Raisa tidak menyangka bahwa hidup akan membawanya ke keadaan bagaimana seorang perempuan yang menjalin pernikahan bukan atas dasar cinta. Dia tidak mengharapkan bahwa malam ulang tahun yang seharusnya dia habiskan dengan orang rumah itu menyeretnya ke masa depan jauh dari bayangannya. Belum selesai dengan hidup miliknya yang dia rasa seperti tidak mendapat bahagia, malah kini jiwa Raisa menempati tubuh perempuan yang ternyata menikah tanpa mendapatkan cinta dari sang suami. Jiwanya menempati raga Alya, seorang perempuan modis yang menikah dengan Ardan yang dikenal berparas tampan. Ternyata cantiknya itu tidak mampu membuat Ardan mencintainya.
Mendapati kenyataan itu Raisa berpikir untuk membantu tubuh dari orang yang dia tempati agar mendapatkan cinta dari suaminya. Setidaknya nanti hal itu akan menjadi bentuk terima kasih kepada Alya. Berharap itu tidak menjadi boomerang untuk dirinya. Melalui tubuh itu Raisa menjadi tahu bahwa ada rahasia lain yang dimiliki oleh Ardan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eloranaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Tiga Hari
Pagi hari dengan membawa nampan di kedua tangannya Santi mengunjungi kamar anak dan menantunya. Saat masuk, dia tidak heran lagi jika hanya diisi oleh Raisa saja. Pemandangan yang tidak asing untuknya.
Raisa yang sedang sibuk mematut di depan cermin langsung terlonjak. Dia segera meletakkan kembali lip gloss setelah buru-buru memakainya.
"Hallooo, selamat pagi!"
"Selamat pagi, Bu." Raisa balik menyapa.
Dia mendekati Santi dan mengambil alih nampan yang dibawa perempuan itu. Santi lantas ikut duduk bersama Raisa di tempat yang biasa Ardan habiskan untuk tidur.
"Ardan nggak pulang ya semalam?" Santi bertanya di tengah keheningan.
Raisa menggeleng, "Enggak, Bu." Dan berikutnya terdengar lenguhan penat dari Santi. Raisa yang menyadarinya segera mengklarifikasi, "Mungkin betulan ada urusan genting, Bu. Dia kan udah tiga hari nggak keluar, pasti segala kegiatannya jadi kehambat," karang Raisa.
Santi mengangguk-angguk paham. Dia menatap menantunya yang mulai melahap sarapan yang dia bawa tadi dan membalas, "Kegiatan kamu juga pasti banyak yang terhambat ya? Maafin ibu ya?" Santi melihat menantunya dengan tatapan tidak enak. Dia berkali-kali mengucapkan kata maaf pada menantunya itu.
Raisa sontak menyangkalnya, "Enggak, Bu. Aku malah seneng, soalnya nggak kerja hahahaha."
Usai mengatakan itu, mereka berdua bergelut dengan kegiatan masing-masing. Raisa sibuk dengan makanan sedangkan Santi sibuk memperhatikan menantunya dengan teduh dan senyum, menantunya dengan lahap menyantap makanan yang dia bawa, bahkan sempat menawar untuk mengambil potongan daging ayam di piring yang dia bawa untuk Ardan juga.
"Boleh bolehhh. Makan yang banyak." Santi mengusap pucuk kepala Raisa yang disambut dengan rengekan gemas soal rambut yang sudah distyling malah jadi berantakan. "Kamu tiga hari ini sama Ardan di kamar ngapain aja?"
Pertanyaan mendadak itu menghentikan pergerakan Raisa yang hendak memasukkan sesendok nasi. Dia menjawab santai, "Nggak ngapa-ngapain, sih, Bu."
"Beneran?"
Dengan yakin Raisa menjawab, "Beneran!"Jeda sebentar sebelum dia melanjutkan, "Memang kenapa, Bu?"
