NovelToon NovelToon
BAKSO KALDU CELANA DALAM

BAKSO KALDU CELANA DALAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Selingkuh / Playboy / Penyesalan Suami / Mengubah Takdir
Popularitas:310
Nilai: 5
Nama Author: Mama Rey

Sri dan Karmin, sepasang suami istri yang memiliki hutang banyak sekali. Mereka menggantungkan seluruh pemasukannya dari dagangan bakso yang selalu menjadi kawan mereka dalam mengais rezeki.
Karmin yang sudah gelap mata, dia akhirnya mengajak istrinya untuk mendatangi seorang dukun. Lalu, dukun itu menyarankan supaya mereka meletakkan celana dalam di dalam dandang yang berisikan kaldu bakso.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RENTENIR

"Eh, Sri ... itu di dalam dandang kok tadi ada yang kerasa nyerimpet ya? Apakah pentol? Apakah gajih? Atau ... plastik bungkus pentol yang gak sengaja ikutan masuk ke dalam dandang?" Sulis mengernyitkan kening.

Janda itu memang selalu mencari-cari topik untuk bahan mencibir atau menciptakan bahan ejekan. Dia adalah biang gosip di kampung.

"Kamu ini ngomong opo thoo, Lis?" Sri mendengkus. "Itu balungan! Tulang sapi biar menyedapkan kuah. Paham kaldu, kan?" gerutunya dengan tatapan tajam.

"Hehehe. Iya, iya, Sri. Aku kan cuma nanya. Dih, sensitip amat sih? Semalam kagak dikasih jatah yeee sama Bang Karmin?" Janda beranak satu itu kian mencibir.

"Bukan urusan kamu! Jangan sok tau!" Sri mulai nampak esmosi. Wajahnya nampak merengut hingga mengkerut.

"Yeee, Bang Karmin itu suka body yang mini, Sri. Kalau kamu gembrot bengini, dia pasti ogah diajak main kuda-kudaan. Karena kudanya kegedean, jadi ngos-ngosan. Hahahah." Sulis tergelak. Semua pembeli bakso pun sontak menoleh.

"Tahu dari mana kamu kalau Mas Karmin suka bodi mini? Buktinya dia fine-fine aja kok dengan kegembrotanku ini!" Sri menyeringai.

"Ya elah, Sri. Body kamu ini memang kegedean. Diajak jalan-jalan atau foto-foto juga kurang bagus. Bang Karmin pasti malu punya istri se-gede tugu di balai kota, wakakak," cibirnya.

"Dih kayak bodimu bagus ajaaa!" Wanita gemuk itu masih melawan.

"Laaah? Matamu juling atau bithooorr? Bodyku ini kan memang bagus. Emak-emak anak satu masih seksoy nih. Senggol dong! Hahahaha." Sulis tergelak lepas.

[Bithor; Buta]

Sri menghela nafas sebal. Ingin rasanya dia langsung menampol mulut Sulis dengan penutup dandang. Tapi ia sadar, ada banyak pelanggan yang sedang menunggu bakso mereka dibungkus. Dia harus menahan emosi agar tidak terjadi keributan.

"Ini baksone, Sum. Dua puluh bungkus, Yo." Sri menyodorkan sekantong besar pesanan bakso pelanggannya.

"Oyi, Sri. Berapa totalnya?" Sumarni, pegawai pabrik itu segera membuka dompetnya.

"Sepuluh bungkus bakso komplit lima belas ribu-an. Sepuluh bungkus cuma pentol dan tahu, jadi dua belas ribuan. Lontong 5 biji, lima rebu. Total 150 rebu plus 120 rebu plus 5 rebu. 275 rebu, Sum."

"Oyi, Sri." Sumi memberikan tiga lembar uang ratusan ribu, dan Sri segera memberinya kembalian.

Sri melirik sesaat ke arah Sulis yang sedang menikmati pentol jumbo di hadapannya. Ternyata, ucapan Sulis tadi masih terngiang-ngiang di telinga wanita gemuk itu.

