Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.
Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4 : THE ONLY FRIEND
Setelah kegaduhan di kelas sejarah yang disebabkan oleh "kerusakan teknis" pada ponsel geng Reihan, suasana sekolah menjadi sangat aneh. Kevin tampak pucat pasi setelah diinterogasi Pak Danu, sementara Reihan terlihat sangat emosional karena beberapa data penting di ponselnya hilang secara misterius. Namun, bagi Luna, satu jam di atap bersama Xavier tadi terasa seperti berada di dimensi lain, dimensi di mana ia tidak merasa seperti sampah.
Bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, kantin adalah tempat terlarang bagi Luna jika ia ingin pulang dengan seragam yang bersih. Ia memilih untuk berjalan menuju gudang belakang sekolah yang terbengkalai, tempat di mana hanya tikus dan debu yang mau menemaninya.
Luna duduk di atas sebuah peti kayu tua, membuka kotak bekalnya yang berisi nasi putih dan sedikit tumis kangkung sisa semalam. Ia baru saja hendak menyuap, ketika sebuah bayangan muncul di ambang pintu gudang.
"Makan di tempat berdebu seperti ini tidak baik untuk paru-parumu."
Xavier masuk dengan langkah tenangnya yang khas. Ia membawa sebuah kantong kertas berwarna cokelat yang aromanya sangat menggoda, aroma roti mentega mahal dan daging panggang yang lezat.
"Xavier? Kamu... kamu mengikutiku lagi?" Luna tersenyum tipis, rasa hangat mulai menjalar di dadanya.
"Aku hanya mencari tempat yang tidak berisik oleh suara monyet-monyet yang haus perhatian," jawab Xavier santai. Ia duduk di samping Luna, memberikan jarak sekitar tiga puluh sentimeter. Ia menyodorkan kotak susu cokelat dingin dan sebuah roti lapis premium dari kantong kertasnya ke hadapan Luna.
"Ambil ini. Nasi kangkungmu tidak akan memberimu tenaga untuk menghadapi Selin di jam olahraga nanti."
Luna menatap roti lapis itu dengan ragu. "Ini terlihat sangat mahal, Xavier. Kamu beli di mana? Kantin sekolah tidak menjual yang seperti ini."
Xavier terdiam sejenak. Ia hampir saja menjawab bahwa koki pribadinya yang menyiapkannya, namun ia segera tersadar. "Aku membelinya di kedai dekat halte tadi pagi. Ada promo. Makan saja."
Luna menerima roti itu. Saat gigitan pertama mendarat di lidahnya, ia hampir menangis. Ini adalah makanan paling enak yang pernah ia makan selama bertahun-tahun. "Terima kasih, Xavier. Kamu selalu tahu cara membantuku."
Mereka makan dalam keheningan yang nyaman. Bagi Luna, kehadiran Xavier adalah sebuah anomali. Cowok ini memakai kacamata tebal yang sama dengannya, tas punggung yang berat, dan sepatu yang terlihat biasa saja. Tapi, ada sesuatu yang "mahal" dalam cara Xavier bergerak caranya memegang kotak susu, caranya duduk tegak, bahkan caranya menatap debu yang terbang di sinar matahari.
"Xavier," panggil Luna pelan. "Kenapa kamu tidak punya teman lain? Maksudku, dengan kemampuanmu tadi di atap... kamu bisa saja bergabung dengan geng manapun jika kamu mau."
Xavier menatap tangannya yang bersih. "Aku tidak butuh teman yang hanya ingin memanfaatkan apa yang aku punya, Luna. Di dunia ini, banyak orang yang terlihat seperti manusia, tapi di dalamnya mereka hanya lubang hitam yang haus kekuasaan."
Ia menoleh ke arah Luna. "Aku lebih suka berada di sini. Denganmu. Kamu adalah satu-satunya orang di sekolah ini yang memiliki jiwa yang jujur."
Pipi Luna memerah. Ia segera menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik rambutnya yang berantakan. "Jiwa yang jujur? Aku cuma gadis cupu yang jadi bahan bully, Xavier. Tidak ada yang istimewa dariku."
"Belum," koreksi Xavier dengan suara rendah yang berwibawa. "Kamu belum melihat apa yang aku lihat. Kamu adalah permata yang sedang tertutup lumpur. Tugas lumpur adalah menjaga permata itu agar tidak ditemukan oleh orang yang salah sampai waktunya tiba untuk diasah."
Luna tertegun. Kalimat itu terlalu indah untuk seorang cowok SMA. "Kamu bicara seolah-olah kamu tahu masa depanku."