"Ya tidak kenapa-kenapa. Ibu kira kalian berhasil ngapain gitu." Santi mengucapkan kata ngapain dengan sedikit penekanan. Dan Raisa yang tahu arah pembicaraan seketika tersedak oleh makanannya sendiri.
Meneguk minumnya lalu menjawab, "Nggaklah, Bu. Orang Ardan isinya suka marah-marah ke aku." Dia berkata tanpa ditambah-tambahkan, karena memang benar lelaki itu selalu sensi saat dia ajak bicara. Sembilan puluh persen tidak menunjukkan keramah tamahan kepadanya.
Tetapi anehnya kedua pipi gadis itu bersemu. Meski begitu dalam dirinya juga merasa pembicaraan tersebut sedikit memalukan.
"Kamu nggak mau punya momongan, Nak?"
Lagi-lagi Raisa tersedak. Menciptakan kikikan kecil dari Santi.
Dengan tegas Raisa membalas, "Belum, Bu. Terserah Ardan aja nantinya."
Benarkan dia menjawab begitu?
Bagaimana apabila yang ada di dalam raga Alya tersebut adalah jiwa Alya asli dan bukan milik Raisa?
Perempuan itu tetap menjawab hal yang sama bukan?
Dia sudah mewakili Alya bukan?
Raisa tidak menemukan jawabannya. Karena yang ada diposisinya adalah Raisa, ya sudah, semua adalah sesuai kemauan Raisa. Apa yang dia lakukan tentulah sesuai apa yang dia inginkan. Sekalipun hanya sesederhana dia ingin tidur jam berapa, suasana hatinya, ingin makan apa, bekerja, ataupun tinggal di rumah itu. Karena jika Raisa ingin pergi ataupun tinggal itu pilihannya, bukan Alya. Raga yang dia tempati hanyalah sebagai sarana jiwanya berperilaku. Sekalipun Raisa ingin berhenti bekerja bahkan memutus hubungan dengan Ardan, bisa saja perempuan itu melakukannya.
"Kok terserah Ardan? Kan kamu yang cewek." Santi menjawab setelah lama diam, dia tadi memperhatikan wajah menantunya yang lucu menahan gejolak malu, yang begitu kentara. "Ingat yaa, ini tubuh kamu. Ardan mah gampang dia, kamunya yang susah mengandung."
Raisa tidak menjawab, dia justru mengalihkan pembicaraan. "Ibu selanjutnya mau rencanain apa buat berbaikan dengan Ardan? Rencana 'mengalah' nya mau yang seperti apa?"
Santi perhatiannya langsung ikut teralih juga mendengar pertanyaan Raisa. Dia membalas, "Bantuin dia buat capai apa yang dia mau soal karirnya dulu."
Raisa mengangguk paham.
"Ibu minta tolong sama kamu ya, Al, buat cari tahu apa yang mau dia capai, yang sebenernya." Raisa ragu untuk menjawab iya, sebab dia sendiri tahu bagaimana hubungan sosok dari raga Alya dengan Ardan. Dan karena dia rasa jika menerima tawaran itu akan membuatnya kesulitan, tetapi jika dipikir ulang itu mungkin bisa menjadi jembatan baru untuknya dapat lebih memperlancar rencananya sendiri yaitu membuat Ardan mencintai seorang Alya.
"Alya usahain ya, Bu." Raisa menjawab mantap.
...****************...
"Hoiii!! Berseri banget keliatannya yang abis bolos tiga hari!"
Devan datang dari belakang Raisa dan merangkul bahu gadis itu dengan bersahabat. Mulut lelaki itu sibuk membentuk gelembung kecil dari kunyahan permen karet kemudian memecahkannya selepas berhasil berada di sisi Raisa.
Selepas bercakap sebentar dan menghabiskan sarapan bersama Santi, Raisa segera berpamitan dengan mertuanya tersebut untuk pergi bekerja.
Kondisi hatinya pagi ini ringan. Tidak membawa beban apapun.
"Iya, dong!" Raisa berseru sembari menurunkan tangan Devan dari bahunya.