"Apa? Gembrot? Dia bilang aku gembrot? Apakah benar Mas Karmin gak suka bodi gembrot? Apakah itu alasannya kenapa dia tidak mau kuajak bermain semalam?" Sri mulai sebal dengan dirinya sendiri.

Alih-alih ingin menepis ucapan yang keluar dari mulut Sulis, Sri malah terbawa suasana dan mulai baper dengan sendirinya. Sebal memang, dikatakan mirip dengan gapura kecamatan atau gapura balai kota adalah hal lumrah yang seakan sudah menjadi rutinitas bagi Sri untuk mendengarkan hal itu dari mulut beberapa manusia di sekitarnya.

Pikiran wanita itu semakin melanglang buana hingga ia mulai menghubungkan dengan perilaku sang suami. Sri mulai mengotak-atik setiap kejadian hingga muncullah teori cocoklogi yang sebenarnya sangat cocok.

"Aku baru ingat, belakangan ini Mas Karmin sangat susah sekali jika diajak bermain kuda-kudaan. Dia selalu beralasan capek. Huuuh!" Wanita gemuk itu mendesah lelah. Dia mengingat lagi bagaimana Karmin belakangan ini sering menolak ketika diajak memadu kasih oleh pasangan halalnya itu.

"Mungkinkah dia bosan karena aku gembrot?" dengusnya sambil berdiri menghadap gerobak baksonya.

"Dek, kok melamun? Pembeli banyak tuh. Ayo bantuin. Itu pelanggan di meja 2 pesen es degan (kelapa muda)." Karmin mengagetkan istirnya yang sedang bengong.

"Heeemmm." Tanpa menyahuti apa pun, Sri hanya mengangguk setuju dan langsung melanjutkan pekerjaannya.

Melihat banyaknya pembeli yang sedang antri, baik yang makan di tempat atau pun yang take away alias dibawa pulang, Sri mengurungkan niatnya untuk mengomel kepada sang suami atau pun menanyakan perihal penilaian Karmin tentang tubuh gembrotnya.

"Bang Karmin ... mau bayar dong," teriak Sulis seraya berdiri dari kursinya dan menghampiri Karmin yang sedang sibuk berdiri di depan gerobak bakso.

"Apa aja, Lis?"

"Bakso jumbo, tambah mie putih, bakso goreng, es teh manis." Suara Sulis terdengar begitu manja dan meliuk-liuk seperti orang yang sedang nyinden.

"Sepuluh ribu saja, Lis." Karmin tersenyum ramah.

"Woi cantolan dandang! Mana ada? Pentol jumbo 10 rebu, tambah mie dan bakso goreng jadi 13 rebu, es teh 2 rebu. Total 15 rebu!" Sri segera mengkoreksi total uang yang harus dibayarkan oleh Sulis.

"Dih, ya ampun ... pelit amat jadi orang? Sedekah kek sama janda. Gak punya hati nurani yee, sama janda aja pelit." Sulis mendengkus.

"Orang gendut itu sedekahnya harus gendut juga. Biar pahalanya juta gendoot. Jangan badan aja yang gendott!" kelakarnya.

"Dari pada sedekah sama umak, lebih baik aku sedekah kepada mbok-mbok fakir miskin di kampung." Bibir Sri mencebik gemas.

[Umak \= Kamu]

"Dih, belum kaya aja udah sombong. Nanti kalau udah kaya pasti tambah kikir, bakhil, medit, pahiiittt!" Sulis terkekeh.

"Cepet bayar!" Sri langsung memangkas cibiran Sulis dengan tatapan tajam.

Dia dan Sulis memang tidak pernah akur. Namun meski pun demikian, Sulis masih tetap datang ke warung bakso Karmin setiap hari, karena Karmin selalu memberikan harga diskon kepada janda itu. Apa pun yang dimakan Sulis, Karmin selalu mematok harga 10 rebu dengan alasan harus bersedekah kepada janda.

Apakah yang sebenarnya terjadi? Benarkah Karmin hanya mengasihani Sulis karena statusnya yang merupakan seorang janda beranak satu sekaligus sebagai tulang punggung?

