NovelToon NovelToon
BAKSO KALDU CELANA DALAM

BAKSO KALDU CELANA DALAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Selingkuh / Playboy / Penyesalan Suami / Mengubah Takdir
Popularitas:310
Nilai: 5
Nama Author: Mama Rey

Sri dan Karmin, sepasang suami istri yang memiliki hutang banyak sekali. Mereka menggantungkan seluruh pemasukannya dari dagangan bakso yang selalu menjadi kawan mereka dalam mengais rezeki.
Karmin yang sudah gelap mata, dia akhirnya mengajak istrinya untuk mendatangi seorang dukun. Lalu, dukun itu menyarankan supaya mereka meletakkan celana dalam di dalam dandang yang berisikan kaldu bakso.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RENCANA SRI

Sri terngaga. Dia menatap dada suaminya seraya menelan ludah. Bukan karena dia bergairah karena melihat dada bidang milik Karmin yang tak menggoda sama sekali. Tapi ... Sri melihat kunci itu ada di sana. Ya, kunci itu tergantung di dada Karmin. Kunci itu terjuntai dan menjadi liontin dari sebuah kalung benang hitam yang memanjang sampai ke dada pria itu.

"Ooohh, rupanya kunci itu bersembunyi di sana?" Sri terkekeh di dalam hati.

"Lihat apaan kamu, Dek? Kok mesum gitu wajahmu?" Karmin nampak salah tingkah.

"Aku? Aku terpana saat melihat dadamu yang bidang ini. Lama sekali aku tidak pernah tidur di dadamu ini, tentu saja karena kamu sering keluyuran malam setelah tutup warung." Telapak tangan wanita itu meraba dada sang suami, tapi Karmin segera menepisnya dengan pelan.

"Jangan begitu, geli," kata pria itu.

"Ah, geli-geli enak, kan?" Sri terkekeh pelan.

"Dih, masih siang bolong, Dek. Jangan begini dong." Karmin mengerucutkan bibirnya hingga memanjang.

"Ah, tak peduli siang bolong atau pun gelap gulita, kamu pun tak pernah mau kusentuh." Sri mencebik, lalu mendorong dada suaminya lagi.

"Kamu tahu kan aku ini sangat capek, Sri."

"Iya, paham." Wanita gemuk itu memasang kembali kancing baju suaminya dengan senyum mengembang. Dia paham betul jika dirinya harus berpura-pura ramah. Tak peduli jika saat ini ... kemarahannya kepada Karmin telah merajai sukmanya, Sri tetap harus berpura-pura tak tahu apa-apa.

"Oh ya, Dek. Apakah kamu sudah membeli kolor lagi untuk persiapan ritual Minggu depan di rumah Mbah Samijan?" Karmin tiba-tiba menyibak anak rambut di kening istrinya. Nampak sedikit mesra meskipun sebenarnya terlihat garing.

"Oh, sudah, sudah. Aku sudah membeli kolor selusin, hehehe." Sri terkekeh.

"Kok banyak amat, Dek? Sama Mbah Samijan disuruh beli satu-satu, lhoh." Pria itu mendongak.

"Ya sisanya buat stock, mumpung di pasar banyak promo murah-murah. Apakah kamu keberatan kalau istrimu ini punya banyak kolor?" Sri mencebik sinis.

"Oh tidak, tidak. Aku tidak keberatan. Kamu boleh beli satu kodi atau satu satu karung juga gak apa-apa, hheehe." Karmin menjulurkan lidahnya, sekedar untuk menciptakan kelucuan di antara dia dan istrinya.

"Opo? Beli kolor satu karung? Mana uangnya!" Sri menyeringai.

"Lha wong kehilangan uang di dalam sepatu saja kamu wes kebakaran jenggot, lha kok mau beli kolor satu karung. Bangkrut nanti kamu, Mas. Terus kamu ngenes, matek lah!" kelakarnya seraya tertawa kuda.

"Yaah, aku kan hanya sayang sama duit itu, Dek. Itu kan jatah kamu, huft!" Karmin mendesah panjang.

