Gayatri, seorang ibu rumah tangga yang selama 25 tahun terakhir mengabdikan hidupnya untuk melayani keluarga dengan sepenuh hati. Meskipun begitu, apapun yang ia lakukan selalu terasa salah di mata keluarga sang suami.
Di hari ulang tahun pernikahannya yang ke-25 tahun, bukannya mendapatkan hadiah mewah atas semua pengorbanannya, Gayatri justru mendapatkan kenyataan pahit. Suaminya berselingkuh dengan rekan kerjanya yang cantik nan seksi.
Hidup dan keyakinan Gayatri hancur seketika. Semua pengabdian dan pengorbanan selama 25 tahun terasa sia-sia. Namun, Gayatri tahu bahwa ia tidak bisa menyerah pada nasib begitu saja.
Ia mungkin hanya ibu rumah tangga biasa, tetapi bukan berarti ia lemah. Mampukan Gayatri membalas pengkhianatan suaminya dengan setimpal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GAYATRI 21
Nadya berjalan memasuki gang rumah dengan amarah yang memuncak, apa pun yang nantinya akan terjadi di rumah itu, ia bersumpah akan memberitahu semua anggota keluarga itu kebenarannya.
“Kau akan menanggung semua konsekuensi dari kemarahanku, Mahesa. Berani-beraninya kau menipuku,” gumamnya kesal.
Nadya bahkan tak memedulikan lagi tatapan orang sekitar yang menatapnya dengan iba.
Tatapan matanya tertuju pada rumah Mahesa yang tampak meriah, ia bahkan mendengar bisik-bisik tetangga yang membicarakan soal perayaan hari ulang tahun pernikahan Mahesa dan Gayatri.
Mendengar berita itu membuat kekesalan Nadya sampai pada batasnya. Ia menggenggam kotak beludru berisi cincin pernikahannya dan Mahesa. Ia benar-benar bertekad untuk mengatakan semuanya.
Ia semakin dekat dengan tujuannya, baru saja kakinya hendak melangkah melewati gerbang saat tangannya tiba-tiba ditarik secara kasar oleh seseorang dari samping.
“Apa-apaan ini? Lepas! Lepaskan aku. Beraninya kau!” makinya, belum sadar siapa yang sudah menarik lengannya dengan kasar. “Kau ….”
“Hai, Nadya. Senang bertemu denganmu.” Anin tersenyum lebar. “Wah, wah, wah, kau kacau sekali. Kau seperti pengantin yang sedang melarikan diri,” ledeknya sambil berdecak pelan.
Tangan Nadya gemetar menahan kesal, ia menatap perempuan di hadapannya itu dengan mata merah membara.
“Astaga, Nadya. Jangan menatapku begitu, kau membuatku takut,” kata Anin pura-pura bergidik ngeri. “Oh, ya, apakah kau juga datang untuk menghadiri pesta perayaan Gayatri dan Mahesa?”
“Diam!” bentak Nadya, tak tahan lagi. “Jangan ikut campur dengan urusanku.”
“Hei, kenapa kau begitu marah? Aku hanya bertanya, sikapmu itu seperti perempuan yang putus asa karena ditinggal menikah,” ucap Anin sengaja memancing.
Merasa puas sudah meledek Nadya, ia akhirnya memilih pergi untuk menemui Gayatri. Ia harus memberitahunya apa yang baru saja ia temukan.
“Gayatri!”
Gayatri yang tengah bersiap di kamarnya itu sontak menoleh, melihat Anin berdiri di depan pintu kamarnya dengan napas terengah.
“Hei, kapan kau datang? Kenapa wajahmu kelihatan panik seperti itu?” tanyanya pelan.
Anin langsung berjalan masuk, sesaat ia begitu tertegun dengan penampilan sahabatnya yang terlihat amat berbeda hari itu.
“Anin? Kenapa kau melamun?” Gayatri menjentikkan jarinya.
“Astaga, aku sampai lupa. Ini gawat, Gayatri. Seperti dugaanmu, mereka sepertinya akan menikah hari ini. Tetapi—”
“Tetapi, karena di rumah ini ada perayaan, mereka tidak jadi menikah karena mempelai prianya tidak bisa datang,” sela Gayatri yang langsung diangguki oleh Anin.
Gayatri berbalik menatap cermin, menatap pantulan dirinya sendiri di sana. Ia tampak seperti seorang ratu hari ini.
“Apa yang harus kita lakukan, Tri? Melihat ekspresinya tadi, dia pasti sangat kesal dan akan membuat onar di rumah ini.” Anin terlihat lebih cemas dibandingkan Gayatri yang justru tetap tenang.
Panggilan ibu mertuanya mulai terdengar dari lantai bawah, memintanya untuk segera turun.
“Kita tidak boleh membiarkannya membuat kerusuhan di sini,” kata Gayatri pada akhirnya. “Setidaknya tidak di hari ini.”
“Aku mengerti, aku akan mengusirnya keluar.” Anin dengan cepat mengambil tindakan.
Namun, Gayatri justru mencegahnya.
“Dia tidak akan semudah itu menyerah setelah dibohongi. Dia pasti akan melakukan apa pun untuk mencoba menemui Mahesa,” katanya merasa yakin.
