MONSTER KEJAM itulah yang Rahayu pikirkan tentang Andika, suaminya yang tampan namun red flag habis-habisan, tukang pukul kasar, dan ahli sandiwara. Ketika maut hampir saja merenggut nyawa Rahayu di sebuah puncak, Rahayu diselamatkan oleh seseorang yang akan membantunya membalas orang-orang yang selama ini menginjak-injak dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahayu Menyusun Perlawanan
Lantai dingin di ruang itu seolah menjadi saksi bisu transformasi jiwa Rahayu. Di tengah kegelapan yang mengepung indra penglihatannya, Rahayu tidak lagi merasa takut.
Rasa perih di punggungnya akibat siraman air panas Santi justru menjadi api yang membakar sisa-sisa kemanusiaannya. Ia bukan lagi Rahayu yang rapuh, ia adalah dendam yang berjalan.
Pelabuhan Toronto, Kanada.
Jutaan kilometer dari neraka yang dialami Rahayu, angin musim dingin yang menggigit menyapu pelabuhan di Toronto. Pak Rio, seorang pengusaha yang merupakan sahabat karib almarhum Pak Baskoro, sedang mengawasi bongkar muat kargo saat ponselnya bergetar hebat.
Ia mengangkat telepon itu dengan senyum yang seketika luntur. Wajahnya yang tegas berubah menjadi sepucat salju di sekelilingnya.
"Apa maksudmu, Baskoro tewas? Kecelakaan?" suara Pak Rio menggelegar, menarik perhatian beberapa stafnya.
"Rem blong? Jangan bercanda! Baskoro itu orang yang paling teliti soal kendaraan!"
Napas Pak Rio memburu. Insting bisnisnya yang tajam segera mencium aroma busuk. Baskoro bukan sekadar pengacara, dia adalah orang yang sudah Pak Rio anggap seperti keluarga sendiri. Kematian Baskoro di saat Rahayu sedang dalam "masa transisi" kepemimpinan perusahaan adalah sebuah kebetulan yang terlalu rapi untuk dipercaya.
"Cepat pesan tiket pesawat paling awal ke Jakarta! Tidak peduli kelas apa pun, bahkan jika aku harus menyewa jet pribadi sekarang juga!" perintah Pak Rio kepada asistennya.
Sambil melangkah menuju mobilnya, Pak Rio mengepalkan tangan.
Sementara itu, di ruang makan utama mansion yang megah, aroma steak mahal dan denting gelas kristal memenuhi udara.
Andika, Santi, dan Bu Citra duduk mengelilingi meja panjang dengan tawa yang meledak-ledak. Mereka merayakan kematian Pak Baskoro seolah-olah itu adalah kemenangan lotre.
"Ibu benar-benar jenius," puji Andika sambil menyesap wine merahnya.
"Dengan tewasnya Baskoro, tidak ada lagi yang akan mempertanyakan legalitas dokumen-dokumen itu. Jalan kita mulus."
Bu Citra tersenyum anggun, namun sorot matanya sedingin es.
"Itu baru permulaan, Andika. Selama Rahayu masih bernapas, kita belum menang mutlak. Tapi melihatnya merangkak seperti cacing tadi pagi... ah, itu adalah hiburan terbaik tahun ini."
Santi memotong dagingnya dengan kasar, seolah-olah ia sedang memotong kulit Rahayu.
"Aku belum puas, Bu. Tadi pagi hanya pemanasan. Aku ingin melihat dia benar-benar hancur sampai dia memohon agar kita membunuhnya."
Santi kemudian menoleh ke arah Lilis, seorang pelayan muda yang ambisius dan benci pada Rahayu. Lilis selalu merasa Rahayu tidak pantas mendapatkan segala kemewahan itu.
"Lilis," panggil Santi dengan nada manis yang berbisa.
"Bawa air kotor bekas pel lantai ke ruang yanh ada Rahayu. Masuklah ke sana, dan berikan 'pelajaran' tambahan untuk kakak tiriku tersayang. Aku ingin dia tahu bahwa di mansion ini, seorang pelayan pun derajatnya lebih tinggi darinya sekarang."
Lilis menyeringai lebar.
"Dengan senang hati, Non Santi."
Di dalam ruang kerja yang terkunci, Rahayu sedang duduk santai di lantai. Ia tidak lagi merintih. Ia sedang menghitung detak jantungnya sendiri, menajamkan indra pendengarannya hingga ia bisa mendengar derit engsel pintu yang paling halus sekalipun.
Cklek.
Pintu terbuka. Langkah kaki Lilis yang berat dan angkuh terdengar mendekat. Bau amis air pel yang kotor menusuk hidung Rahayu.
"Wah, wah, lihatlah si Nyonya Besar kita," ejek Lilis.
"Masih hidup rupanya? Non Santi bilang kamu butuh mandi lagi supaya lebih segar."
