Diambil dari cerita weton Jawa yang populer, dimana seseorang yang lahir di hari tersebut memiliki keistimewaan di luar nalar.
Penampilannya, sikapnya, serta daya tarik yang tidak dimiliki oleh weton-weton yang lain. Keberuntungan tidak selalu menghampirinya. Ujiannya tak main-main, orang tua dan cinta adalah sosok yang menguras hati dan airmata nya.
Tak cukup sampai di situ, banyaknya tekanan membuat hidupnya terasa mengambang, raganya di dunia, namun sebagian jiwanya seperti mengambang, berkelana entahlah kemana.
Makhluk ghaib tak jauh-jauh darinya, ada yang menyukai, ada juga yang membenci.
Semua itu tidak akan berhenti kecuali Wage sudah dewasa lahir batin, matang dalam segala hal. Dia akan menjadi sosok yang kuat, bahkan makhluk halus pun enggan melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di hembus pelet
Suasana pagi masih sepi, mereka bertiga sudah duduk di posisi masing-masing setelah membersihkan konter ponsel tersebut.
"Biasanya, kalau Jum'at begini rada sepi." ucap Yanti, memandangi jalan sedikit lengang tidak seperti hari biasanya. Adapun yang lewat hanya orang-orang bekerja kantoran.
"Sebentar lagi mungkin Yan." kata Wulan, dia menggeser aksesoris yang berada tepat di depannya, entah mengapa hari ini ia ingin lebih melihat jalanan tanpa aling-aling.
Dari kejauhan tampaklah wajah Wulan yang cantik, sehingga beberapa anak muda yang lewat menoleh beberapa kali. Itu salah satu magnet konter hp tersebut.
"Besok setoran lho Lan?" tanya Yanti, melihat kalender.
"Iya." jawab Wulan.
"Kok bisa, bos kita itu percaya sepenuhnya. Nggak takut kita k0rupsi begitu?" tanya Yanti.
"Ya enggak, buktinya selama bertahun-tahun dia percaya kita." jawab Wulan, mulai menghitung keuangan masuk lewat buku transaksi.
"Kata Mas Edi, habis tahun ini akan di buka konter pusat di kecamatan sana. Isinya bukan cuma ponsel tapi laptop dan berbagai perlengkapan lainnya." Kun menyahuti.
"Iya kah? Wih! Loker baru itu!" Yanti tampak bersemangat menggosok kedua telapak tangannya.
"Mungkin si bos yang asli akan standby di sana. Atau anaknya si bos, katanya sudah selesai sekolah dan akan bergabung mengurus semua bisnis bapaknya. Enaknya jadi orang kaya!" Kun menggeleng, berdecak kagum membayangkan anak pemilik toko, katanya hanya memiliki satu anak saja.
"Ya enak Mas Kun. Kita cuma sebagai pegawai mereka saja sudah Alhamdulillah, dapat gaji lumayan. Apalagi bos kita yang cuma duduk terima transferan hasil tokonya." jawab Wulan.
"Yang lebih enak itu istrinya." sahut Yanti.
"Yang pasti sama-sama China, gak mungkin orang lokal yang tidak ada kelebihan macam kita. Nggak usah ngarep!" Wulan melempar kertas sobekan kepada Yanti.
"Iya juga ya." Yanti terkekeh. Mengutak-atik ponsel jadul untuk mengisi pulsa, mengakhiri pembicaraan tentang bos dan anaknya yang tidak pernah terlihat. Penasaran. Tapi ya sudahlah, yang terpenting adalah gaji mereka tiap bulan beserta bonus selalu lancar, itu sudah membuat sangat gembira.
"Dek, beli pulsanya 50.000."
Wulan melepaskan pena di tangannya, meraih ponsel dari tangan Yanti lalu menyalakan ponselnya.
"Nomernya Mas?" Tanya Wulan.
Tapi bukan jawaban yang di dapat, melainkan hembusan asap rokok yang pekat. Wulan menutup mata dan menahan nafas di buatnya. Baunya bukan hanya tembakau tapi di campur kemenyan.
"Lihat sendiri, takut salah." pria itu menyodorkan ponselnya kepada Wulan.
Wulan membuka matanya, menatap wajah pria yang bersikap tidak sopan itu. Ingin sekali memaki dan memarahinya tapi, ingat saat ini sedang di tempat bekerja, takut menimbulkan masalah lain.
Wulan meraih ponsel pria itu sambil menahan kesal. Segera mengetik nomer ponsel dan menyelesaikan transaksinya.
"Ini." Wulan menyerahkan ponsel pria itu, segera mengambil uang yang sengaja di letakkan berantakan. Pria itu sedang memperlihatkan keangkuhannya di depan Wulan, harap-harap Wulan kagum dan suka, tujuannya.
"Terimakasih, Wulan." ucap pria itu dengan senyum licik penuh arti. Dan itu membuat Wulan menahan amarah sekuat tenaga.
"Dia jampi-jampi kamu Mbak." kata Kun, sejak tadi ia pun memperhatikan pria itu. Hanya saja tidak ikut campur selagi tidak membahayakan fisik.
Wulan menatap kepergian pria yang sebenarnya memang sering belanja di konter mereka, tapi baru kali ini bersikap kurang ajar seperti itu. Tangan Wulan mengepal kuat, ingin sekali rasanya mengamuk karena merasa di lecehkan.
"Sudah Lan, cuci muka sana. Lagian kita sudah tahu, peletnya tidak akan berhasil." Yanti meminta Wulan segera masuk kedalam dan mencuci wajahnya.
