NovelToon NovelToon
Cinta Dua Bersaudara

Cinta Dua Bersaudara

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Tamat
Popularitas:93
Nilai: 5
Nama Author: Siti Gemini 75

Di Kota Pontianak yang multikultur, Bima Wijaya dan Wibi Wijaya jatuh hati pada Aisyah. Bima, sang kakak yang serius, kagum pada kecerdasan Aisyah. Wibi, sang adik yang santai, terpesona oleh kecantikan Aisyah. Cinta segitiga ini menguji persaudaraan mereka di tengah kota yang kaya akan tradisi dan modernitas. Siapakah yang akan dipilih Aisyah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Luka Yang Menganga

Hari-hari di gudang Warna Warni Nusantara terus berlanjut. Setiap pagi, Abi tiba tepat waktu, memakai baju kerja yang rapi, dan langsung mulai bekerja. Ia mengerjakan tugas-tugasnya dengan tekun menyortir kain, mencatat stok, membersihkan gudang selalu berusaha memberikan yang terbaik. Selama bertahun-tahun, ia hanya melihat batik sebagai produk untuk dijual, tapi sekarang ia belajar banyak tentang sejarah di balik setiap motif: parang yang melambangkan kekuatan, truntum yang melambangkan kebersatuan, ceplok kembang sepatu yang melambangkan keberanian. Ia juga melihat kerja keras para pengrajin tangan mereka yang penuh tinta dan goresan, tapi tetap terampil menciptakan karya indah.

Ia bahkan berhasil menciptakan sistem penyimpanan yang lebih efisien: membagi kain berdasarkan motif, warna, dan jenis, sehingga mudah dicari dan tidak ada lagi yang hilang. Ketika Andini dan Pramudya melihatnya, mereka memberikan pujian. "Kamu hebat banget, Bi! Ini bikin operasional kita jauh lebih cepat," kata Andini dengan senyum. Pramudya juga mengangguk setuju. "Iya, kerja kerasmu terlihat."

Namun, meskipun mendapatkan pujian, dan meskipun para pengrajin mulai menghormatinya bahkan ada yang menyapa dia dengan senyum setiap hari Abi tetap merasa seperti orang luar. Ia selalu berada di pinggiran rapat tim, hanya mendengar tanpa berbicara. Setiap kali ia melihat Andini dan Pramudya bekerja sama di meja kerja mereka, saling bertukar ide tentang desain baru atau strategi penjualan, dan saling mendukung ketika ada masalah, hatinya terasa sakit seperti ditusuk jarum. Ia tahu, ia tidak akan pernah menggantikan posisi Pramudya di hati Andini mereka adalah pasangan yang sempurna, yang memahami satu sama lain tanpa perlu banyak bicara.

Selain itu, pekerjaan di gudang terasa semakin membosankan. Abi merasa bakat dan kemampuannya di bidang pemasaran dan desain tidak dimanfaatkan dengan baik. Ia memiliki ide-ide kreatif: membuat koleksi batik modern yang menggabungkan motif tradisional dengan warna kekinian, mengadakan lokakarya batik untuk anak muda, atau membuka toko online yang lebih menarik. Tapi setiap kali ia mau menyuarakannya, ia merasa takut ditolak atau lebih parah, ditertawakan. Ia merasa tidak dihargai dan tidak dianggap penting, seolah hanya layak untuk bekerja di gudang dan tidak lebih dari itu.

Suatu sore, setelah seharian bekerja keras membersihkan tumpukan kain yang tertutup debu, Abi merasa lelah sampai tulang. Ia keluar dari kantor dan berjalan ke tepi sungai Brantas, yang jaraknya tidak jauh. Ia duduk di bangku taman yang tua, memandangi air sungai yang mengalir dengan lambat. Udara sore terasa lembap, bau bunga melati dari taman di dekatnya. Ia merasa frustrasi dan tidak berdaya. "Apakah ini yang aku inginkan?" tanyanya pada diri sendiri dengan suara pelan. "Apakah aku ingin menghabiskan sisa hidupku menyortir kain batik di gudang ini, melihat orang lain mengejar mimpi mereka?"

