobi tiba-tiba berhenti bergerak. Mereka menutup "telinga" mereka (lubang di tengkorak) dan menjerit kesakitan. Frekuensi nada itu merusak struktur magis yang mengikat tulang-belulang mereka.
Krak! Pyar!
Satu per satu, monster tulang itu meledak hancur menjadi debu kalsium. Sarah dan Bobi langsung tiarap melindungi kepala mereka dari hujan serpihan tulang.
Sementara itu, Adrian meraung. Tubuh asapnya bergetar tak terkendali, seolah sinyal TV yang glitch parah.
"HENTIKAN! SUARANYA MENUSUK!"
Cengkeraman Adrian di leher Rian terlepas. Pena tulang di tangannya hancur berkeping-keping karena getaran suara itu.
Rian jatuh berlutut, terbatuk-batuk menghirup udara yang penuh debu.
"Sekarang, Yan! Lari!" teriak Elara. Dia sendiri merasa telinganya berdenging sakit, tapi dia terus memukul lantai dengan tuts itu.
TING! TING! TING!
Setiap pukulan mengirimkan gelombang kejut yang memukul mundur Adrian, mendorong monster asap itu menabrak dinding belakang.
Rian merangkak bangun, menyambar tangan Sarah dan membantu Bobi berdiri.
"Ke tangga! Cepat!" komando Rian.
Mereka berempat berlari menuju tangga batu yang menuju ke dapur. Lantai di bawah kaki mereka berguncang hebat, seolah villa itu sedang mengalami gempa bumi lokal.
"Kalian tidak bisa lari dari naskah!" raung Adrian dari balik debu reruntuhan. Suaranya terdengar pecah dan ganda, seperti kaset rusak. "Halaman ini belum selesai!"
Akar-akar daging di dinding mencoba menjulur lagi, tapi setiap kali Elara memukul tuts itu ke pegangan tangga besi, akar-akar itu menciut ketakutan.
Mereka menaiki tangga dengan napas memburu. Kaki Bobi pincang, darah masih menetes dari mulutnya yang robek, tapi adrenalin membuatnya terus bergerak.
Sampai di puncak tangga, pintu menuju dapur tertutup rapat.
Rian menabrak pintu itu dengan bahunya. Terkunci.
"Minggir!" Sarah maju dengan linggis di tangan. Dia menyelipkan ujung linggis ke celah pintu dan mendongkelnya sekuat tenaga.
KREK!
Kayu pintu itu pecah. Pintu terbuka.
Tapi pemandangan di balik pintu itu membuat mereka membeku.
Bukan dapur villa yang berantakan yang menyambut mereka.
Mereka berdiri di ambang pintu, menatap hamparan kertas putih yang luas tanpa batas.
Lantai, dinding, langit-langit, semuanya putih polos. Tidak ada kulkas, tidak ada kompor, tidak ada jendela. Hanya ruang hampa berwarna putih yang menyilaukan mata.
"Apa ini?" bisik Bobi horor. "Kita mati? Ini surga?"
"Bukan," kata Elara, matanya menyapu sekeliling dengan panik. Dia mengenali tempat ini. "Ini... halaman kosong."
"Maksud lo?" tanya Rian.
"Kita keluar dari setting cerita," jelas Elara, suaranya gemetar. "Adrian ngancurin struktur realitas villa ini. Dapur itu udah nggak ada karena dia 'menghapus'-nya dari cerita. Kita sekarang ada di ruang kosong di antara bab."
Tiba-tiba, dari kejauhan di hamparan putih itu, tinta hitam mulai menetes dari "langit". Tetesan itu jatuh ke lantai putih, lalu melebar membentuk huruf-huruf raksasa setinggi manusia.
Huruf-huruf itu berbaris cepat membentuk kalimat yang menghalangi jalan mereka.
TIDAK ADA JALAN KELUAR.
Rian mencoba menerobos huruf 'T' raksasa itu, tapi rasanya seperti menabrak tembok beton yang dingin dan basah.
"Sialan!" umpat Rian. "Kita terjebak di dalam tulisan!"
Di belakang mereka, dari lubang tangga bawah tanah, kegelapan pekat mulai naik. Asap hitam Adrian merayap keluar, perlahan memakan lantai putih itu.
"Sudah kubilang," suara Adrian menggema dari segala arah. "Dunia ini milikku. Jika aku tidak bisa memiliki akhirnya, maka tidak akan ada akhir. Kita akan diam di sini selamanya. Menjadi draf yang tidak pernah terbit."
Lantai putih di bawah kaki mereka mulai retak, menampakkan jurang hitam tanpa dasar di bawahnya.
"Elara! Lakuin sesuatu!" teriak Sarah. "Tulis sesuatu! Apapun!"
"Gue nggak punya laptop!" Elara meraba-raba saku celananya, mencari pulpen, spidol, apa saja. Nihil.
Dia cuma punya tuts piano itu.
Elara menatap "dinding" putih di depannya. Kalau ini halaman kertas... berarti bisa disobek.
"Bobi! Pinjem korek api lo!" teriak Elara.
Bobi merogoh saku celananya dengan panik. "Nih!" Dia melempar korek gas berwarna biru.
Elara menangkapnya. Dia lari mendekati huruf-huruf raksasa itu.
"Kalau lo mau main kertas, kita main api," desis Elara.