"Pertinyiin-nyi ... uang itu kamu dapat dari mana? Bukankah kamu sendiri selalu bilang kalau uang di dalam kaleng biskuit semuanya aku yang urus? Kok kamu bisa punya uang lima jeti iku uang dari mana, Mas?" Kedua mata wanita gemuk itu memicing sipit.

"Oh, itu ... itu anu, Dek. Uang jatah rokok," kata Karmin sambil menekan ludah dengan susah payah.

"Jatah rokok gundulmu itu tah, Mas? Lha wong setiap hari aku yang membelikan kamu rokok!" Sri mendecih.

"Wow! Apakah jangan-jangan ... kamu telah mengutil di warung kita? Apakah kamu mau korupsi kecil-kecilan seperti anggota DPR itu? Hoooh, kamu pasti mau mengambil keuntungan secara sembunyi-sembunyi dariku. Iya, kan? Hayooh ngaku!" Lagi, Sri menodong suaminya dengan pertanyaan-pertanyaan yang kian menyudutkan pria itu.

"Kamu Iki ngomong opo thoo, Dek? Aku ini gak ngutil. Aku hanya menabung sedikit demi sedikit karena ingin memberi kejutan buat kamu. Katanya mau beli susu pelangsing yang mahal itu? Jadi aku nabung buat kamu." Manis sekali ucapan Karmin itu hingga dada Sri terasa berbunga-bunga.

Sebagai wanita normal, ucapan gombal dari sang suami ibarat udara sejuk  yang terasa menyejukkan otak dan desiran di dalam dadanya.

"Ya ampun, sumpah?" Sri mendongak lunglai. Dia hampir terkulai setelah mendengar penuturan sang suami. GR? Pasti.

"Dih, ngapain harus sumpah segala sih, Dek? Sumpah mati aku sangat mencintaimu. Aku ingin selalu membuat dan melihat kamu bahagia." Lagi, Karmin menggombal.

Kali ini Sri mencoba melupakan rasa senang atas gombalan sang suami. Dia kembali mengingat wajah keriput Mbah Samijan yang telah menggagahinya berulang kali. Seketika, rasa panas mulai merambah dan kembali menjalari desiran darahnya.

"Jangan sumpah mati, dong. Nanti kalau kamu mati, aku jadi janda dong." Sri terkekeh.

"Karuan kalau jadi janda kaya mah kagak apa-apa. Lah ini ..., jadi janda miskin yang pastinya kian sengsara, wekekeek. Kalau kamu mati, kamu tak punya harta untuk kau wariskan kepadaku dan kepada anakmu. Rugi dong kalau aku menjanda saat muda belia begini, wakakak." Wanita itu tergelak.

"Semprul kamu, Sri! Aku belum mau mati. Aku belum kaya. Aku harus jadi pria sukses dulu lah, itu pun aku gak mau mati dulu. Sudahlah, jangan membahas kematian. Aku takut!" Karmin mendengkus panjang lalu beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Sri duduk seorang diri di teras rumahnya.

"Dih, dasar payah!" Sri terkekeh.

Melihat sang suami kembali masuk ke dalam warung, Sri hanya tersenyum kecut dengan penuh lirikan sinis. Ada kemarahan yang bergemuruh dan mendobrak keras dari dalam dadanya.

******

Malam harinya. Sekitar pukul 20.00, Sri pergi ke sebuah tempat pangkalan waria di daerah perbatasan kabupaten- kota. Ada misi yang harus dia lakukan. Dia berpamitan kepada Karmin untuk pergi kondangan temannya ke kecamatan sebelah.

Tentu saja, Sri berangkat dengan Tumi. Hanya saja, Tumi belum paham betul apa tujuan Sri mendatangi seorang waria di tempat itu. Namun, Tumi memilih untuk bungkam dan bersabar. Dia paham betul, suatu saat nanti, Sri pasti bersedia menceritakan semuanya dengan suka rela.

Tumi membonceng Sri hingga Sri menunjuk sebuah gang sempit tempat para wanita jadi-jadian itu menjajakan jasa. Ah, iya. Jasa anu, jasa bokong atau jasa burung.

