#Mertua Julid
Amelia, putri seorang konglomerat, memilih mengikuti kata hatinya dengan menekuni pertanian, hal yang sangat ditentang sang ayah.
Penolakan Amelia terhadap perjodohan yang diatur ayahnya memicu kemarahan sang ayah hingga menantangnya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel kekayaan keluarga.
Amelia menerima tantangan itu dan memilih meninggalkan gemerlap dunia mewahnya. Terlunta-lunta tanpa arah, Amelia akhirnya mencari perlindungan pada mantan pengasuhnya di sebuah desa.
Di tengah kesederhanaan desa, Amelia menemukan cinta pada seorang pemuda yang menjadi kepala desa. Namun, kebahagiaannya terancam karena keluarga sang kepala desa yang menganggapnya rendah karena mengira dirinya hanya anak seorang pembantu.
Bagaimanakah Amelia menyikapi semua itu?
Ataukah dia akhirnya melepas impian untuk bersama sang kekasih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Skak mat
.
Hari demi hari berlalu. Waktu terus bergulir, membawa Amelia pada babak baru dalam hidupnya. Ia resmi menjabat sebagai perangkat desa, mengisi posisi sebagai Petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Posisi ini memang sudah lama kosong setelah petugas sebelumnya mengundurkan diri karena sakit.
Amelia sangat antusias. Ini adalah kesempatan emas untuk mengaplikasikan ilmu dan pengetahuannya di bidang pertanian, serta membantu para petani di desa Karangsono meningkatkan hasil panen mereka.
Sebagai PPL, Amelia bertanggung jawab untuk memberikan penyuluhan dan bimbingan teknis kepada para petani tentang berbagai aspek pertanian, mulai dari pemilihan bibit unggul, cara menanam dan merawat tanaman yang baik, hingga pengendalian hama dan penyakit tanaman.
Namun, tugas Amelia tidak hanya sebatas itu. Ia juga harus membantu para petani dalam mengakses berbagai program bantuan dari pemerintah, seperti subsidi pupuk, benih, dan alat pertanian.
Amelia yang baru saja masuk kerja, langsung disibukkan dengan berbagai macam tugas dan kegiatan. Ia harus mempelajari data-data pertanian desa Karangsono, menemui para petani untuk mengetahui permasalahan yang mereka hadapi, dan menyusun program penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Meskipun demikian, Amelia tidak merasa terbebani. Ia justru merasa senang dan bersemangat dalam menjalankan tugasnya. Ia mencintai pekerjaannya sebagai PPL. Bisa berinteraksi dengan para petani dan memberikan solusi atas permasalahan pertanian
Sesuatu yang membuat Raka menjadi ragu. Benarkah Amelia hanya seorang mantan pembantu? Tapi kenapa sepertinya Amelia menguasai banyak hal?
Namun, perjuangan Amelia tidaklah mudah. Safitri, yang tidak menyukai keberadaan Amelia dalam jajaran perangkat, secara halus selalu mencari masalah dengan Amelia. Gadis itu selalu berusaha untuk menjatuhkan Amelia di depan para perangkat desa yang lain.
Safitri selalu bersikap seolah-olah dirinya adalah orang yang tertindas dan Amelia adalah orang yang zalim. Ia selalu berusaha untuk memprovokasi Amelia agar terpancing emosi dan melakukan kesalahan.
Pagi itu, ruang rapat kantor desa sudah dipenuhi oleh para perangkat. Raka, sebagai kepala desa, membuka rapat dengan salam dan sapaan hangat. Agenda hari itu adalah membahas program penyuluhan pertanian untuk musim tanam mendatang.
Raka mempersilakan Amelia untuk menyampaikan programnya. Dengan percaya diri, Amelia menjelaskan hasil survei dan diskusinya dengan para petani. Ia memaparkan masalah utama yang mereka hadapi, mulai dari serangan hama tikus yang saat ini sedang merajalela, kurangnya pengetahuan tentang pupuk organik, hingga kesulitan mendapatkan bibit unggul.