Byur!
Lilis menyiramkan air kotor itu tepat ke wajah Rahayu. Rahayu tetap diam, membiarkan cairan menjijikkan itu membasahi jubah mandinya yang baru saja dibersihkan Bi Nina.
"Kenapa diam saja? Mana harga dirimu?" Lilis mendekat, lalu menjambak rambut Rahayu dengan kasar.
"Dengar ya, buta! Sekarang aku majikanmu, dan kamu hanyalah sampah yang menunggu dibuang!"
Lilis mengangkat tangannya, bersiap melayangkan tamparan keras. Namun, sebelum tangan itu mendarat, sebuah gerakan secepat kilat terjadi.
Rahayu menangkap pergelangan tangan Lilis. Genggamannya begitu kuat, seolah-olah tangan itu terbuat dari besi panas.
"Lepas! Lepaskan, Buta!" teriak Lilis terkejut.
"Kamu tahu, Lilis..." suara Rahayu terdengar sangat tenang, hampir menyerupai bisikan dingin.
"Selama ini aku bersikap baik karena aku menghargai manusia. Tapi malam ini, aku sadar bahwa kalian bukan manusia."
Dengan satu sentakan kuat, Rahayu memelintir tangan Lilis ke belakang hingga terdengar suara krek yang mengerikan. Lilis menjerit kesakitan, namun Rahayu segera membekap mulutnya dengan tangan yang lain.
Rahayu mendorong tubuh Lilis ke dinding, menggunakan berat tubuhnya untuk mengunci pergerakan pelayan itu.
Meskipun matanya buta, tangan Rahayu merayap ke leher Lilis dengan akurasi yang menakutkan.
"Bi Nina disiksa karena menolongku," desis Rahayu tepat di depan wajah Lilis yang kini penuh ketakutan.
"Dan kau... kau dengan senang hati menjadi alat mereka. Katakan padaku, di mana mereka mengurung Bi Nina?"
"Sa... sakit... lepas..." Lilis merintih, air matanya mulai mengalir. Ia tidak menyangka wanita yang ia anggap lemah ini memiliki tenaga yang begitu besar.
Rahayu menekan ibu jarinya ke titik saraf di leher Lilis, membuatnya merasa seolah pasokan oksigennya terhenti.
"Katakan, atau aku akan memastikan kau tidak akan pernah bisa bicara lagi selamanya."
"Di... di gudang bawah tanah... kuncinya ada di pinggang Joni..." jawab Lilis terbata-bata,
nyaris pingsan karena takut dan sakit.
Rahayu melepaskan cengkeramannya, membiarkan Lilis jatuh terduduk di lantai, lemas tak berdaya. Rahayu meraba meja kerja, mencari sebuah gunting kertas yang ia tahu selalu ada di laci atas sebuah benda tajam yang kini menjadi senjatanya.
"Tetaplah di sini, Lilis. Jangan bersuara jika kamu masih sayang nyawamu," ancam Rahayu.
Di luar, suara tawa Andika dan Santi masih terdengar sayup-sayup dari ruang tengah. Mereka tidak menyadari bahwa mangsa yang mereka tertawakan telah berubah menjadi pemangsa.
Rahayu berdiri tegak di tengah ruangan. Rambutnya basah oleh air kotor, namun punggungnya tidak lagi bungkuk. Ia meraba luka bakar di lengannya, rasa sakit itu kini menjadi bahan bakar energinya.
"Tunggu aku, Bi Nina," bisik Rahayu pada kegelapan.
"Tunggu aku, Andika... Santi... Bu Citra... Malam ini, kalian akan belajar bahwa buta tidak berarti tidak bisa melihat cara untuk menghancurkan kalian."
Di kejauhan, di atas Samudra Atlantik, pesawat yang membawa Pak Rio membelah awan menuju Jakarta. Badai besar sedang menuju ke arah mansion itu, baik badai dari langit maupun badai kemurkaan dari seorang wanita yang telah kehilangan segalanya.
Rahayu bergerak layaknya bayangan, memori tentang denah mansion terlukis sempurna di benaknya. Dengan gunting yang tersembunyi di balik jubah, ia merapat ke balik pilar marmer besar di pintu masuk ruang makan.
Gelak tawa Andika dan aroma wine menyengat indranya, memicu amarah yang terkendali. Ia menarik napas dalam, menajamkan pendengaran untuk memetakan posisi duduk mereka di meja panjang.
Di tengah keriuhan pesta kemenangan palsu itu, Rahayu berdiri tak terlihat, menunggu saat yang tepat ketika kewaspadaan mereka berada di titik terendah.
Malam ini, kegelapan bukan lagi penjara baginya, melainkan sekutu untuk memulai pembalasan yang mematikan.
BERSAMBUNG
jangan lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB🙏