Tiba-tiba, ia teringat pada mimpi-mimpinya saat muda: ingin menjadi pengusaha sukses, menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang, dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Ia ingin membangun sesuatu yang miliknya sendiri, sesuatu yang bisa ia banggakan. Ia menyadari, ia tidak bisa mencapai itu jika terus berada di Warna Warni di sini, ia hanya akan selalu menjadi "Abi yang pernah mengkhianati prinsip", tidak pernah bisa bangkit dari bayang-bayang masa lalu.

Abi memutuskan untuk mengambil langkah berani.

Keesokan harinya, ia menghadap Andini dan Pramudya di kantor mereka. Jemarinya gemetar, tapi suaranya tetap mantap. "Aku ingin mengundurkan diri dari Warna Warni Nusantara," ujarnya.

Andini dan Pramudya tampak terkejut. Wajah Andini memutih, sedangkan Pramudya memejamkan mata sebentar. "Kenapa, Bi? Apakah ada yang salah? Apakah kita kurang memperlakukanmu baik?" tanya Andini dengan nada sedih.

"Ada apa-apa, Kak. Kalian sudah sangat baik padaku," jawab Abi dengan tulus. "Aku menghargai kesempatan yang kalian berikan, sudah belajar banyak hal di sini, dan akan selalu berterima kasih atas dukungan kalian. Tapi, ini saatnya bagiku untuk move on dan mengejar mimpi-mimpiku sendiri. Aku tidak bisa terus tinggal di sini dan meratapi apa yang sudah lewat."

Mereka mencoba membujuknya agar tetap, tapi Abi sudah membulatkan tekad. "Kami mengerti, Bi," kata Andini sambil menahan air mata. "Kami menghargai keputusanmu. Semoga yang terbaik untukmu di jalan yang akan kamu tempuh." Pramudya berdiri dan menepuk bahu Abi dengan simpatik. "Jangan lupakan kami, ya. Kamu akan selalu menjadi bagian dari keluarga Warna Warni Nusantara, meskipun kamu tidak bekerja di sini lagi."

Abi tersenyum tulus. "Aku tidak akan pernah melupakan kalian. Kalian adalah sahabat terbaik yang pernah aku punya."

Setelah berpamitan, ia mengemasi barang-barangnya di kantong tas dan meninggalkan kantor yang telah menjadi rumahnya selama bertahun-tahun. Udara sore Surabaya terasa lebih dingin dari biasanya, seolah ikut merasakan kegelisahan dan kesedihan dalam hatinya. Kakinya membawanya tanpa sadar ke tepi sungai Kalimas, tempat ia sering merenung saat dilanda masalah. Duduk di bangku taman yang menghadap sungai, ia memandangi perahu-perahu kecil yang hilir mudik di atas air yang beriak. Lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, memantulkan cahaya ke permukaan air yang hitam. Ia merasa seperti perahu itu terombang-ambing di tengah arus kehidupan, tidak tahu ke mana arahnya, mencari pelabuhan yang aman.

Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya. Ia membuka aplikasi pencari kerja dan mulai mencari lowongan yang sesuai dengan minat dan kemampuannya pemasaran, manajemen, atau desain. Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan, tetapi ia siap untuk mencoba segala sesuatu. Saat itu, ponselnya berdering. Ia melihat nama ibunya tertera di layar.

"Halo, Bu?" sapa Abi dengan suara serak.

"Abi, kamu di mana? Ibu sudah telepon berkali-kali tapi tidak diangkat. Ibu khawatir," kata ibunya dengan nada cemas yang membuat hatinya terasa hangat.

"Abi di luar, Bu. Sedang mencari angin," jawab Abi.

"Pulanglah, Nak. Ibu sudah menyiapkan nasi goreng spesialmu dengan udang dan telur mata sapi seperti yang kamu suka. Ayah juga menunggu kamu pulang," kata ibunya.

Abi terdiam sejenak. Ia merindukan masakan ibunya, merindukan kehangatan rumah orang tuanya tempat di mana ia selalu diterima apa adanya, tanpa harus membuktikan apapun. Ia menyadari bahwa ia tidak sendirian dalam menghadapi masalah ini. Ia memiliki keluarga yang selalu mendukungnya, apa pun yang terjadi.

"Baik, Bu. Abi segera pulang," kata Abi dengan suara yang lebih tenang.

