Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Nama Baru di Atas Kertas
Suara deru mesin mobil yang menjauh meninggalkan panti asuhan tidak lantas membuat suasana menjadi tenang. Di dalam ruang tamu yang remang-remang, sebuah map plastik berwarna biru kusam diletakkan dengan hentakan pelan di atas meja kayu. Di dalamnya terselip lembaran dokumen yang akan menentukan apakah Zahra Al Fahri tetap hidup atau terkubur selamanya dalam sejarah.
"Tanda tangani di sini, dan kau bukan lagi putri seorang konglomerat," ujar Baskara dengan nada suara yang berat.
Zahra menatap lembaran putih itu dengan jemari yang masih bergetar hebat di balik lengan gamisnya yang panjang. Di sana tertulis sebuah nama yang terasa asing namun harus ia peluk erat sebagai pelindung nyawa. Fatimah Azzahra, sebuah identitas yang direkayasa untuk mengelabui mata-mata ayahnya yang haus darah.
"Apakah ini cukup untuk menghapus seluruh hidupku selama dua puluh empat tahun ini?" tanya Zahra dengan suara parau.
"Kertas ini hanyalah syarat duniawi, namun hatimu yang harus benar-benar melepas masa lalu," sahut Ibu Maryam lembut.
Ibu Maryam mengelus punggung Zahra, mencoba menyalurkan keberanian yang mulai terkikis oleh rasa takut yang luar biasa. Zahra meraih pulpen, ujung tintanya menyentuh permukaan kertas hingga meninggalkan noda kecil yang merembes. Dengan satu tarikan napas panjang, ia menggoreskan tanda tangan yang sama sekali berbeda dari gaya tulisan tangannya yang biasa.
Di sudut lain bangunan panti, Arfan terbangun dengan rintihan kecil yang tertahan di balik giginya yang terkatup rapat. Luka di bahunya masih berdenyut kencang, memancarkan rasa panas yang menjalar hingga ke seluruh saraf di punggungnya. Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya yang masih lemah memaksa pria itu kembali terjerembap di atas kasur tipis yang terasa lembap.
"Jangan bergerak terlalu banyak, lukamu bisa terbuka kembali dan berdarah lagi," tegur seorang anak panti yang sedang menjaganya.
"Di mana wanita yang bersamaku semalam? Apakah dia selamat?" tanya Arfan dengan napas yang masih tersengal.
"Dia ada di ruang depan bersama Ibu pengasuh, sedang mengurus sesuatu yang sangat penting," jawab anak laki-laki itu sambil mengganti kompres di dahi Arfan.
Arfan memejamkan mata, bayangan wajah Zahra saat menangis di tengah hujan terus berputar di benaknya seperti kaset rusak. Sebagai seorang pengacara, ia tahu bahwa menyembunyikan seseorang yang sedang dicari polisi dan mafia adalah tindakan bunuh diri secara profesional. Namun, ada sesuatu dalam sorot mata wanita itu yang membuat Arfan rela mempertaruhkan seluruh karier dan nyawanya yang kini di ujung tanduk.
Kembali ke ruang tengah, Baskara menarik dokumen yang sudah ditandatangani itu dan segera memasukkannya ke dalam tas kulit miliknya. Ia menatap ke arah jendela, memastikan tidak ada orang asing yang menguping pembicaraan mereka dari balik rimbunnya pohon mangga. Keadaan menjadi semakin genting karena ia tahu bahwa ayah Zahra tidak akan pernah berhenti sebelum menemukan bukti fisik keberadaan putrinya.
"Mulai detik ini, panggil dia Fatimah. Jangan pernah sebut nama aslinya, bahkan di saat kalian hanya berdua saja," perintah Baskara tegas.
"Aku mengerti, Tuan. Ini demi keselamatannya dan juga keselamatan seluruh penghuni panti ini," balas Ibu Maryam dengan anggukan pelan.
"Lalu bagaimana dengan pria yang menyelamatkanku? Dia terluka sangat parah karena melindungiku," Fatimah bertanya dengan nada khawatir.
Baskara terdiam sejenak, ia teringat sosok Arfan yang keras kepala dan memiliki idealisme tinggi tentang kebenaran hukum. Baginya, kehadiran Arfan di panti asuhan ini adalah pedang bermata dua yang bisa sangat membantu atau justru menghancurkan penyamaran mereka. Jika Arfan pulih dan memutuskan untuk melaporkan kejadian ini secara resmi, maka cadar Fatimah tidak akan berguna lagi.
"Arfan adalah masalah lain yang harus segera kita selesaikan sebelum fajar menyapa bumi," gumam Baskara sambil mengepalkan tangannya.
"Maksudmu, kau ingin mengusirnya dalam kondisi selemah itu?" tanya Fatimah dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Bukan mengusir, tapi memastikan dia tetap bungkam atau kita semua akan berakhir di balik jeruji besi," tegas Baskara.
Fatimah berdiri, ia merapikan letak cadarnya yang sedikit miring sebelum melangkah menuju kamar tempat Arfan dirawat. Meskipun Ibu Maryam sempat melarang, wanita itu merasa memiliki utang nyawa yang harus dibayar dengan memastikan keadaan penyelamatnya. Langkah kakinya yang ringan nyaris tidak terdengar di atas lantai ubin yang dingin, menciptakan suasana yang kian sunyi dan mencekam.
