Setelah mendapatkan air sumur pertama, kedua, ketiga, keempat , kelima, dan keenam, tinggal ketujuh....konon di sumur inilah telah banyak yang hanya tinggal nama.....mengerikan !
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Artisapic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB XX JANJI TERBALAS
Sosok bayangan hitam itu terus turun dan sampailah menginjakkan kakinya, ia meraung-raung sambil memandang Kundil , lalu dari mulutnya keluar api, semua yang ada di bukit itu terbakar hebat, namun semua begitu cepat padam manakala Kundil meniup serulingnya. Kemudian sosok itu menjulur kembali sambil meraung-raung, dan Kundil segera melepaskan anak panah hingga sosok hitam itu berubah menjadi sosok laki-laki kuat dengan banyak kalajengking di kepalanya. Panah kembali dilepaskan dan menancap di perutnya, namun sosok itu tidak robah, justru ia menghantam Kundil dengan gada. Kundil mundur lalu melepaskan panah kembali.
"Rupanya ia semakin mantap juga mendalami ilmu kanuragannya, tapi tak apa lah akan saya ikuti saja kemampuannya," gumam Kundil sambil melepaskan panah.
Panah itu terus melesat dan menancap di tangan yang membawa gada, kontan saja gada itu terlepas dan saat itulah gada yang melayang tadi terkena panah berikutnya dan terpental hingga menghantam paha si sosok hitam berlumut itu.
"Aaaaaaaakh.....aaaaaaam...puuuuuun....aaaaakh....ampun", ratapnya sambil bersimpuh.
"Wah...wah...wah...saya kira sudah hebat, ternyata masih dikalahkan oleh panah-panah ini saja," ledek Kundil.
"Ampun Palon.....ampuuuuun, aku tak lagi mengejarmu Palon, aku mengaku kalah Palon", ratap Murka dihadapan Kundil.
"Baik...aku ampuni kamu Murka, aku ampuni, tapi ingat....waktu kau melanggar janji ini, maka akan aku tumpas kau Murka," ancam Kundil.
"Apa isi perjanjian itu ?" tanya Murka.
"Pertama, jangan kamu luluskan mereka yang berkeyakinan, mau berubah, dan lahir di hari Jum'at. Kedua, jangan pernah kamu racuni manusia dengan iming-iming yang manis, dan ketiga, jangan kamu layani para pengabdimu dengan kutukan,serta keempat, jangan kamu musnahkan keturunan mereka yang mengabdi sebagai hamba pesugihab," kata Kundil.
"Baik, baik Palon, akan aku turuti semua perjanjian itu, tapi aku minta, mereka yang sudah menjalani pesugihan, maka akan jadi budakku hingga akhir jaman," pinta Murka.
"Ya sudah, silahkan kamu enyah dari sini sebelum pikiranku berubah, cepat pergi Murkaaaaaa," teriak Kundil.
"Baik Palon, aku pamit, akan aku jerumuskan manusia menjadi budakku kelak, ha...ha..ha...", kata Murka sambil berpamitan dan pergi dengan tertawa membahana.
Setelah sosok Murka itu pergi, Sabdo dan kawan-kawan bergegas menuju Kundil. Mereka akhirnya berkumpul di tempat itu dan kelak tempat itu akan menjadi pintu pesugihan.
"Apa yang terjadi di sini ki sanak," tanya Sabdo sambil melihat rerumputan terbakar semua.
"Biasa ki sanak, itu tingkah Murka yang menuntut balas," jawab Kundil.
"Lantas apa yang harus kita lakukan di sini, kemana sosok Murka itu ?"tanya Wiratsangka.
"Dia pergi tapi sudah berjanji, dan dia akan membuka pintu-pintu pesugihan dan di sini nanti gerbang awalnya, di tanah ini," jelas Kundil.
Pada akhirnya mereka mendengar semua perjanjian itu, dan mereka juga harus menyembunyikan tanah gundukan itu, maka demi menjaga keselamatan anak cucu tanah itu akhirnya di tanami pohon yang usianya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan tahun.
"Sudah....semua sudah ditanami pohon-pohon itu, semoga saja kelak tidak ada orang yang kesini," kata Wiratsangka.
"Semoga saja ki sanak, ayo kita tinggalkan tempat ini," ajak Kundil kepada semua yang ada di situ.
