Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Hari Ketika Segalanya Berhenti"
Hari pernikahan itu tiba tanpa hujan.
Langit cerah, terlalu cerah, seolah dunia sengaja bersikap netral terhadap apa pun yang akan terjadi.
Mansion sejak pagi dipenuhi kesibukan. Karangan bunga memenuhi halaman. Mobil-mobil hitam datang silih berganti. Suara langkah cepat, bisikan panitia, dering ponsel—semuanya bergerak dalam ritme yang sudah diatur rapi.
Zavian berdiri di kamar ganti lantai atas.
Jas hitamnya terpasang sempurna. Kemeja putih disetrika tanpa satu pun lipatan. Dasi gelap terikat presisi. Ia tampak seperti yang selalu dunia kenal: tenang, terkendali, siap menghadapi apa pun.
Alya berdiri di hadapannya, jari-jarinya sedikit gemetar saat merapikan kerah jas itu.
“Sudah lurus,” katanya pelan, lebih pada dirinya sendiri.
Zavian menunduk sedikit agar Alya lebih mudah menjangkau. “Kamu tidak perlu gugup.”
Alya tersenyum kecil. “Saya nggak gugup. Cuma… takut salah.”
Zavian menatap pantulan mereka di cermin besar. Untuk sesaat, ia melihat pemandangan yang aneh—seorang pria dewasa dengan dunia yang mapan, dan seorang gadis yang terlalu muda untuk memahami betapa besar perubahan hari ini.
“Terima kasih sudah membantu,” katanya singkat.
Alya menarik tangannya, melangkah setengah langkah ke belakang. “Selamat, Pak.”
Kata itu diucapkan sopan. Terlalu sopan.
Zavian menoleh. “Kamu akan duduk di barisan depan. Sopir akan mengantarmu.”
“Iya.”
Tidak ada pelukan. Tidak ada kata tambahan. Mereka tidak pernah pandai mengucapkan hal-hal yang tidak punya bentuk jelas.
Alya keluar dari kamar itu dengan perasaan aneh—seperti baru saja menutup pintu pada satu bab hidupnya, meski belum tahu apa yang menunggu di halaman berikutnya.
---
Gedung pernikahan megah.
Lampu kristal berkilau. Musik lembut mengalun. Para tamu telah duduk rapi, mengenakan senyum yang sama—senyum orang-orang yang datang untuk menyaksikan peristiwa penting, bukan merasakannya.
Zavian berdiri di altar.
Wajahnya tenang. Tangannya terlipat rapi. Tidak ada keraguan yang tampak. Ia seperti patung yang diletakkan tepat di tempatnya.
Alya duduk beberapa baris di depan. Punggungnya tegak, tangannya saling menggenggam di pangkuan. Ia menatap lurus ke depan, berusaha tidak memikirkan apa pun selain bernapas.
Musik berubah.
Isyarat bahwa pengantin wanita akan segera masuk.
Detik berlalu.
Lalu satu menit.
Dua.
Bisik-bisik mulai muncul, halus seperti gesekan kain.
Zavian tetap berdiri. Tidak bergerak. Namun matanya melirik sekilas ke arah samping—tempat seharusnya Evelyn muncul.
Tidak ada siapa-siapa.
Panitia saling bertukar pandang. Seorang pria bersetelan hitam mendekat cepat ke altar, berbisik sesuatu di telinga Zavian.
Wajah Zavian mengeras.
“Apa maksudmu, tidak bisa dihubungi?” suaranya rendah, tapi tajam.
Pria itu menelan ludah. “Ponselnya mati. Kamar pengantin kosong. Barang-barangnya… sudah tidak ada.”
Ruangan itu terasa seperti kehilangan udara.
Zavian meluruskan punggung, lalu menatap lurus ke depan lagi—seolah mencoba memberi waktu pada kenyataan untuk berubah pikiran.
Namun musik tidak kembali.
Dan pintu itu tidak terbuka.
Bisikan kini menjadi desas-desus.
“Kenapa?”
“Belum datang?”
“Ada apa ini?”
