NovelToon NovelToon
Mantan Narapidana Yang Mencintaiku

Mantan Narapidana Yang Mencintaiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Mafia / Cinta setelah menikah / One Night Stand / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Ditolak di pelaminan, Sinta Lestari belajar membangun kembali dirinya dari reruntuhan. Empat tahun kemudian, ia masih menutup rapat hatinya—hingga sebuah malam hujan mempertemukannya dengan Kevin Mahendra, pria asing dengan tatapan hijau keemasan dan senyum licik yang mampu mengguncang pertahanannya. Malam itu hanya percakapan singkat di kedai kopi, berakhir dengan ciuman panas yang tak pernah bisa ia lupakan.

Kini takdir mempertemukan mereka lagi di Pangandaran. Kevin, pria dengan masa lalu kelam dan ambisi membangun “steady life”-nya, tak pernah percaya pada cinta. Sinta, perempuan yang takut kembali dikhianati, enggan membuka hati. Namun, keduanya terikat dalam tarik-ulur berbahaya antara luka, hasrat, dan kesempatan kedua.

Apakah mereka mampu menjadikan hubungan ini nyata, atau justru hanya perjanjian sementara yang akan kembali hancur di ujung jalan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Kevin mendengar bel pintu berbunyi dan berjalan dari ruang belakang untuk menyambut pelanggan. "Hai, selamat datang di Bagas Tours..."

Suaranya tercekat saat melihat Sinta.

Sinta tampak gelisah, jelas enggak nyaman dengan pertemuan mendadak itu. Sejak konfrontasi mereka seminggu lalu, Kevin berusaha keras mematikan semua pikiran dan emosi tentang wanita yang sudah menghancurkan hatinya.

Konyol, karena Sinta berutang banyak padanya. Tapi kata-kata tajam Sinta sudah menusuk, mengubah malam indah mereka menjadi sesuatu yang lain. Kenangan berharga itu, yang tadinya terbungkus rapi, kini terkoyak dan mustahil disatukan kembali. Bodohnya ia berpikir Sinta menghantuinya selama bertahun-tahun. Kevin sudah terlalu meromantisasi semua omong kosong itu.

"Hai."

"Hai," jawab Kevin, berdeham. "Aku mau ketemu Arum di sini. Mobilnya di bengkel dan dia butuh tumpangan ke toko buku."

"Dia pergi sama Bagas, lihat kuda-kuda. Kayaknya bentar lagi balik."

"Oke deh. Aku tunggu di luar aja."

"Enggak usah. Panas banget, silakan duduk." Kevin hampir meringis melihat ketidaknyamanan Sinta yang begitu jelas. Mereka sudah sepakat melupakan masa lalu. Apa sesakit itu berada di ruangan yang sama dengannya? Dengan kesal, Kevin memaksa. "Mau kopi atau teh?"

"Enggak, makasih." Sinta duduk di salah satu kursi empuk dan langsung mengeluarkan ponsel, mengabaikan Kevin.

Rasa jengkel muncul. Kevin mengambil kopinya sendiri dan sengaja duduk di hadapan Sinta. "Gimana kabarmu?"

Sinta mendongak, kerutan kecil muncul di antara alisnya. Dia seperti meragukan niat Kevin untuk berada di dekatnya. Aroma bunga liar tercium di sekelilingnya. Pakaiannya terdiri dari celana pendek putih yang memamerkan kaki jenjangnya, blus merah yang diikat di depan, dan sandal merah hak tinggi bermotif bunga. Rambut panjangnya dijepit, tapi beberapa helai jatuh membingkai wajahnya.

"Bagus."

"Kamu punya toko, kan?"

Seluruh tubuh Sinta menegang. Kevin mengamatinya, karena Sinta jelas merasa terancam. "Iya. Kapan kamu balik ke Jakarta?"

Dia merentangkan kakinya. "Enggak tahu."

Mata  itu berkilat khawatir. "Aku yakin kamu bosan banget di sini."

"Enggak juga. Aku suka bantu Bagas."

Dengusan tertahan keluar dari bibir Sinta. "Ragu sih, setengah keseruan jadi pengusaha properti dengan transaksi milyaran."