Pak Burhan, Sekretaris Desa, menyambut baik program Amelia. Namun, ia mengingatkan tentang keterbatasan anggaran. Amelia menjelaskan bahwa ia sudah menyusun RAB yang rinci dan mencari sumber dana alternatif dari dana desa dan CSR perusahaan pertanian.
Safitri, yang sedari tadi diam, tiba-tiba menyela dengan nada sinis. "Mbak Amelia yakin dana desa bisa cair secepat itu? Prosedurnya kan panjang. Lagipula, dana desa kan banyak pos anggarannya. Jangan sampai dialokasikan untuk yang lain," ujarnya.
Amelia menatap Safitri dengan tenang. "Saya sudah berkoordinasi dengan Pak Burhan tentang hal ini, Mbak Safitri. Kita akan berusaha semaksimal mungkin untuk mempercepat proses pencairan dana desa. Selain itu, saya juga akan menghubungi perusahaan-perusahaan pertanian untuk meminta bantuan CSR," jawabnya.
Safitri mencibir, seorang mantan pembantu saja mau sok berlagak ngurus CSR. Apa dia mampu. Amelia enggan untuk menanggapi. Tak perlu dirinya berkoar-koar, nanti saja dia akan memukul telak sakit dengan hasil yang dia dapatkan.
Rapat terus berlanjut dengan pembahasan detail tentang program penyuluhan. Sesekali, Safitri menyela dengan komentar sinis dan meremehkan. Namun, Amelia selalu berusaha untuk menjawab dengan tenang dan profesional.
Akhirnya, Raka menutup rapat dengan ucapan terima kasih atas partisipasi semua pihak.
Saat para perangkat desa membubarkan diri, Safitri melirik sinis ke arah Amelia sebelum keluar ruangan. Dendamnya semakin membara. Ia tidak akan membiarkan Amelia bersinar di desa Karangsono.
Di luar ruangan, Safitri menghampiri Amelia. Dengan nada yang dibuat manis, ia berkata, “Mbak Amel hebat ya, baru masuk desa ini sudah bisa merencanakan program yang hebat hebat. Tapi saya jadi heran, programnya hebat kenapa bantuan dari dulu tidak pernah diberikan kepada para petani?"
Amelia menoleh ke arah Safitri. "Oh ya? Terus kenapa harus bertanya hal itu pada saya? Kenapa tidak bertanya kepada perangkat yang menjabat sebelum saya?" tanyanya.
"Ya itu urusan Mbak, kan sekarang Mbak yang petugas PPL-nya!" jawab Safitri, dengan nada meremehkan.
Raka, yang mendengar percakapan mereka, segera menghampiri keduanya. "Sudah, kenapa kalian berdua malah berdebat seperti ini? Bukankah sebaiknya kalian berdua saling membantu?" tegurnya.
Amelia menatap Raka. "Sepertinya ada yang tidak suka kalau saya menjadi anggota perangkat di desa ini," ujarnya.
"Kenapa Mbak Amel berbicara seperti itu? Padahal Saya hanya bertanya tentang bantuan yang seharusnya diberikan kepada warga. Saya sama sekali tidak memiliki niat buruk." Safitri menatap ke arah Amelia dengan mata berkaca-kaca, seolah dirinya baru saja dianiaya.
Raka menghela napas. Ia semakin muak akan tingkah Safitri yang selalu mencari masalah dengan Amelia. Iya menatap ke arah Safitri dengan sorot datar.
"Kalau memang kamu meragukan Mbak Amelia, apakah kamu merasa sanggup jika saya menyerahkan tugas ini padamu?”
Safitri gelagapan, tidak menyangka Raka akan membalikkan keadaan untuk membela Amelia.
"Bukannya Saya meragukan Mbak Amelia," ucap Safitri. “Tetapi Pak Kades juga tahu, Mbak Amelia ini hanya seorang mantan pembantu. Apa layak diserahi tanggung jawab sebesar itu?”