Alya merasakan dadanya menegang. Ia berdiri sedikit dari kursinya, lalu duduk kembali, jantungnya berdegup terlalu cepat. Ia menatap altar—menatap punggung Zavian yang masih tegak, tapi kini terasa… sendirian.
Seorang panitia wanita berlari kecil ke arah podium, wajahnya pucat.
“Mohon perhatian,” katanya dengan suara bergetar. “Acara akan ditunda sementara.”
Ditunda.
Kata itu jatuh seperti kaca pecah.
Zavian akhirnya menoleh. Pandangannya menyapu ruangan—wajah-wajah penasaran, kamera yang ragu-ragu diturunkan, senyum yang memudar.
Lalu matanya bertemu Alya.
Hanya sepersekian detik.
Cukup bagi Alya untuk melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya: kebingungan yang tidak tertutup rapi.
Evelyn tidak datang.
Bukan terlambat.
Bukan terhalang.
Ia kabur.
Dan di hari yang seharusnya paling terkontrol dalam hidup Zavian—hari di mana segalanya direncanakan dengan presisi—dunia justru memilih berhenti.
Di tengah aula yang gemuruh oleh tanya, Zavian berdiri diam.
Dan Alya tahu, mulai hari itu, tidak ada satu pun kehidupan di rumah besar itu yang akan kembali berjalan seperti sebelumnya.
Aula itu **tidak dibubarkan**.
Musik memang berhenti, tapi lampu tetap menyala. Kursi tidak digeser. Tidak ada pengumuman penundaan. Para tamu masih duduk—bingung, penasaran, menunggu.
Zavian tetap berdiri di altar.
Panitia sudah berbisik panik di sisi panggung, salah satu dari mereka memberi isyarat bertanya: *dibatalkan? ditunda?*
Namun Zavian hanya mengangkat satu tangan.
Diam.
Isyarat itu cukup.
Semua kembali menunggu.
Beberapa menit terasa seperti puluhan. Kipas pendingin berdengung pelan. Gaun-gaun mahal mulai terasa berat dipakai. Tapi tak seorang pun berani berdiri lebih dulu.
Zavian menatap lurus ke depan.
Tidak ada kemarahan di wajahnya. Tidak ada kepanikan. Hanya ketenangan yang terlalu sempurna—ketenangan seseorang yang terbiasa menghadapi krisis, dan menolak menunjukkan retakannya di depan umum.
Alya duduk kaku di kursinya.
Jantungnya berdebar tidak karuan. Ia tahu ini salah. Tahu ada sesuatu yang sangat tidak beres. Namun melihat Zavian tetap berdiri di sana, sendirian di altar yang seharusnya berisi dua orang, membuat dadanya terasa nyeri dengan cara yang tidak bisa ia jelaskan.
Seorang asisten kembali mendekat, berbisik lebih pelan dari sebelumnya.
“Pak… kami sudah memastikan. Pengantin wanita tidak ada di gedung. Mobilnya juga—”
Zavian mengangguk tipis. “Saya tahu.”
Ia melangkah setengah langkah ke depan, masih menghadap para tamu.
Tidak ada mikrofon yang disentuh. Ia tidak membutuhkan itu.
“Mohon tetap di tempat,” katanya datar namun jelas. “Beritahu acara ditunda sebentar.” Kata Zavian kepada anak buahnya.
Desas-desus meledak lebih keras.
“Belum selesai?”
“Maksudnya apa?”
“Tanpa pengantin wanita?”
Alya menegakkan punggung. Tangannya mencengkeram ujung kursi. Ada firasat buruk merayap naik, dingin, perlahan.
Zavian menarik napas dalam—napas seseorang yang sudah mengambil keputusan.
Jika Evelyn memilih pergi tanpa kata…
Maka ia akan memastikan satu hal:
Tidak ada satu pun orang di ruangan ini yang akan menganggap dirinya sebagai pria yang ditinggalkan tanpa kendali.
Dan di antara ratusan pasang mata itu, tanpa ia sadari, Alya adalah satu-satunya yang tidak menatapnya dengan rasa ingin tahu—
melainkan dengan ketakutan akan apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
Bab ini belum selesai.
Dan hari pernikahan itu… baru saja memasuki bagian paling berbahaya.