Kevin memiringkan kepala, terkejut. Sinta sudah mencari tahu tentangnya. Cukup tahu di mana ia bekerja sebelumnya. Apakah Sinta cuma penasaran atau ada sesuatu yang terus ia lewatkan? Ia enggak bertanya, takut Sinta akan menutup diri. "Benar. Tapi mungkin aku melewatkan hal-hal lain."

Kepanikan terlihat jelas di mata Sinta. Tepat saat itu, Bagas dan Arum masuk.

Sinta melompat dari kursinya. "Hei, aku udah nungguin kalian."

Adiknya mendesah. "Maaf banget—aku lupa kirim pesan kalau Bagas bilang mau nganterin aku. Aku bodoh."

Sinta menggeleng sambil tersenyum. "Otakmu itu memang mematikan."

Bagas tertawa. "Aku mulai ngerti sekarang harus berjuang melawan perhatiannya dengan pikirannya."

"Dengerin! Aku cuma mau kita makan siang. Ikut kami ya, Kak Kevin?"

"Oke, kedengarannya menyenangkan."

Bagas pindah ke konter. "Kita enggak ada tur sampai jam tiga, jadi kita tutup aja, Kevin. Kalian berdua bisa naik mobil kami."

Reaksi Sinta terjadi seketika.

Kevin memperhatikan Sinta menggigit bibirnya, pipinya memerah. "Oh, aku lupa! Aku harus kembali kerja untuk rapat. Maaf—aku gak makan siang dulu."

Arum mengerutkan kening. "Tapi kamu tetap akan nganterin aku, kan?"

"Ya, tapi sekarang aku bisa menghadiri rapat itu dan ini penting banget." Sinta tersenyum palsu, menolak menatap Kevin. "Sampai jumpa nanti malam. Sampai jumpa!"

Dia menghilang lebih cepat dari kepulan asap.

"Ada apa dengannya?" gumam Arum.

"Mungkin cuma sibuk, Sayang."

"Kurasa begitu. Dia terlalu banyak bekerja."

"Kata si penulis gila kerja," goda Bagas.

Kevin menyela. "Dia punya toko baju di sini, kan? Sudah berapa lama?"

Arum mengernyitkan hidung. "Sudah sekitar tiga tahun. Setelah dia tidak jadi menikah dia kerja di ritel, lalu sadar itu cocok untuknya. Dia ambil beberapa kelas, buka Modest Butik, dan sekarang lagi naik daun. Dia memang selalu keren."

Kebanggaan yang terpancar jelas dari suara Arum menunjukkan sisi lain dari wanita yang Kevin pikir ia kenal. Hingga kata-kata Arum selanjutnya membuatnya terdiam.

"Modest?"

"Ya, nama tokonya Modest Butik. Kukira kamu tahu."

Kevin menatap Arum sementara pikirannya mulai berputar. "Enggak, aku enggak tahu. Nama yang menarik."

Arum tertawa. "Aku tahu! Lucu, kan? Aku tanya dari mana dia dapat ide itu, dan dia bilang itu dari percakapan yang selalu dia ingat. Sebaiknya kita pergi, aku lapar banget."

Kevin menghentikan obrolan santai mereka saat dia masuk ke mobil, mengulang-ulang informasi baru ini.

Sebuah pikiran terus berputar di benaknya, menunjuk titik lemahnya. Jika malam mereka hanya tentang ciuman, mengapa dia begitu panik menghindarinya? Sinta sudah setuju untuk enggak mengatakan sepatah kata pun. Mengapa terlihat panik membayangkan berbagi tumpangan mobil sederhana?

Awalnya, Kevin pikir itu cuma rasa canggung. Tapi reaksinya gak masuk akal.

Ia mengingat kembali pertemuan tak terduga mereka di Kedai Kopi Galuh. Sinta menjatuhkan gelas dan menatapnya dengan campuran emosi tak biasa yang masih belum bisa ia pahami. Ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik permukaan. Sinta mendorongnya pergi untuk tujuan yang sama sekali berbeda?

Ya, mungkin jawabannya sederhana. Mungkin egonya yang ingin meringankan rasa sakit penolakan.