Sri turun dari motor boncengan Tumi dengan langkah pasti. Dia pun menghampiri seorang pria cantik yang mengenakan dres berwarna pink kelap-kelip.

"Ada perlu apa ke sini, Mbak? Kami tidak mencari lubang wanita. Paham khaaan?" teriak seorang waria.

"Yang paling senior di sini siapa? Aku ada tawaran kerja sama bagus nih," kata Sri dengan tegas. Sebenarnya ia merasa gamang dan ragu, tapi rasa sakit hatinya kepada Karmin telah mengikis semua rasa payah itu. Sri benar-benar sangat berani kali ini.

"Akikaah, Cinnt ...." Seorang waria tinggi dan bertubuh seksi menghampiri Sri.

"Ada tawaran bisnis apose, Nek?"

"Ayo kita mojok di situ," kata Sri seraya menunjuk warung kopi di samping muka gang.

Keduanya pun berjalan beriringan ke warung itu. Tumi pun mengikuti Sri ke warung tersebut saat Sri memberi kode untuk mendekat.

"Namamu siapa?"

"Shakira, Nek. Panggil saja Shasa."

"Heeemm, ok. Sekarang aku mau bertanya. Berapa bayaranmu untuk sekali servis long time?" Sri langsung pada intinya.

"Heeem? Long time? Delapan jeti, Nek. Itu pun kalau yang makek om-om Chinese, tampan, tajir, dan putih lho yaw, weekekek."  Shakira terkekeh.

"Beda lagi kalau yang makek bapak-bapak kampung, apalagi aki-aki. Yaah, satu jeti itu udah bagus lah. Soalnya kalau bapak-bapak kan paling cuma sekali main doang. Kalau om-om Chinese mah minta nambah terus sampai bokongku terasa kebas, wekeekek," sambungnya.

"Kalau yang makek itu aki-aki tua tapi minta nambah terus, gimana?" Sri mencebik.

"Cakep kagak?"

"Gak!"

"Kaya gak, Nek?"

"Gak!"

"Putih?"

"Gak! Keriput, tua, bau tanah." Sri menjelaskan.

"Astogee, Nek. Sadis amat." Bencong itu mecucu panjang.

Mendengar hal itu, Tumi menjingkat. "Sri, kamu sebenarnya lagi mencarikan waria untuk siapa, sih?" bisiknya.

"Nanti aku kasih tahu," kata wanita gemuk itu.

"Jadi, berapa tarifnya kalau pelanggannya seperti itu, Shakira?" Sri menatap wanita jadi-jadian di hadapannya dengan lekat.

"Lima jeti long time ya, Nek. Itu udah murce lhooh. Kalau short time ya ... tiga jeti, heehehe. Itu udah sekalian sama uang kerjasama dan uang tutup mulut."

Sri segera mengeluarkan uang dari dalam tasnya. "Ini tiga juta. Kalau malam Jumat nanti kamu bisa mengerjakan tugasmu dengan baik, aku akan menambahi cuan-mu!" ujarnya.

"Tugasnya akuh itu melayani siapose, Nek?"

"Tugasmu hanya menyelinap masuk ke dalam bilik dan menggantikan aku melayani pria tua itu. Untuk detailnya, nanti aku akan membahasnya kalau kita bertemu secara santai. Mungkin besok atau lusa kita bisa mengobrol lagi," tandasnya.

Tumi terhenyak. "Maksud kamu apa thoo, Sri? Menggantikan kamu melayani pria tua? Ini gimana maksudnya?" bisik wanita itu.

"Ya, nanti aku akan ceritakan sedikit. Tapi hanya sedikit saja, hehehe." Sri terkekeh.

"Gimana, Shakira? Deal?" sambungnya seraya menyorot netra wanita jadi-jadian itu dengan tajam.

"Oke, Nek. Deal! Mana uangnya, ini aku kasih nota DP alias nota uang muka, heheheh."

Sri menyeringai tipis. "Semoga rencanaku ini berjalan mulus seperti paha purel!" gumamnya.

[Purel : LC]

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!