Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Titik Balik Swan Xin.
Gema suara itu perlahan larut ke dalam bisikan angin malam, meninggalkan keheningan yang memekakkan telinga. Swan Xin berdiri membeku, tubuh mungilnya bergetar di tengah udara gunung yang dingin. Tangan keriput yang bertengger di bahunya terasa hangat, satu-satunya jangkar di dunia yang baru saja terbalik.
“Mari masuk, Nak,” kata Guru Besar Wen. Suaranya tenang, tidak mendesak, seolah berbicara pada seekor rusa yang ketakutan. “Malam ini panjang dan dingin. Kamu butuh istirahat.”
Ia tidak bergerak. Matanya terpaku pada kegelapan tempat Prajurit Bayangan itu menghilang.
“Dia akan kembali?” tanya Swan, suaranya serak.
“Pada saatnya,” jawab Guru Besar Wen singkat. Ia dengan lembut menuntun Swan menuju sebuah pondok kecil yang tersamarkan di antara pepohonan pinus. Asap tipis mengepul dari cerobong batunya, menjanjikan kehangatan.
Pintu kayu berderit pelan saat dibuka. Di dalamnya, perapian menyala dengan riang, menebarkan cahaya jingga ke seluruh ruangan yang sederhana namun bersih. Hanya ada satu meja, dua kursi, dan sebuah tempat tidur yang dilapisi selimut bulu tebal. Bau kayu pinus yang terbakar dan aroma teh herbal yang samar memenuhi udara. Kontras yang menyakitkan dengan bau darah dan hangus yang masih menempel di indranya.
“Duduklah di dekat api,” ujar Guru Besar Wen. Dia bergerak tanpa suara, menuangkan teh panas dari poci tanah liat ke dalam sebuah cangkir. “Minumlah. Ini akan menenangkanmu.”
Swan duduk di atas bantal di depan perapian, tetapi ia tidak merasakan kehangatannya. Ia hanya menatap api yang menari-nari, melihat wajah Ayahnya, Ibunya, dan Jenderal Zen dalam kilatan apinya. Ia memeluk lututnya erat-erat.
“Aku tidak haus,” gumamnya.
Guru Besar Wen meletakkan cangkir itu di atas meja kecil di sampingnya. “Baiklah.” Pria tua itu tidak memaksanya. Dia duduk di seberang Swan, diam-diam menemaninya menatap api.
Keheningan berlalu. Entah berapa lama. Mungkin satu jam, mungkin hanya beberapa menit. Waktu terasa berhenti bagi Swan.
“Kenapa aku dibawa ke sini?” tanya Swan akhirnya, tanpa mengalihkan pandangan dari api.
“Karena ini adalah satu-satunya tempat yang aman untukmu,” jawab Guru Wen.
“Aman untuk apa?” Nada suara Swan menajam, diwarnai kepahitan yang tak semestinya ada pada anak seusianya. “Untuk hidup? Kenapa aku harus hidup?”
“Untuk sebuah alasan yang lebih besar dari dirimu sendiri,” sahut Guru Wen tenang. “Kaisar sendiri yang menitahkannya.”
“Kaisar?” Swan tertawa, suara tawanya kering dan rapuh. “Kaisar yang memerintahkan Jenderal Zen membunuh Ayahku? Kaisar yang menyebut keluargaku pengkhianat?”
“Terkadang,” ujar Guru Wen pelan, “apa yang terlihat dan terdengar di istana adalah kebohongan yang paling besar. Kaisar sedang sakit, Nak. Kekuasaannya dilemahkan oleh para serigala yang menyamar sebagai anjing setia. Jenderal Zen dan sekutunya bertindak di luar perintahnya, menggunakan nama titah kekaisaran sebagai tameng.”
Swan akhirnya menoleh, menatap wajah tua itu dengan mata yang memerah. “Aku gak percaya.”
“Kamu tidak perlu percaya sekarang,” kata Guru Besar Wen. Dia bangkit dan berjalan menuju dapur kecil. “Tapi suatu hari nanti, kamu akan mengerti.”
Ia kembali dengan semangkuk bubur hangat yang mengepul. “Sekarang, makanlah.”
“Aku bilang, aku gak mau!” sentak Swan, mendorong keras mangkuk itu hingga hampir tumpah.
Guru Besar Wen tidak terkejut. Dia meletakkan mangkuk itu kembali ke atas nampan. “Baiklah. Kalo begitu tidurlah. Kau pasti sangat lelah.”
Selama tiga hari berikutnya, rutinitas itu berulang. Guru Besar Wen akan menyajikan makanan dan teh, berbicara dengan nada lembut, dan menceritakan kisah-kisah lama tentang pahlawan dan filsuf. Dan Swan, ia akan menolak semuanya. Ia tidak makan. Ia hampir tidak minum. Ia hanya duduk di depan perapian pada siang hari dan berbaring di tempat tidur pada malam hari, membiarkan kebencian dan kesedihan menggerogoti dirinya dari dalam. Tubuhnya semakin lemah, tapi tatapan matanya semakin tajam dan kosong.
Pada pagi hari keempat, Guru Besar Wen tidak lagi menawarkan makanan. Dia hanya duduk di hadapan Swan, tatapannya tajam dan menusuk.
“Jadi, ini pilihanmu?” tanyanya. Suaranya tidak lagi lembut, melainkan datar dan dingin.
Swan tidak menjawab.