Atau mungkin Sinta Lestari menyembunyikan sesuatu yang Kevin perlu tahu.

Kevin mempertimbangkan pilihannya. Apa pun yang terjadi, enggak ada salahnya menyelam lebih dalam. Kalau ia tetap di kota ini, mereka harus merasa nyaman, dan enggak terus-menerus berusaha menghindari satu sama lain.

Dia bermaksud untuk mencari tahu.

***

Sinta menatap dengan rasa takut yang memuncak pada pria yang dengan cepat menutup jarak di antara mereka.

Apakah ini mimpi buruk? Sebuah hukuman? Atau cuma Takdir yang menertawakan nasib perempuan single?

Jari-jarinya mencengkeram gelas anggur erat-erat saat Kevin tiba di meja. "Sinta," sapanya, suaranya seperti paduan beludru dan serak. "Apa kabar?"

Tidak baik. Aku bakal gila kalau harus menghabiskan lebih dari beberapa menit bersamamu. Mau tahu kenapa, Kevin? Karena saat kau dekat, yang kupikirkan cuma bibirmu.

Sinta memaksakan senyum cemerlang yang berbau putus asa. "Baik. Eh, maaf, kenapa kamu di sini?"

Dia duduk di hadapannya. "Arum bilang dia mau ketemu kamu untuk minum, tapi dia telat. Karena aku cuma lewat, kukatakan padanya aku akan mengabarimu dan menemanimu sampai dia datang." Tatapannya polos. "Kamu enggak keberatan, kan?"

Sinta ingin berteriak frustrasi. Tapi ia malah melambaikan tangan sebagai penolakan. "Bagus, tapi enggak perlu. Ponselku adalah kantorku, jadi aku bisa sambil kerja sampai dia tiba."

"Sama-sama gila kerja, ya? Aku tahu bagaimana rasanya." Kevin melepas jaketnya. Mulut Sinta terasa kering. Pria itu membuka kancing mansetnya dan perlahan menggulung lengan baju.

Dia mengangkat jarinya. Seorang pelayan berlari menghampiri. "Kopi?"

Sinta berusaha bicara meski tenggorokannya tercekat. "Ya." Kalau mau bertahan hidup, aku butuh segelas kopi

Dia bersandar di kursi dengan percaya diri dan tersenyum tipis. "Aku mau minta maaf atas percakapan kita terakhir kali. Aku terkesan terlalu keras, dan aku mengerti posisimu."

Sinta berkedip. "Benarkah?"

"Tentu saja. Aku enggak berniat bicara sepatah kata pun—kita lupakan saja masa lalu itu. Tapi dengan Bagas dan Arum bersama, kupikir setidaknya kita harus berusaha bersikap ramah."

Dia sepertinya sudah melupakan rasa frustrasi dan sakit hatinya. Dan itu hal yang sangat baik. Sinta mengangguk. "Ya, aku setuju."

Minuman mereka tiba. Sinta menghabiskan gelas pertama dan meraih gelas kedua. Kevin mengangkat wiskinya. "Bagus. Kalau begitu, mari kita bersulang untuk awal yang baru."

Sinta mendentingkan gelas. Aku rela menyerahkan jiwaku pada iblis sekarang juga agar bebas dari acara koktail ini.

"Jadi, kamu suka jualan?"

"Uh, ya."

"Aku harus mampir kapan-kapan. Lihat tempatmu."

Sinta tersedak anggurnya. "Enggak perlu. Seperti yang kukatakan, mungkin lebih baik kita menjaga jarak. Enggak ingin ada yang salah paham."

"Oh, maaf, aku lupa. Kamu lagi dekat sama seseorang spesial?"

"Enggak sekarang."

"Mencari sesuatu yang serius?"

"Enggak," jawab Sinta tegas. "Aku sangat bahagia dengan keadaanku sekarang."

Kevin mengetuk-ngetuk jarinya di meja. "Hmm, baguslah. Hubungan memang sulit. Pekerjaan jauh lebih mudah, kan?"

"Mungkin."