Saat Fatimah masuk ke dalam kamar, ia melihat Arfan sedang menatap langit-langit dengan pandangan kosong yang penuh dengan beban pikiran. Cahaya lampu minyak yang bergoyang ditiup angin malam menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di dinding kamar yang kusam. Arfan menoleh perlahan, matanya menyipit mencoba mengenali sosok wanita bercadar hitam yang berdiri mematung di ambang pintu.
"Zahra? Apakah itu kau di balik kain hitam yang menakutkan itu?" tanya Arfan dengan suara yang sangat pelan.
"Zahra sudah mati di aspal jalanan semalam, Tuan. Nama saya adalah Fatimah," jawabnya dengan nada yang diusahakan tetap tenang.
"Kau bersembunyi di balik nama baru dan selembar kain, tapi ketakutan di matamu tidak bisa kau tutupi," Arfan tersenyum getir.
Fatimah mendekat, ia mengambil botol air putih di atas meja kecil dan membantu Arfan untuk minum dengan sangat hati-hati agar tidak menyentuh kulitnya. Ada getaran aneh yang ia rasakan saat berada dekat dengan pria yang telah mengorbankan segalanya demi dirinya yang bukan siapa-siapa. Bagi Arfan, wanita di depannya adalah misteri yang harus ia pecahkan, namun bagi Fatimah, Arfan adalah sisa-sisa masa lalunya yang paling berbahaya.
"Kenapa Tuan mau menolongku semalam? Kita bahkan tidak saling mengenal satu sama lain," tanya Fatimah sambil meletakkan kembali botol itu.
"Karena aku melihat seorang manusia yang sedang dizalimi, dan tugasku adalah membela mereka yang tidak punya suara," jawab Arfan mantap.
"Dunia tidak sesederhana itu, Tuan Pengacara. Keadilan sering kali kalah oleh tumpukan uang dan kekuasaan," Fatimah menundukkan kepalanya.
Arfan meraih tangan Fatimah yang berada di dekat kasurnya, namun wanita itu dengan cepat menarik tangannya menjauh sebagai bentuk penjagaan diri. Pria itu baru menyadari bahwa kini mereka berada di lingkungan yang sangat menjaga batasan antara laki-laki dan perempuan. Keheningan kembali menyelimuti mereka berdua, hanya suara jangkrik dari luar bangunan yang menjadi latar belakang percakapan yang terasa sangat berat itu.
"Aku akan membantumu mendapatkan keadilan yang sesungguhnya, bukan sekadar pelarian seperti ini," janji Arfan dengan sisa-sisa kekuatannya.
"Tuan tidak mengerti siapa lawan kita. Mereka bisa menghancurkan Tuan hanya dengan satu jentikan jari saja," Fatimah memperingatkan dengan sungguh-sungguh.
"Maka biarkan mereka mencobanya, karena aku tidak akan mundur sebelum kebenaran terungkap di depan pengadilan," balas Arfan dengan sorot mata tajam.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru dari arah luar kamar, disusul oleh suara pintu yang terbuka dengan sangat kasar. Baskara masuk dengan wajah yang pucat pasi, tangannya menggenggam sebuah alat komunikasi yang terus memancarkan suara statis yang berisik. Di belakangnya, Ibu Maryam terlihat sedang menggendong salah satu anak panti dengan ekspresi wajah yang sangat ketakutan.
"Kita harus pergi sekarang juga! Mereka menemukan koordinat tempat ini melalui pelacak di mobil Arfan!" teriak Baskara dengan suara yang menggelegar.
"Apa? Pelacak? Aku sudah memeriksa semuanya semalam!" Arfan mencoba bangkit meskipun rasa sakit kembali menyerang tubuhnya.
"Mereka memasangnya di dalam mesin mobil, bukan di bodi luar! Cepat masuk ke dalam gudang belakang!" perintah Baskara tanpa bantahan.
Fatimah segera membantu Arfan untuk berdiri, merangkul bahu pria itu meskipun ia harus menahan rasa canggung yang luar biasa di tengah kepanikan. Di luar panti, lampu-lampu sorot dari mobil hitam mulai terlihat membelah kegelapan gang sempit, menandakan bahwa maut sedang mengetuk pintu mereka. Mereka semua berlari menuju bagian belakang panti, melewati lorong-lorong sempit yang dipenuhi dengan jemuran pakaian anak-anak yatim yang masih basah.
Baskara membuka sebuah pintu kayu yang tersembunyi di balik lemari besar di dalam gudang, menyingkap sebuah lorong bawah tanah yang gelap dan lembap. Satu per satu mereka masuk ke dalam kegelapan itu, meninggalkan kehidupan lama mereka di atas tanah yang kini mulai dikepung oleh orang-orang bersenjata. Fatimah menggenggam erat ujung cadarnya, menyadari bahwa nama baru di atas kertas tadi benar-benar awal dari sebuah pelarian yang tidak akan pernah berakhir.
Arfan dan Fatimah terpaksa saling bersandar dalam gelap, sementara suara tembakan pertama mulai merobek keheningan malam di halaman depan panti.