Namun, apa yang awalnya tampak seperti perpisahan baik-baik, lambat laun berubah menjadi serangkaian kesalahpahaman dan kekecewaan yang semakin dalam.

Beberapa bulan kemudian, setelah banyak berusaha mengumpulkan modal dari tabungan, mencari penyedia kain, dan merancang desain Abi memulai bisnis sendiri: toko batik online bernama "Batik Mandiri". Ia menawarkan desain inovatif yang menggabungkan motif tradisional dengan warna modern, dan harga yang lebih terjangkau agar mudah dijangkau oleh banyak orang. Ia menggunakan pengetahuan yang didapat dari Warna Warni dan menambahkan sentuhan kreatifnya sendiri. Dalam waktu singkat, bisnisnya mulai berkembang cepat banyak pelanggan baru yang suka desainnya, dan beberapa pengrajin yang dulu bekerja di Warna Warni bahkan mau bekerja bareng dengannya.

Saat Andini dan Pramudya mendengarnya, mereka merasa tersaingi dan marah. "Dia mencuri ide-ide kita! Semua yang dia tahu tentang batik adalah dari kita!" kata Pramudya dengan emosi, memukul meja. "Kita memberinya kesempatan untuk menebus diri, tapi dia malah bersaing dengan kita! Itu adalah khianat!" Andini juga merasa dikhianati ia pikir Abi keluar karena tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia memilih Pramudya, dan sekarang ia sengaja ingin menghancurkan bisnis yang mereka bangun bersama.

Mereka melancarkan kampanye online untuk mempromosikan Warna Warni sebagai "tempat batik asli dan terpercaya", dan secara tidak langsung mendiskreditkan Batik Mandiri dengan mengatakan bahwa desainnya "tidak sesuai dengan nilai budaya". Abi tidak tinggal diam. Ia membuat video yang menjelaskan versinya tentang apa yang terjadi di Warna Warni bagaimana ia merasa tidak dihargai, bagaimana ide-ide nya tidak pernah didengar dan menuduh Andini dan Pramudya tidak jujur dan tidak adil terhadapnya.

Perang online semakin panas dan menarik perhatian media lokal. Koran dan saluran berita lokal mulai memberitakan perseteruan mereka, dengan judul yang menggigit seperti "Perseteruan Antara Dua Raja Batik Surabaya". Citra kedua bisnis pun tercoreng pelanggan mulai membagi diri, sebagian mendukung Warna Warni, sebagian mendukung Batik Mandiri. Para pengrajin batik merasa sedih dan bingung mereka merasa terjebak di antara Abi, Andini, dan Pramudya, yang semuanya pernah mereka hargai. Beberapa pengrajin mendukung Abi karena merasa dia memahami kesulitan mereka, yang lain tetap setia kepada Andini dan Pramudya karena mereka yang pertama kali memberinya pekerjaan.

Perpecahan dan permusuhan mengancam untuk menghancurkan segala sesuatu yang telah mereka bangun bersama selama ini komunitas batik yang dulu solid, nilai budaya yang mereka junjung tinggi, dan persahabatan yang pernah ada.

Beberapa hari kemudian, Abi kembali ke tepi sungai Kalimas. Ia duduk di bangku yang sama, memandangi cahaya lampu kota yang memantul di air. Bisnisnya berkembang dengan cepat ia sudah punya banyak pelanggan, bahkan beberapa dari luar negeri. Tapi hatinya tetap kosong, seolah ada bagian yang hilang. Ia merindukan persahabatan dengan Andini dan Pramudya, merindukan waktu ketika mereka bekerja bersama di meja kecil, merencanakan bagaimana caranya membuat Warna Warni tumbuh dan melestarikan batik. Ia merindukan saat-saat ketika mereka tertawa bersama, tanpa ada kebencian atau kesalahpahaman.

"Apakah ini yang aku inginkan?" tanyanya lagi pada diri sendiri, air mata mulai mengalir di pipinya. "Kemenangan dengan merusak orang yang kubenci? Atau apakah ini cuma cara aku membalas rasa sakit yang mereka berikan padaku?"

Ia tidak punya jawaban. Semua yang ia tahu adalah, luka yang mereka punya satu sama lain semakin dalam, dan arus kehidupan mereka telah berjalan ke arah yang berbeda jauh, jauh dari apa yang pernah mereka impikan bersama.

\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!