"Layak atau tidak itu bukan tanggung jawab kamu untuk menilai. Biarkan itu menjadi urusan mbak Amel. Dan jika memang nantinya Mbak Amel gagal melaksanakan tanggung jawabnya, saya sendiri yang akan memperhatikan Mbak Amel, karena saya yang telah membawa Mbak Amel masuk ke jajaran perangkat."
Safitri mengepalkan tangannya erat karena Raka terus saja membela Amelia.
*
Hari berikutnya, tampaknya Safitri masih belum puas karena belum berhasil menjatuhkan Amelia. Hingga melihat Amelia yang tidak berhijab membuat dirinya memiliki satu ide untuk menjatuhkan Amelia di depan para perangkat lainnya. Safitri berdiri dari kursinya lalu menghampiri Amelia dan berdiri di samping meja Amelia.
Para perangkat lain yang merasa akan ada sesuatu, menghentikan gerakan tangan mereka yang sedang melakukan tugas masing-masing. Suara ketukan keyboard yang sebelumnya saling bersahutan, mendadak senyap.
"Mbak Amel, maaf sebelumnya,” ucap Safitri yang merasa seolah tak enak hati, padahal sebenarnya memang sengaja.
Amelia yang sedang sibuk dengan proposal yang dia buat untuk pengajuan CSR hanya menoleh sekilas kemudian kembali fokus dengan laptopnya.
“Mbak Amel kan tahu, kalau desa ini termasuk desa santri. Seluruh wanita di desa ini rata-rata semuanya berhijab. Jadi mungkin ada baiknya Mbak Amelia juga ikut berhijab. Apalagi saat ini Mbak Amel sudah menjadi salah satu perangkat desa. Bukankah seharusnya Mbak Amel bisa menjadi contoh?" ujarnya, dengan nada yang dibuat seolah-olah peduli. Padahal sebenarnya ia hanya sedang ingin mempermalukan Amelia.
Namun, ternyata Amelia hanya menanggapinya dengan santai. Amelia menoleh ke arah Safitri seraya menyangga dagu, memperhatikan penampilan Safitri dari atas sampai bawah.
"Saya memang tidak berhijab, tapi pakaian saya sopan. Mbak Safitri iri, karena saya bisa mengekspresikan diri saya secara bebas?" tanya Amelia, dengan nada mengejek. Gadis itu kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang ia duduki. menumpuk satu paha di atas paha lainnya dengan tangan bersedekap.
Wajah Safitri memerah padam mendengar kata-kata Amelia. Ia tidak menyangka Amelia akan membalasnya dengan begitu telat. Dari mana Amelia tahu bahwa sebenarnya dia juga enggan berhijab?
"Tapi Mbak, hijab itu adalah salah satu kewajiban bagi muslim wanita. Itu cara Allah untuk melindungi martabat kita," ucap Safitri yang seakan merasa prihatin.
"Apa gunanya berhijab kalau hanya sebagai pembungkus rambut saja?" tanya Amelia sinis. “Coba lihat dirimu! Kamu memakai hijab, tapi bokongmu yang semok tercetak jelas."
Byur…
Uhuk-uhuk...
Pak Sekdes yang sedang meminum teh dari gelasnya tiba-tiba berubah bagai mbah dukun yang sedang membaca mantra. Beberapa perangkat yang kebanyakan laki-laki menutup mulutnya menahan tawa. Dalam hati mereka membenarkan ucapan Amelia. Karena Safitri memang selalu memakai pakaian yang press body. Selama ini tak ada yang berani menyinggung Safitri karena merasa segan pada juragan Barnowo, ayahnya.
"Itu lagi. Susumu juga pating pecotot seperti itu. Kamu sengaja, ya, memasukkan hijabmu ke dalam baju agar dadamu yang montok kelihatan? Kelihatannya saja tertutup, tetapi sebenarnya kamu sedang memamerkan aurat."
bentar lagi nanam padi jg 🥰