“Lalu bagaimana? Kita juga tidak mungkin membiarkannya masuk ke rumah ini, kan?”
***
Seperti kata Gayatri, Nadya sama sekali tak kehabisan akal untuk menemui Mahesa. Karena lewat depan rumah terlalu beresiko, ia memilih jalan belakang rumah.
“Apa pun caranya, kau harus menjelaskan semua ini kepadaku, Mahesa.” Nadya terus meracau saat menuju pintu belakang rumah itu.
Semua orang tengah sibuk di depan dan ruang tengah, Nadya yakin tak akan ada seorang pun yang bisa melihatnya menyelinap lewat jalan belakang. Dengan susah payah, Nadya menerobos masuk.
Hal pertama yang ia ingin lakukan adalah pergi ke kamar Mahesa dan memancingnya. Tetapi, sebelum itu, ia memotret dirinya sendiri yang sudah berada di area belakang dan mengirimkannya kepada Mahesa.
“Kau harus menemuiku jika tidak ingin keluargamu hancur.”
Nadya mengirim pesan itu pada Mahesa dan dengan cepat berjalan ke arah kamar Mahesa.
Di ruang tengah, Mahesa yang mendapatkan pesan itu sontak langsung panik. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah, mencoba menemukan keberadaan Nadya.
Ia sangat yakin perempuan itu pasti marah besar padanya, tapi Mahesa tak menduga Nadya akan senekat itu dengan mendatanginya langsung ke rumah.
Ponselnya berdentang kembali, tanda satu pesan masuk. Begitu membacanya, Wajah Mahesa berubah pias.
Sampai Sarita yang melihat itu khawatir, “Ada apa, Nak? Apakah kau sakit? Wajahmu pucat begitu. Kau kenapa?” tanya Sarita seraya memeriksa Mahesa.
Mahesa menggeleng pelan, "Tidak ada apa-apa, Bu. Sepertinya aku hanya kelelahan saja, aku akan pergi ke kamar untuk beristirahat sebentar,” katanya beralasan.
“Ya ampun, ini semua pasti karena kau terlalu memaksakan diri. Istirahatlah, kau pasti sangat lelah hari ini, nanti Ibu akan minta Gayatri untuk mengantarkan obat,” kata Sarita, namun Mahesa sudah lebih dulu pergi.
Mahesa berjalan dengan cepat ke kamarnya. Ia langsung masuk dan mengunci pintunya dari dalam.
Di depan meja rias Gayatri, Nadya duduk dengan tatapan kosong. Ia menatap pantulan dirinya sendiri yang menyedihkan. Riasan wajahnya sudah luntur akibat banyak menangis. Gaun pernikahannya bahkan sudah kotor terkena debu.
“Na-Nadya, aku benar-benar minta maaf. Aku ingin pergi, tetapi ayah dan ibu. Kau tahu bagaimana mereka, 'kan? Mereka melarang ku keluar rumah, mereka bahkan membuat perayaan seperti ini,” jelas Mahesa.
Nadya bergeming, tapi ia mendengarkan semua alasan yang Mahesa katakan. Baginya, semua ucapan Mahesa itu hanyalah bualan belaka.
Merasa perempuan itu hanya terdiam, Mahesa akhirnya mendekati Nadya. Berdiri di sampingnya dengan perasaan bersalah.
“Nadya,” panggilnya lembut. Ia berusaha meraih lengan perempuan itu dan menggenggamnya. “Maafkan aku, Nadya. Aku tahu aku pasti sudah membuatmu kecewa, aku pasti sudah membuatmu marah, tapi aku tak punya pilihan lain.”
Nadya menoleh, menarik tangannya pelan. Ia berdiri dan menatap Mahesa dengan tatapan terluka. “Kapan kau akan berubah? Kau selalu saja memberiku alasan, alasan dan alasan! Aku lelah, Mahesa! Aku lelah dengan semua ini!” teriaknya di akhir kalimat.
Mahesa mundur beberapa langkah ke belakang karena terkejut. “Nadya … tolong kendalikan dirimu. Bagaimana jika semua orang mendengar suara teriakanmu?”
“Bahkan di saat seperti ini pun kau tetap memintaku untuk diam?” Nadya berucap lirih. “Kau benar-benar keterlaluan!” makinya mulai memukul-mukul dada Mahesa dengan kesal.
Air matanya kembali tumpah, ia terus memukul, bahkan melempari pria itu dengan barang-barang yang bisa ia jangkau demi melampiaskan kemarahannya.
Mahesa mundur, mengelak dan berusaha menenangkan Nadya sebelum ada orang yang mendengar pertengkaran mereka. Namun, Nadya seolah tak mendengar, ia terus memukul pria itu sambil terus memaki.
“Kau keterlaluan, Mahesa! Lagi-lagi kau meninggalkan aku sendirian. Kau kejam! Aku membencimu, aku benar-benar membencimu!” makinya, lalu jatuh terduduk kelelahan.
Mahesa mengetahui kesalahannya, tapi ia pun tak berdaya. Dengan perlahan tapi pasti, ia mendekati Nadya dan memeluk perempuan itu.
Membawa Nadya ke dalam pelukannya, sama seperti setiap kali perempuan itu marah. Untuk beberapa saat, ia tetap membiarkan Nadya menangis.