Xavier hanya tersenyum tipis, sebuah senyum yang sangat jarang ia tunjukkan. "Aku hanya tahu cara membaca potensi."
Sementara itu, di sudut kantin yang paling mewah, suasana sedang memanas. Selin membanting botol minumnya ke meja, membuat Maya dan Vanya tersentak.
"Gue nggak tahan lagi! Si Xavier itu bener-bener nyari masalah!" geram Selin. "Gara-gara dia, Bima jadi pendiam tadi pagi. Dia bilang dia ngerasa aneh pas disentuh Xavier. Emang lo pikir si Cupu itu punya ilmu hitam?"
"Mungkin dia cuma hoki aja, Sel," timpal Vanya sambil mengoleskan lipstik merahnya. "Tapi emang sih, kalau dia terus-terusan jagain Luna, kita jadi susah mau main-main sama si Itik itu."
Reihan yang duduk di seberang mereka hanya diam, memainkan kunci mobilnya di jari. Matanya menatap lurus ke arah pintu kantin, seolah menunggu seseorang yang tak kunjung datang.
"Rei! Lo kok diem aja sih?" tanya Selin manja. "Pacar lo lagi kesel nih!"
Reihan melirik Selin dengan tatapan bosan. "Selin, lo itu terlalu berisik. Kalau lo mau abisin Luna, ya abisin aja. Nggak usah drama bawa-bawa si Xavier itu. Dia cuma cowok cupu yang sok pahlawan. Sekali lo pukul juga langsung nangis."
"Tapi Rei, Bima aja takut..."
"Bima itu cuma lagi kurang tidur," potong Reihan tajam. Ia berdiri, memakai jaket basketnya dengan angkuh. "Gue ada latihan sore ini. Jangan ganggu gue kecuali lo punya berita kalau Luna udah keluar dari sekolah ini."
Reihan pergi tanpa menoleh. Selin mengepalkan tangannya hingga kukunya yang panjang menusuk telapak tangannya sendiri. Rasa bencinya pada Luna kini bercampur dengan rasa iri karena perhatian Reihan mulai terpecah.
"Maya, Vanya," panggil Selin dengan nada yang sangat jahat. "Sore ini, sepulang sekolah. Kita bawa Luna ke gudang olahraga. Aku denger dia mau latihan drama sendirian di sana."
"Terus kalau Xavier ikut?" tanya Maya ragu.
Selin menyeringai, mengeluarkan sebuah gunting kain tajam dari dalam tasnya. "Kalau Xavier ikut, dia bakal liat gimana rasanya jadi pahlawan yang gagal. Aku bakal pastiin hari ini adalah hari terakhir Luna berani nunjukin rambut bau itu di sekolah."
Kembali ke gudang belakang, Luna dan Xavier baru saja selesai makan. Xavier berdiri dan membersihkan seragamnya dari debu.
"Luna, sepulang sekolah nanti, jangan pergi ke mana-mana sendirian," ucap Xavier tiba-tiba.
"Kenapa? Aku ada latihan drama singkat untuk tugas Bu Sarah di gudang olahraga. Kenapa kamu mendadak bicara begitu?"
Xavier menatap pintu gudang dengan mata yang menyipit, seolah indranya bisa menangkap percakapan jahat di kantin tadi. "Hanya firasat. Jika kamu harus pergi, aku akan menunggumu di depan gerbang. Tapi kalau ada yang memaksamu pergi ke tempat sepi... lari."
Luna tertawa kecil, meskipun hatinya merasa was-was. "Kamu terlalu protektif, Xavier. Tapi terima kasih ya. Aku akan hati-hati."
Luna berjalan keluar menuju kelas berikutnya. Ia merasa hari ini akan berbeda. Ia merasa lebih kuat. Tapi ia tidak tahu, bahwa di balik senyum tipis Xavier saat melepasnya pergi, cowok itu sedang mengirimkan sinyal darurat melalui jam tangan pintarnya yang tersembunyi di balik lengan seragamnya.
[NOTIFICATION : TARGET IN POTENTIAL DANGER. LEVEL 2. STANDBY FOR INTERVENTION.]
Xavier menatap punggung Luna yang semakin menjauh. "Mereka benar-benar ingin bermain api dengan Seraphine, ya? Baiklah. Aku akan menunjukkan pada mereka... betapa panasnya api itu jika mereka berani menyentuhnya."
Xavier tidak lagi tampak seperti cowok cupu saat ia berdiri sendirian di gudang itu. Auranya berubah menjadi sangat dingin, sangat mematikan. Ia mengeluarkan sepasang sarung tangan kulit hitam dari tasnya, memakainya dengan perlahan, lalu menghilang di balik bayang-bayang koridor.