"Lucunya, kita bisa melihat sesuatu lebih jelas di lingkungan yang berbeda. Jakarta membuatku seperti berada di roda hamster, yang kusuka, tapi aku enggak sadar ada cara lain untuk hidup."

Saraf Sinta menjerit bahaya. "Kamu akan bosan tanpa kejar-kejaran," katanya, berusaha tampak enggak peduli. "Enggak ada kesepakatan milyaran atau ruang rapat mewah. Hanya kuda, pantai, dan gosip lokal."

Sedikit meringis. "Benar juga. Tapi, Bagas tampak bahagia. Arum juga. Mungkin sudah waktunya untuk perubahan."

Sinta menolak tersenyum. "Aku yakin ada banyak gedung pencakar langit yang perlu dikembangkan." Rasa ingin tahu mendesaknya. "Kecuali ada alasan lain yang membuatmu menjauh?"

Kevin tetap memasang wajah datar. "Profesi pilihanku penuh tekanan. Terkadang, tekanan itu mendorong orang untuk melakukan sesuatu. Alasan bagus lainnya untuk menjauh dari pekerjaan ini."

Sinta bersiap-siap untuk menegaskan kembali semua alasan mengapa ia seharusnya tidak tinggal, ketika sebuah suara perempuan menyela mereka.

"Kevin—telingamu pasti berdenging. Aku cuma bilang aku terus mengejar kamu!"

Sinta memperhatikan wanita yang berdiri di samping Kevin, tangannya diletakkan di bahu Kevin seolah sedang mengklaim sesuatu. Itu Sari BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Sinta bertanya-tanya mengapa Kevin begitu spesifik tentang alasan mereka bersama. Apakah dia hanya memenuhi permintaan Sinta untuk enggak memulai gosip?

Sari tetap diam saat mereka mengobrol, jelas-jelas sedang menggoda. Tangan Sari meremas bahu Kevin. Kevin terkekeh dan menyentuh pinggulnya.

Sinta berusaha untuk tidak marah.

Akhirnya, mereka berpisah. Kevin kembali dan memberinya senyum puas. "Wah, beruntung sekali. Ada ide ke mana dia akan pergi akhir pekan ini? Tempat yang sangat dia sukai?"

Sinta minum anggur lagi. "Sari dan aku bukan teman dekat, jadi aku tidak yakin apa yang dia suka," gumamnya.

"Hmm, kalau begitu aku pilih yang klasik saja. Makan malam  di rumah setelahnya."

"Kamu tinggal bersama Bagas," kata Sinta, menahan amarah.

"Kalau begitu, tempatnya. Kau benar waktu bilang ada banyak yang bisa dinikmati di sini. Mereka semua sangat ramah."

Amarah membanjiri darah Sinta. "Hati-hati. Dia suka bergosip, lagipula kamu enggak boleh menggoda wanita di sini."

Dia memiringkan kepalanya. Mata hijau cerah itu menatap Sinta dalam-dalam. "Terima kasih atas peringatannya. Tapi seperti yang kau katakan sebelumnya, terkadang seks tetaplah seks."

Kata-kata lembut itu menusuk ulu hatinya. Pandangan Sinta kabur oleh rasa cemburu yang membara membayangkan dia akan mencium Sari.

Sinta mengerahkan seluruh konsentrasinya untuk tetap tenang. "Baiklah. Aku tak peduli apa pun yang kau lakukan."

"Begitulah yang kaukatakan. Setidaknya aku bersama Sari  akan meredakan amarahmu." Nada suaranya dipenuhi tantangan. "Lucu bagaimana semuanya berubah, kan? Empat tahun lalu, aku hanya peduli dengan pekerjaan, dan kau baru memutuskan untuk menikah. Sekarang? Kau seorang workaholic yang sombong, dan aku mulai berpikir itulah yang kubutuhkan."

Sinta mencondongkan badan. "Aku ragu kau siap berkompromi demi cinta," desisnya. "Apalagi dengan Sari! Pangandaran bukan tempat yang tepat untukmu menetap."