"Temen-temen kamu kangen sama kamu katanya. Aku juga, sih." Devan tertawa setelah menyelesaikan kalimatnya. "Btw, ini kita satu ruang pemotretan lagi, bareng tiga temen lo tuh." Lelaki itu menggiring Raisa keruangan tempat mereka melakukan sesi foto hari ini. Sedangkan Raisa hanya menurut saja.
Sesampainya di ruangan, ketiga temannya yang sedang mengobrol ria langsung berhamburan untuk memeluknya ketika melihat dia datang bersama Devan.
"Aaakkkhhhh!! Akhirnya cewek gue berangkat jugaaa!!!" Yura yang pertama heboh.
"Finally, Al. Kita satu sesi pemotretan!" Kali ini Yura yang berbicara. Gadis cantik itu memeluknya dengan penuh ketenangan.
Kemudian ketika giliran Mita yang menyambutnya, perempuan itu menyempatkan untuk menjitak Raisa, yang tentu saja menimbulkan protes.
"Kenapa, sih, hape lo nggak bisa dihubungin? Kena semprot gue pas nelepon kemarin, takuttt."
Mendengar alasan mengapa Mita menjitaknya Raisa tidak jadi lanjut ngedumel, dia malah menertawakan wajah Mita yang cemberut sebal.
"Hahaha, sukurin. Berani banget sih."
"Iya, Al! Hahaha, misal lo kemarin liat, muka Mita pucet banget asli!" Yura menambahkan api.
"Halah, elo aja sampe gemeter pas ngangkat sendok!" Laura mengejek Yura.
"Ngaca, Neng. Elo juga!"
Di sampingnya, Devan yang tidak tahu menahu soal apa yang sedang mereka berempat bicarakan mencoba menyimak terlebih dahulu, siapa tahu akan mendapat jawaban dengan sendirinya. Tetapi karena tak kunjung dapat pencerahan dia beranikan diri untuk menyela.
"Bicara apa, sih? Hape-nya Alya emang kenapa?"
"Kepo banget, sih." Mita menjawab dengan nada candaan. "Bisa bantuin emang kalau lo ikut dalam pembicaraan kita?" lanjutnya.
Devan tanpa pikir langsung mengangguk. "Hape kan? Maunya gimana? Dibeliin? Atau diservice?"
Baik Mita, Yura, dan Laura saling tatap. Mereka bersamaan melihat ke arah Raisa dengan kedipan menggoda sedangkan yang ditatap menuntut jawab atas perilaku mereka.
"Kenapa?" tanya Raisa.
"Itu nggak mau dimanfaatin? Kayaknya siap." Yura terbahak-bahak selepas mengucapkannya.
"Aduhhh mulutnya yang ngomong." Raisa menggeleng-geleng tak kuasa melihat kelakuan teman Alya tersebut. Dia lalu beralih ke Devan yang masih menuntut jawaban.
"Nggak usah dihirauin ya, maafin emang pada nggak jelas semua."
"Emang hape lo kenapa?"
"Nggak kenapa-kenapa, lupa naroh aja."
"Nggak coba dicari?"
"Udah dicariin tapi nggak ketemu," jawab Raisa sekenanya.
"Mau coba gue bantu?"
"Nggak perlu."
"Mau beli baru?"
"Nggak juga, sih. Gue nggak begitu butuh ponsel."
Keduanya asyik berbicara sampai-sampai menimbulkan dehaman kuat dari Mita. Dia terkekeh kecil. "Ayo, guys, minggir. Mereka berdua asyik sendiri."
"Hehhh, jangan ninggalin gue!" Raisa protes, dia segera mengejar ketiga perempuan itu yang masih cekikikan.
Devan dari tempatnya menggeleng kecil. Dia memperhatikan Raisa yang berusaha memisahkan rangkulan Mita, Yura, dan Laura sehingga dia bisa menyempil di antara mereka.
"Tapi kan gue di sini, nggak ikut ninggalin?" celetuknya pelan.
...****************...