Kesal, Wulan menatap wajahnya yang basah di depan kaca. Dia paling tidak suka dengan orang yang berbuat licik, tapi, mau bagaimana lagi.
Beruntung siang hingga sore itu konter cukup ramai, sehingga Wulan melupakan kekesalannya.
"Yan, aku pulang duluan ya." Wulan segera berkemas pukul empat sore itu.
"Kamu nggak enak badan?" tanya Yanti, mengamati wajah Wulan yang sedikit pucat.
"Nggak tahu Yan, pusing." jawab Wulan.
"Aku anterin!"
"Nggak, naik ojek saja." Wulan segera meninggalkan kedua teman bekerjanya itu, entah sebab apa kepalanya semakin pusing saja.
"Tunggu!" Yanti menyusul Wulan, dia khawatir dengan sahabatnya itu, tentunya harus mencari tukang ojek yang sudah kenal agar tidak terjadi sesuatu yang diinginkan. Yanti menemani Wulan menunggu ojek di depan.
Tin!
Sebuah motor besar berhenti tepat di depan kedua gadis itu, lalu pria itu membuka helmnya sedikit. "Wulan, sudah pulang?" tanya nya.
"Lho! Mas Bara?" mengernyit heran, Wulan tak menyangka akan bertemu lagi dengan Bara.
Bara tersenyum sedikit, melirik Yanti yang sejak tadi melongo menatap Bara. "Boleh saya antar Wulan pulang?" ucap Bara, berbicara kepada Yanti.
"Hah! Boleh Mas! Boleh banget malah!" Yanti mengangguk beberapa kali.
"Hush! Aku sudah pesan ojek ini Yan!" kata Wulan.
"Biar ojeknya aku batalin. Sudah, sana pulang! Kamu lagi Ndak enak badan." Yanti mendorong Wulan agar mepet sama Bara.
"Tapi_"
"Udah sana!" Yanti meninggalkan Wulan di depan, sengaja biar bicara berdua lalu pulang bersama.
"Kamu sakit?" tanya Bara, memperhatikan wajah Wulan.
"Cuma pusing." jawab Wulan.
"Ya sudah, ayo kita pulang." ajak Bara, mempersilahkan Wulan naik di belakang.
"Enggak ngerepotin Mas?" tanya Wulan.
"Enggak." jawab Bara.
Senyum tipisnya sungguh manis, dengan lesung pipi di sebelah kanan. Perempuan mana yang tidak tergila-gila melihatnya. Mungkin itu juga sebab dahulu dia enggan bertatap muka. Bicara sedikit, senyum tidak pernah. Andaikan dulu dia semanis ini, mungkin pacarnya ada banyak sekali. Pikiran Wulan jadi kemana-mana.
Akhirnya Wulan setuju, pulang di bonceng pria ganteng yang semalam masuk ke dalam mimpinya.
Bicara soal mimpi, Wulan merasa ada yang tak biasa di dalam diri Bara, tapi entah mengapa dia malah merasa nyaman, jiwanya tidak melawan.
Lumayan banyak juga pengalaman Wulan di dekati laki-laki, sedikit saja niat mereka tidak baik, Wulan bisa merasakannya. Secuil saja mereka menggunakan ilmu sihir, pelet, pengasih, Wulan pasti dapat mengetahuinya. Tapi Bara, entah apa yang membuatnya merasa berbeda. Pengasihan jenis apakah, Wulan tidak tahu sehingga setiap melihat wajahnya dia pun kagum hingga merasa ingin selalu dekat.
"Dek! Kok diem? Kamu baik-baik saja kan?" panggil Bara, ditengah jalan ia menoleh Wulan beberapa kali.
"Wulan baik-baik saja." jawab Wulan.
"Kamu diem begitu bikin aku khawatir, kalau sangat pusing kamu ngomong ya! Atau mau ke dokter?" tanya Bara lagi.
"Enggak Mas, mau pulang terus istirahat saja." jawab Wulan, dia memijat keningnya sendiri, melihat jalanan membuatnya semakin mual.
Bara menambah sedikit kecepatan sepeda motornya, dan beberapa kali pula ia menoleh Wulan, melirik lewat kaca spion. Dan tiba-tiba tangan sebelah kirinya ia ulurkan kebelakang, menahan lengan Wulan agar tidak jatuh karena jalan masuk area persawahan sedikit berlubang.
Wulan memandangi Bara dari belakang, memandangi tengkuk Bara yang terlihat gagah meskipun tertutup helm dan jaket.
Sudah lama sekali tidak merasakan hal seperti ini, semenjak Arif meninggal. Dan ternyata perhatian dari Bara itu sangat-sangat nyata membuat dadanya berdebar kencang.
"Ini rumah mu kan Dek?" ucap Bara, tidak terasa mereka sudah sampai dan Wulan malah diam saja.
"Eh, iya Mas." Wulan segera turun, berpegang pada lengan Bara yang gagah. Motornya terlalu tinggi untuk Wulan.
"Ya sudah, kamu istirahat. Mungkin kamu kecapean." kata Bara.
"Mas? Kok Mas Bara tahu rumah Wulan?"
harus mengalah
g beda jauh watak nya jelek
ibu dan anak perangai nya buruk
kog Sarinah ngaku2
calon istrii arif
semoga bisa memberi pencerahan buat para readers.
pepeleng bagi orang jawa,jangan sembarangan menyebutkan weton atau hari lahir versi jawa kepada siapapun,jika tidak ingin terjadi hal hal diluar nalar dan perkiraan.
tetap eling lan waspada.
berserah pada Allah ta'alla.
tetap semangat dengan karya nya