“Kau memilih untuk mati perlahan-lahan di sini? Menyerah pada kelaparan?” Guru Wen melanjutkan. “Membiarkan Jenderal Zen dan para pembunuh Ayahmu tertidur nyenyak setiap malam, sementara kau membusuk dalam kebencianmu sendiri?”
“Memangnya apa lagi yang bisa aku lakukan?” balas Swan getir, suaranya pecah. “Aku hanya anak kecil!”
“Benar sekali,” sahut Guru Wen. “Kau hanya anak kecil yang lemah dan menyedihkan. Kau ingin mati, kan? Gampang sekali. Pintu itu tidak dikunci. Hutan di luar sana penuh dengan serigala. Itu cara mati yang lebih cepat daripada kelaparan. Ayahmu pasti akan sangat ‘bangga’ melihat putrinya berubah menjadi pengecut yang lari dari kehidupan.”
“Aku bukan pengecut!” jerit Swan, untuk pertama kalinya ia meninggikan suara. Amarah yang telah lama terpendam akhirnya meledak. Ia berdiri, tubuhnya gemetar karena lemas dan emosi. Raungan seekor singa betina yang terluka.
“Oh, ya?” Guru Wen mengangkat alis. “Lalu apa namanya ini? Bersembunyi di balik kesedihanmu? Membiarkan musuhmu menang tanpa perlawanan? Itu definisi pengecut, Nona Swan Xin.”
“Aku akan balas dendam!” pekik Swan, air mata akhirnya mengalir deras di pipinya. “Aku akan membunuh mereka semua! Aku akan membunuh Jenderal Zen!”
“Dengan apa?” cibir Guru Wen. “Dengan air matamu? Dengan tubuh kurusmu yang bahkan tidak kuat untuk berdiri tegak? Kemarahanmu itu tidak ada artinya, Nak. Itu liar, buta, dan hanya akan menghancurkan dirimu sendiri.”
Swan Xin terisak, sesenggukan, tubuhnya merosot kembali ke lantai. “Lalu aku harus gimana?” isaknya putus asa.
Guru Besar Wen akhirnya berdiri. Raut wajahnya kembali melembut. Ia berjongkok di hadapan Swan. “Kemarahan itu seperti api. Jika kau biarkan liar, ia akan membakarmu sampai menjadi abu. Tapi… jika kau bisa mengendalikannya, jika kau bisa menempanya di dalam tungku disiplin dan strategi, api itu bisa menjadi baja paling tajam di seluruh kekaisaran.”
Pria tua itu mengulurkan tangannya. “Itulah yang akan kita lakukan di sini. Aku tidak akan mengajarimu cara bersedih. Aku akan mengajarimu cara mengubah rasa sakitmu menjadi senjata.”
“Senjata?” ulang Swan bingung.
“Kau tidak akan membalas dendam dengan amarah buta seorang anak,” jelas Guru Besar Wen. “Kau akan menuntut keadilan dengan pikiran dingin dan pedang tajam seorang pejuang. Kau adalah putri jendral Xin, Jendral besar di istana Utara. bukan wanita biasa yang lemah. Darah jendral mengalir dalam tubuh putri kesayangannya. Itulah permintaan rahasia Kaisar kepadaku. Itulah warisan yang harus kau emban.”jelas Guru Besar Wen sabar dan lembut, namun ada ketegasan, disiplin dan kekuatan serta motivasi yang membakar seluruh darah di pembuluh nadi Swan Xin.
Ia bangkit dan berjalan ke sudut ruangan, membuka sebuah peti kayu yang tersembunyi di bawah tumpukan kain. Ia mengeluarkan sebuah benda yang terbungkus sutra biru tua. Ia meletakkannya dengan hati-hati di atas meja.
“Prajurit Bayangan itu tidak hanya menyelamatkanmu,” ujarnya pelan. “Ia juga menyelamatkan ini.”
Dengan satu gerakan, ia menarik kain sutra itu.
Napas Swan tercekat di tenggorokannya. Di atas meja, tergeletak sebilah pedang *jian* yang sangat ia kenali. Gagangnya terbuat dari giok putih, diukir dengan gambar naga yang meliuk, dan bilahnya yang terbuat dari baja lipat terbaik memantulkan cahaya api perapian dengan kilau yang mematikan. Itu adalah Pedang Naga Langit Abadi, pedang milik ayahnya. Senjata yang sama yang telah memenangkan puluhan pertempuran untuk dinasti.
Swan perlahan bangkit. Ia berjalan mendekati meja itu seolah tersihir. Jemarinya yang gemetar terulur, menyentuh gagang giok yang dingin. Yang besar dan berat bagi Swan Xin yang masih berusia sepuluh tahun. Pada saat itu, terkenang semua kenangan tentang ayahnya menyerbu masuk: tawa hangatnya, lengannya yang kuat saat menggendongnya, dan tatapan bangganya saat ia pertama kali berhasil mengangkat pedang kayu. Semua itu terasa begitu dekat, namun juga begitu jauh. Rasa sakit yang tajam menghantam dadanya, tetapi kali ini berbeda. Dicampur dengan kehangatan. Dengan kekuatan.
Guru Besar Wen memperhatikannya dalam diam.
Swan menarik napas dalam-dalam. Ia mengangkat kepalanya. Air mata sudah berhenti mengalir, digantikan oleh kilatan baja di matanya yang masih kekanakan. Punggungnya yang tadi membungkuk karena duka, kini perlahan-lahan mulai tegak. Lurus dan kokoh. Ia memutar tubuhnya, menghadap Guru Besar Wen, tatapannya mantap dan tak tergoyahkan....
trmkash thor good job👍❤