Dalam perjalanan pulang itu mereka saling mengingatkan akan bahaya dari dunia pesugihan. Sekaya apapun kalau berasal dari dunia pesugihan, maka siapa saja akan menjadi budak-budak mereka hingga akhir jaman bahkan semua keluarganya akan ditumpas sebagai tumbal bangsa pesugihan tersebut.
Akhirnya sampai juga mereka di kampung itu dan semuanya menuju pendopo, kebetulan waktu sudah menjelang pagi, sehingga mereka hanya beberapa saat saja sudah kembali beraktifitas lagi.
"Maaf ki sanak, hari sudah pagi, bukan berarti saya menolak , namun saya butuh istirahat ," kata Sabdo.
"Terima kasih tuan, semoga istirahat tuan akan menjadi sebuah harapan baru nantinya," jawab Wiratsangka.
Setelah kepergian Sabdo dan Kundil, di pendopo masih duduk Wiratsangka dan para pendukung setia, dan sambil menikmati makanan , mereka saling mengobrol.
"Wirat, tadi itu tuan Kundil sengaja menutupi kejadian yang sebenarnya, jadi semua itu baru kulitnya saja," kata paman Wiratsangka, yaitu Windu.
"Iya paman Windu, saya paham akan semuanya," kata Wiratsangka.
" Maka dari itu, sebaiknya tanah tadi harus dirubah saja menjadi aliran sungai Wirat," usul paman Windu.
"Iya paman, nanti akan saya usulkan begitu," jawab Wiratsangka.
Akhirnya obrolan mereka hanya sampai di situ, sebab dari arah depan sana banyak orang berbondong-bondong sambil membawa alat pertanian, ada cangkul, parang, sabit juga garuh serta alat yang lain. Mereka segera menuju pendopo untuk melaksanakan hari dimana para petani siap untuk turun ke sawah.
"Rasanya kita lupa hari ini dimana mereka akan memulai kerja di sawah Wirat, ayo kita gabung sama mereka," ajak paman Windu.
Akhirnya mereka ke sawah semua sambil mengerjakan lahan untuk pesawahan nantinya. Karena yang bekerja itu banyak, sehingga saat jelang siang hari , tanah garapan untuk sawah itu jadi dan mulai besoknya akan dikelola untuk menanam.
Sementara siang itu Sabdo baru saja bangun, dan segera ke arah belakang untuk mandi. Selesai mandi Sabdo menuju kamar depan dan tampak di sana hanya tempat kosong saja, ia memanggil-manggil nama Kundil, namun yang dilanggil tak kunjung muncul. Akhirnya Sabdo menanyakan kepada depan gubuknya, namun setiap orang selalu jawab tidak tahu.
Setelah lama mencari kesana kemari, dan tidak ketemu juga maka Sabdo menuju ke pendopo. Kebetulan di pendopo sedang duduk paman Windu dan Wiratsangka.
"Maaf ki sanak, adakah yang tahu Kundil pergi ?" tanya Sabdo.
"Apa ?! Tuan Kundil tidak ada, kemana beliau tuan Sabdo ?" tanya Wiratsangka sambil kaget bukan kepalang atas hilangnya Kundil.
"Sabar dulu Wirat, bisa saja lagi di jalan atau sedang mencari sesuatu," jelas paman Windu.
"Iya paman, tapi kalau tuan Kundil pergi, bagaimana nanti kampung kita paman, bagaimana paman," desak Wiratsangka.
Tiba-tiba sari arah jalan sebrang sana, tampak salah satu warga berlari dan terus berlari, seperti mengejar sesuatu. Ia terus berlari menuju pendopo.
"Laporan ki sanak, laporan ki sanak, tadi saya melihat ada orang dimakan ular besar ki sanak, kayaknya ia meninggal ki sanak," kata orang itu.
"Dimana ki sanak, tolong ajak saya kesan," pinta Sabdo.
Maka berangkatlah orang itu bersama Sabdo menuju lokasi dimana ada orang yang dimakan ular. Mereka menuju ke arah itu sambil setengah berlari dan terus berlari hingga hilang di jalan sebrang tadi. Sementara Sabdo sambil berjalan cepat sehingga tidak terasa sudah jauh dari kampung itu.
Begitu sampai di lokasi hilangnya orang yang dimakan ular, Sabdo tidak melihat tanda-tanda dan ciri-ciri sari orang dimakan ular.
"Dimana ki sanak, dimana ki sanak melihat ular makan manusia, dimana ?" tanya Sabdo.
Tiba-tiba dari atas pohon jatuh suatu benda dengan keras. "Buk...."