"Sudahlah, Dek. Lha wong cuma selisih lima ribu. Jangan ribut, jangan pelit, biar rejeki tidak sulit." Karmin berbisik di telinga istrinya. Dia mencoba menenangkan wanitanya itu.

"Gak, gak bisa! Bayar sesuai aturan! Pembeli lain jadi kasihan dong kalau kamu cuma ngasih kortingan kepada janda gatal ini!" Mata Sri membeliak lebar dengan ekspresi judes.

"Kalau kamu memang niat sedekah, kasih juga pelanggan yang lainnya patokan harga setara, sepuluh ribu! Biar afdhol! Kali aja setelah itu kamu terpilih menjadi lurah di pilihan kades mendatang karena kamu sering sedekah sama tetangga," kelakarnya.

"Jangan begitu lah, Dek. Kalau Sulis ini kan membesarkan anak yatim. Kita harus menjadi tetangga yang tanggap dan peka. Kita ini harus—"

"Dah lah basi! Malas dengarnya! Pokoknya Sulis harus bayar dengan harga normal. Titik!" Wanita gemuk itu menyeringai.

"Woi, dasar karung beras Bulog! pelit amat jadi orang! Kalau mati mau berangkat sendiri ke kuburan? Haaah? Ah ya, kamu memang harus berangkat sendiri, sih. Karena badan kamu itu kayak tugu kecamatan, hahahah. Jadi kerandanya kagak muat. Para warga gak akan kuat memikul kerandamu!" Sulis tergelak.

"Aku tidak akan mati sebelum langsing! Paham?" Sri tergelak. Dia masih bisa menimpali ejekan-ajakan dari mulut Sulis yang terdengar sarkas.

Sri memang pantang kalah. Dia tidak bisa dengan mudah dikalahkan, apalagi dalam hal cibir-mencibir. Mentalnya sekuat baja meskipun kadang kala ia sering mendapatkan perlakuan tidak sopan dari beberapa orang yang merasa tubuhnya lebih ramping dari milik wanita gemuk itu.

"Wakakaka. Langsing? Karung goni macam ini mana bisa langsing?" Sulis terkekeh-kekeh.

"Jangan ngimpi! Sampai Gunung kidul pindah ke ujung timur pun, kamu tidak akan pernah langsing! Sampai Pak Soeharto bangkit dari kubur pun, kamu tidak akan pernah langsing," cibirnya lagi.

"Eheeemm! Ada apa ini? Kok Sulis kayaknya lagi happy amat?"

Sulis pun langsung terdiam saat menyadari siapa yang berdehem di belakangnya.

"Eh, Jeng Bawon?" ucapnya dengan tawa kuda tanpa suara. Kedua pipinya langsung merona saat melihat wajah Bawon.

"Hayo, bayar setoran. Angsuranmu sudah nunggak 2 hari!" Bawon, rentenir di kampung yang terkenal sangat kejam dalam memberikan bunga terhadap pinjaman itu pun kini berdiri dengan begitu garang di depan Sulis.

"Ijin telat ya, Won. Lagi gak ada duit." Sulis tersenyum-senyum sok manis. Tak lupa ia memasang tampang memelas. Dia memohon untuk diberi tanggat waktu, karena ia belum memiliki uang untuk mencicil angsurannya yang menumpuk.

Para pembeli bakso yang rata-rata sudah paham sepak terjang Sulis dan juga pekerjaan Bawon itu, hanya menggeleng keheranan. Adalah hal lumrah bagi mereka untuk melihat Bawon yang menagih di sembarang tempat.

"Denda berjalan lho ya! Sehari denda 10 rebu per 1 juta. Tinggal kalikan saja!" Bawon nampak mencatat sesuatu di bukunya yang sangat tebal lalu mengarahkan ujung bolpoin ke hadapan Sulis.

"Kloter-kloter pinjamanmu ada banyak. Kerja yang bener! Jangan grepe-grepe sama laki orang terus! Besok harus ada cicilan masuk. Kalau tidak ada ... aku akan menyita tv-mu!" Tukang pemberi hutang itu pun terdengar memberi penekanan di setiap ucapannya.