Dia menyalakan korek itu dan menempelkannya ke dinding putih hampa itu.
Awalnya tidak terjadi apa-apa.
Tapi kemudian, muncul noda kecokelatan di "udara" putih itu. Bau kertas terbakar menyeruak.
Api kecil itu tiba-tiba membesar dengan liar, menyambar ke atas, membakar "halaman" realitas tempat mereka berdiri.
Lubang besar tercipta di tengah ruang hampa itu. Di balik lubang yang terbakar itu, terlihat pemandangan lain. Bukan dapur, bukan ruang putih.
Melainkan pemandangan jalan tol yang gelap dan berkabut. Jalan tol tempat mobil mereka tadi melaju sebelum teleportasi.
"Itu jalan keluarnya!" tunjuk Rian. "Lompat ke sana!"
Tapi lubang itu ada di ketinggian, melayang di udara. Dan di bawah mereka, lantai semakin habis dimakan kegelapan Adrian.
Rian berjongkok, menautkan jari-jarinya. "Bobi, naik! Gue dorong!"
Bobi menginjak tangan Rian, lalu didorong ke atas. Bobi berhasil menggapai tepi lubang yang terbakar itu dan menarik badannya keluar.
"Sarah! Giliran lo!"
Sarah naik berikutnya. Bobi menarik tangannya dari sisi lain.
Tinggal Rian dan Elara.
Lantai tempat mereka berpijak tinggal tersisa satu meter persegi. Asap Adrian sudah membentuk wujud raksasa di belakang mereka, tangannya yang besar siap meremas mereka.
"JANGAN PERGI!"
"Elara, cepat!" Rian berjongkok lagi.
"Terus lo gimana?!" teriak Elara.
"Gue bisa manjat! Gue atlet basket pas SMA!" bohong Rian. Elara tau Rian nggak pernah main basket.
Tapi nggak ada waktu buat debat. Elara menginjak tangan Rian. Dengan sisa tenaga terakhir, Rian melontarkan tubuh Elara ke atas. Tangan Bobi dan Sarah menangkap Elara, menariknya keluar dari dimensi kertas itu.
Rian sendirian. Lantai di bawah kakinya hancur.
Dia melompat, mencoba menggapai tepi lubang.
Jari-jari Rian berhasil mencengkeram pinggiran kertas yang terbakar itu. Kakinya menggantung di atas jurang kegelapan.
Adrian meraung, tangan hitamnya menyambar kaki Rian.
"Dapet!" desis Rian, menahan beban tubuhnya dan tarikan Adrian.
Elara, Sarah, dan Bobi memegang tangan Rian, menarik sekuat tenaga.
"Tarik! Tarik!" jerit Elara.
Perlahan tapi pasti, Rian terangkat. Cengkeraman Adrian di sepatu Rian terlepas, sepatunya copot dan jatuh ke dalam kegelapan.
Rian berhasil ditarik keluar melewati lubang api itu. Mereka berempat jatuh berguling di aspal jalan tol yang keras dan dingin.
Lubang di udara itu mengecil dengan cepat, seperti kertas yang habis terbakar, lalu lenyap tanpa sisa.
Hening.
Hanya ada suara napas mereka yang tersengal-sengal dan suara angin malam jalan tol. Mobil Rian terparkir beberapa meter di depan mereka, mesinnya mati, kap depannya berasap.
"Kita... kita balik?" tanya Bobi, masih terbaring telentang menatap langit malam yang mendung.
"Kayaknya," jawab Sarah, memegang dadanya yang sesak.
Elara duduk, memeluk lututnya. Dia melihat jam tangannya.
Pukul 02.00 pagi.
Mereka selamat. Benar-benar selamat.
Rian bangun, berjalan pincang dengan satu sepatu. Dia menghampiri Elara dan memeluknya erat. "Lo gila, El. Bakar dimensi? Ide dari mana itu?"
Elara tertawa kecil sambil menangis. "Ide penulis yang kepepet deadline."
Mereka tertawa. Tawa histeris penuh kelegaan.
Mereka masuk ke mobil. Rian mencoba menyalakannya. Mesinnya batuk-batuk sebentar, tapi akhirnya menyala.
Mereka melaju pelan menyusuri jalan tol yang masih sepi itu.
Tapi, saat Elara melihat ke kaca spion samping untuk terakhir kalinya, senyumnya lenyap.
Di kursi belakang mobil, di antara Sarah dan Bobi yang sedang tertidur kelelahan...
Ada satu sosok lagi yang duduk diam.
Sosok itu memakai gaun pengantin yang compang-camping.
Elena.
Tapi Elena tidak tersenyum manis seperti saat di villa. Wajahnya panik. Dia mencondongkan tubuh ke depan, mendekatkan mulutnya ke telinga Elara, dan berbisik sangat pelan, namun cukup jelas untuk membuat darah Elara membeku kembali:
"Kalian salah... Adrian tidak terjebak di dalam buku. Dia ikut menempel di bayanganmu."
Elara menunduk perlahan melihat ke lantai mobil.
Di bawah cahaya lampu dashboard, dia melihat bayangan Rian yang sedang menyetir.
Bayangan itu tidak memegang setir.
Bayangan itu sedang memegang pena, dan menatap lurus ke arah Elara dengan mata merah yang menyala dari lantai mobil.