Dia menyangga sikunya di atas meja dan memajukan tubuhnya. "Salahkah jika kau tiba-tiba menginginkan... lebih?" Kevin berhenti sejenak, merendahkan suaranya menjadi geraman seksi. "Bagaimana denganmu, Sinta? Kau telah membangun kembali diri, meluncurkan bisnis sukses, dan punya rumah nyaman. Apakah hanya itu yang kau inginkan? Atau terkadang, apakah kau juga menginginkan—lebih?"

Sinta tersentak saat gambar-gambar mentah itu menerpa penglihatannya. Gelas terjatuh dan tumpah.

Ya Tuhan, gelas tidak  pernah aman di dekatnya. Sinta melompat berdiri. "Aku—perlu ke toilet." Hampir tak bisa bernapas, ia bergegas menyusuri lorong.

Persetan. Sinta menolak untuk disiksa perlahan.

Setelah mencuci tangan, dia menenangkan diri dan kembali ke meja.

Arum masih duduk di tempatnya, menertawakan sesuatu yang dikatakan Kevin. Pelayan selesai membersihkan tumpahan anggur. "Hei, kamu berhasil."

"Ya—maaf aku telat. Apa kalian mengobrol dengan baik?"

Sinta berusaha mengabaikan tatapan Arum. "Ya. Aku sudah bilang betapa senangnya dia membantu Bagas. Tapi karena musim panas hampir berakhir, mungkin ini saat yang tepat untuk kembali ke Jakarta. Suasananya jadi membosankan."

"Begitulah yang kudengar," kata Kevin. Kegelisahan terpancar di wajahnya. "Tapi mengobrol dengan Sinta memang yang kubutuhkan. Akhirnya aku tahu apa yang terbaik untukku."

Syukurlah. Sinta hanya berharap dia pergi pada akhir minggu.

"Ada apa?" tanya Arum.

"Pangandaran. Pangandaran." Senyum puas tersungging di bibirnya. "Aku sudah memutuskan untuk tinggal."

Kakaknya bertepuk tangan. "Keren banget! Bagas pasti seneng banget!"

Alis Sinta mengernyit. "Tunggu—kamu tidak akan kembali ke Jakarta?"

Tatapannya beralih padanya dan terkunci. Keteguhan hati berkilauan di kedalaman zamrud itu. Seluruh tubuhnya membeku. Aturan telah berubah, dan Sinta benar-benar kehilangan akal.

"Benar," katanya dengan nada malas, tanpa mengalihkan pandangannya. "Aku akan tinggal, Sinta. Terima kasih atas semangatnya. Itu sangat membantu."

Rahangnya menganga, tetapi dia sudah menang.

Dia memperhatikannya berbicara dengan saudara perempuannya, sementara satu pikiran berputar-putar di kepalanya.

Dia benar-benar kacau.

1
fara sina
semakin dilupakan semakin dipikirkan. sulit memang melupakan orang yang dicintai apalagi belum diungkapkan
fara sina
masih ada Jane jangan sedih terus vin
fara sina
jawaban yang singkat tapi bikin memikat
fara sina
gercep banget pesennya sin
fara sina
berasa ngalir ajah ya itu cowok. yang aku lihat Sinta jadi istrinya🤣
fara sina
bisa kepikiran ide membantu itu.
fara sina
hahahhaha Kevin malah yang terkenal
fara sina
secara GK langsung udah di tolak secara halus😭
fara sina
usaha memang gak mengkhianati hasil💪
fara sina
siapa tau jodoh mba sinta🤭
fara sina
*sekitar
fara sina
Sinta, semoga kamu menemukan pengganti yang lebih baik. dan kamu bahagia
fara sina
menghilang? kenapa bisa begitu
Sevi Silla
ayo Thor lanjutt. 🥺🥺
Sevi Silla
Kevin dijadikan tameng? hanya untuk kepentingan tertentu. jadi itu alasannya🥺
Sevi Silla
jadi ratu udah dianggap anak😭
Sevi Silla
Cinta yang redup telah menemukan cintanya kembali
Sevi Silla
gimana keputusanmu Kevin?
Sevi Silla
ya kan lambal Laun bakal nyaman si ratu
Sevi Silla
coba dulu sama Kevin. siapa tau nanti kucingnya berubah nurut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!