"Baik, Won. Jangan esmoni terus. Aku kagak jadi jurig, kok. Aku masih ada di sini, tidak kabur kayak para penghutang lainnya. Paling tidak, aku ini masih ada itikad baik." Sulis berbicara dengan suara parau lalu menggeser kakinya perlahan.

"Ya memang belum jadi jurig, tapi kamu mulai meresahkan! Kamu calon JURIG! BAHAYA!" Lagi, Bawon mendengkus.

[Jurig dalam arisan atau utang piutang adalah orang yang kabur setelah menerima pinjaman dan tidak mau membayar hutang. Selalu menghilang seperti setan atau jurig yang sulit ditemukan.]

Mendengar omelan dari Bawon, Sulis pun mulai mundur perlahan untuk menciptakan jarak sejengkal demi sejengkal, hingga ia berhasil keluar dari warung bakso Karmin dengan bibir mecucu.

Bawon mendesah lelah melihat kelakuan nasabahnya itu. "Dasar janda kere!"

"Sri, bayar, Sri," tandasnya.

Tanpa banyak bicara, Sri langsung membuka kotak uang di gerobak baksonya dan langsung menyodorkan empat lembar uang 100 ribuan.

"Nah, bagus. Gini dong ... kan manis. Bayar rutin setiap hari biar utangnya lekas lunas, tidak perlu memberi alasan seperti si Sulis gila itu." Bawon tertawa senang sambil mencatat angsuran Sri di buku tebalnya.

"Ngomong-ngomong ... dua minggu ini pembayaran angsuranmu sangat tepat waktu sekali. Kamu dapat uang dari mana, Sri?" Rentenir itu memicing.

"Wes, Ojo nyocot! Yang terpenting adalah ... aku bisa membayar angsuran secara rutin tanpa nunggak. Jadi kamu nggak usah mengurusi dari mana uangku berasal. Heheheh," kata istri Karmin itu.

[Ojo nyocot \= Jangan banyak bacot!]

"Yang terpenting lagi, aku tidak mengambil atau mencuri hartamu untuk mencicil angsuran ini!" dengusnya.

"Ya elah, Sri. Gitu aja kok marah sih? Aku kan cuma nanya, dari mana kamu dapat uang? Dih, gitu aja baper." Bawon mencebik.

"Bukankah kamu sudah melihat dengan jelas? Uangku ya berasal dari dagangan bakso. Mau dari mana lagi?" tandasnya.

"Ah, iya. Belakangan ini kulihat baksomu memang laris manis, sepertinya ramai sekali pengunjungnya. Apakah Kamu memakai sejenis penglaris?" Bawon mencebik. Bola matanya berputar-putar seakan menuntut jawaban yang memuaskan dari mulut Sri.

Sri mencebik, dia harus mencari jawaban yang tepat sasaran.

"Penglarisan di dukunku itu  agak susah, Won. Demitnya meminta tumbal berupa seseorang yang punya banyak uang, terus suka ngasih pinjaman kepada tetangga dengan bunga mencekik. Nah, kata dukunku ... itu bisa dijadikan tumbal. Maka dari itu, kalau kamu mau memberiku saran untuk memasang penglarisan atau pesugihan, maka dengan senang hati aku akan mengajukanmu sebagai tumbal. Gimana? Hahahah." Sri tergelak puas.

"Asemmm!" Mendengar hal itu, Bawon pun memasang wajah masam dan segera berjalan keluar dari warung itu.

"Halah emboh, Sri. Wes ojo nggedabrus (banyak bicara) ...! Besok aku datang lagi untuk menagih angsuran selanjutnya. Awas kalau telat!" dengusnya.

"Oyi, Won. Oyi!" Sri terkekeh.

"Dasar Sri gila! Bisa-bisanya dia berkata begitu. Dia kira aku ini apaan? Tumbal nganggur?" Bawon mendengkus.

"Kamu bukan tumbal nganggur, Won. Tapi ... kamu itu tumbal pemakan darah!"

"Darahnya sopo, Sri?" Bawon menoleh ketus.

"Ya darah nasabahmu, lah ... wakakaak." Sri masih tergelak.

"Dasar rentenir pemakan darah!" cibirnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!