NovelToon NovelToon
Istri Terbuang

Istri Terbuang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Janda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: ummushaffiyah

Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29 — Restu, Desas-desus, dan Nama yang Tak Lagi Berjarak

Ruang kerja Daniel sore itu terasa lebih hidup dari biasanya. Pak Bram dan Pak Arham duduk berseberangan, wajah keduanya sama-sama menyimpan kepuasan yang tidak mereka sembunyikan.

“Daniel,” ujar Pak Arham sambil menyilangkan tangan, “keputusanmu tepat.”

Pak Bram mengangguk setuju. “Saya jarang melihat presentasi setenang dan sekuat itu. Bu Zahwa bukan hanya cakap, tapi berkelas.”

Daniel tersenyum kecil. Ia senang, tentu saja. Tapi di balik itu, ada perasaan lain yang membuat dadanya hangat sekaligus bingung.

Ia bangga pada Zahwa. Terlalu bangga, bahkan.

Zahwa sendiri duduk beberapa langkah dari mereka, menunduk sopan. Ia tidak larut dalam pujian. Ada satu hal yang ingin ia lakukan sebelum semuanya resmi.

“Pak… Daniel,” katanya pelan.

Daniel menoleh. Alisnya sedikit terangkat—antara senang dan terusik oleh panggilan itu.

“Sebelum tanda tangan kontrak,” lanjut Zahwa, “saya mohon izin… saya ingin menelepon orang tua saya sebentar. Meminta restu.”

Pak Arham tersenyum lembut. “Tentu. Itu hal yang sangat baik.”

Daniel mengangguk. “Silakan. Ambil waktu yang kamu butuhkan.”

Zahwa berdiri, melangkah ke sudut ruangan yang lebih tenang. Tangannya sedikit bergetar saat menekan nomor rumah.

“Assalamualaikum Ibu…” suaranya terdengar begitu tersenyum saat sambungan terangkat.

Di seberang sana, suara ibunya langsung menyambut hangat.

“ Waalaikumussalam Zahwa? Apa kabar ,Ada apa, Nak?”

Zahwa menarik napas. “Bu… hari ini Zahwa mau tanda tangan kontrak kerja besar. Di kantor rekan kerja Zahwa.”

Hening sejenak.

“Alhamdulillah,” sahut ayahnya dari latar belakang.

Zahwa melanjutkan, suaranya kini lebih pelan tapi mantap.

“Bu, Pak… Zahwa juga mau bilang… Zahwa dan Farhan sudah selesai.”

Tidak ada jeritan. Tidak ada suara kaget berlebihan. Hanya napas yang ditahan sejenak.

Ibu Zahwa akhirnya berkata lembut, “Ibu dan Bapak sudah menduganya, Nak.”

Zahwa terdiam. “Ibu… tahu?”

“Kami melihat caramu pulang selama ini,” jawab ayahnya tenang. “Kamu selalu tersenyum, tapi lelahmu tidak bisa disembunyikan.”

Ibunya menimpali, “Kami tidak mau ikut campur. Takut hatimu makin berat. Jadi kami hanya berdoa.”

Air mata Zahwa jatuh tanpa suara.

“Maaf… Zahwa belum sempat pulang.”

“Kami tidak khawatir,” kata ibunya. “Asal kamu baik-baik saja. Setelah kontrak itu, pulanglah. Rumah selalu menunggumu.”

Zahwa tersenyum di balik tangis. “InsyaAllah, Bu. Zahwa janji.”

Telepon ditutup dengan doa-doa yang menguatkan.

Saat Zahwa kembali ke meja, matanya masih basah tapi langkahnya jauh lebih ringan.

Kontrak ditandatangani. Tinta hitam mengikat perjalanan baru.

---

Beberapa hari kemudian, di kantor pusat sebelah, Farhan mendengar sesuatu yang membuatnya berhenti di tengah langkah.

“Katanya chef-nya cewek,” ujar seorang staf.

“Cantik, kalem, tapi auranya beda.”

“Presentasinya bikin direksi bengong.”

Farhan mengernyit.

“Siapa namanya?”

“Bu Zahwa.”

Dada Farhan seperti dipukul pelan tapi tepat.

Zahwa?

Ia tertawa kecil, menepis. Mustahil.

Zahwa yang ia kenal terlalu diam. Terlalu nurut. Terlalu… biasa.

Tapi entah kenapa, sejak hari itu, nama itu terus terdengar.

Membahana.

---

Sementara itu, Daniel duduk berhadapan dengan Zahwa di ruang makannya sendiri. Bukan untuk rapat melainkan undangan yang tertunda.

“Ibu saya ingin bertemu kamu,” kata Daniel. “Beliau minta kamu masak langsung di rumah.”

Zahwa sedikit terkejut. “Masak… di rumah Daniel?”

Daniel mengangguk. “Beliau ingin melihat sendiri.”

Zahwa tersenyum tipis. “Baik. Tapi… soal bayaran—”

“Saya bayar,” potong Daniel cepat.

Zahwa menggeleng pelan. “Tidak. Ini balas budi saya untuk… Daniel.”

Daniel terdiam.

Lalu tertawa kecil. “Kamu ini konsisten sekali.”

Zahwa ikut tersenyum, lalu tiba-tiba sadar.

“Eh… maaf. Tadi saya bilang Daniel…”

Daniel menatapnya. “Kenapa?”

Zahwa ragu. “Kadang saya panggil Pak Daniel. Kadang Mas Daniel. Kadang… Daniel.”

Daniel bersandar, menatap langit-langit sejenak.

“Jujur?”

Zahwa mengangguk.

“Saya lebih suka dipanggil… Daniel saja.”

Zahwa terkejut. “Tidak terlalu—”

“Tidak,” potongnya lembut. “Saya ingin kita sejajar. Profesional, tapi tidak berjarak.”

Zahwa menunduk sebentar, lalu mengangguk.

“Baik… Daniel.”

Ada sesuatu yang bergetar halus di dada Daniel saat namanya diucapkan tanpa sekat.

Dan di antara mereka, tanpa disadari, jarak yang dulu ada, perlahan luruh.

1
Hafshah
terus berkarya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!