Program KKN Sarah tidak berakhir dengan laporan tebal, melainkan dengan ijab kabul kilat bersama Andi Kerrang, juragan muda desa yang sigap menolongnya dari insiden nyaris nyungsep ke sawah. Setelah badai fitnah dari saingan desa terlewati, sang mahasiswi resmi menyandang status Istri Juragan.
Tetapi, di balik selimut kamar sederhana, Juragan Andi yang berwibawa dibuat kewalahan oleh kenakalan ranjang istrinya!
Sarah, si mahasiswi kota yang frontal dan seksi, tidak hanya doyan tapi juga sangat inisiatif.
"Alis kamu tebel banget sayang. Sama kayak yang di bawah, kamu ga pernah cukur? mau bantu cukurin ga? nusuk-nusukan banget enak tapi ya sakit."
"Jangan ditahan, cepetin keluarnya," bisiknya manja sambil bergerak kuat dan dalam.
Saksikan bagaimana Andi menahan desah dan suara derit kasur, sementara Sarah—si malaikat kecil paling liar—terus menggodanya dengan obrolan nakal dan aksi ngebor yang menghangatkan suasana.
Ini bukan sekadar cerita KKN, tapi yuk ikuti kisah mereka !!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Azzahra rahman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Pertama Juragan
Pagi itu udara desa terasa lebih segar dari biasanya. Andi berdiri di pinggir sawahnya yang luas, memandangi hamparan hijau yang berkilau diterpa cahaya matahari. Burung-burung kecil beterbangan, suara air irigasi mengalir tenang. Biasanya pemandangan seperti ini cukup untuk membuat hatinya damai, tapi kali ini tidak.
Sejak beberapa hari terakhir, hatinya selalu gelisah. Wajah Sarah, senyumnya saat mengajar anak-anak, hingga suara tawanya bersama teman-temannya di posko, semuanya terus menghantui pikirannya.
“Ah, aku ini kenapa, sih?” gumam Andi sambil menghela napas. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, tapi bayangan Sarah selalu saja muncul.
Belum sempat ia menenangkan diri, suara ibunya memanggil dari kejauhan. “Andi! Ayo pulang dulu. Bapak mau bicara.”
Dengan langkah berat, Andi pulang ke rumah. Di ruang tengah, ia melihat ayahnya duduk dengan wajah serius, sementara ibunya menyiapkan teh hangat.
Keesokan harinya, Andi kembali mendekat. Ia pura-pura melewati balai desa saat Sarah sedang duduk menulis catatan kegiatan. Dengan gugup, ia menawarkan sesuatu.
“Eh… kalau besok kamu dan teman-teman mau, saya bisa bantu antar ke kebun atau sawah buat lihat kegiatan desa. Sekalian jalan-jalan.”
Sarah sedikit terkejut. “Wah, terima kasih, Andi. Mungkin bisa. Nanti saya tanya teman-teman dulu.”
Andi mengangguk cepat, lalu buru-buru pamit. Begitu berbalik, wajahnya memerah. Ia sadar betapa kikuknya dirinya. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa berani mengambil langkah kecil mendekat.
Di hatinya, ada rasa hangat yang sulit dijelaskan. Walau keluarganya terus menekan, walau usianya tak lagi muda, Andi mulai yakin satu hal: mungkin, Sarah adalah jawaban yang selama ini ia cari.
Malam harinya, Andi kembali duduk di ruang makan bersama orang tuanya. Ibunya kembali menyinggung soal pernikahan.
“Andi, minggu depan ada acara hajatan. Banyak keluarga datang. Bagus kalau kau mulai berkenalan dengan calon-calon yang sudah kami pikirkan.”
Andi menggenggam cangkir tehnya erat-erat. Kali ini ia mencoba jujur, meski tidak sepenuhnya. “Bu, Pak… aku ingin memilih sendiri. Aku nggak mau terburu-buru.”
Ayahnya menatap tajam. “Memilih sendiri boleh, tapi jangan terlalu lama. Orang tua juga ingin lihat kau bahagia dengan keluarga kecilmu.”
Andi terdiam. Dalam hati ia berjanji, aku akan berusaha. Aku harus tahu dulu apakah Sarah juga merasakan hal yang sama atau tidak.
Sore itu setelah kegiatan selesai, Sarah duduk di beranda posko sambil menyeruput teh hangat. Andi, yang masih berada di sekitar balai desa, memberanikan diri mendekat.
“Eh, Sarah… capek ya hari ini?” tanya Andi, suaranya agak bergetar.
Sarah menoleh dan tersenyum ramah. “Lumayan, tapi seru. Anak-anak nggak pernah kehabisan energi. Kalau Andi sendiri, kok bisa datang lagi?”
Andi berpura-pura santai. “Hehe, ya… kebetulan lewat. Lagian, lihat anak-anak main gitu, bikin senang.”
Padahal, ia sengaja datang. Ia ingin sekali berbicara lebih lama dengan Sarah, meski lidahnya kaku setiap kali mencoba.
Mereka berbicara singkat—tentang desa, tentang sawah, dan sedikit tentang kegiatan KKN. Meski obrolan sederhana, bagi Andi itu adalah langkah besar. Ia merasa hatinya sedikit lebih lega.
Di posko KKN, Sarah tengah sibuk menyiapkan kegiatan bersama Rani. Hari itu mereka akan mengadakan permainan tradisional bersama anak-anak di halaman balai desa. Suasana penuh canda dan tawa.
Ketika permainan berlangsung, Andi tiba-tiba datang. Penampilannya sederhana: kemeja kotak-kotak, celana panjang, dan topi caping di tangan.
“Eh, Andi datang lagi,” bisik salah satu anak dengan riang.
Sarah menoleh, sedikit terkejut. “Oh, Andi… mau ikut lihat-lihat?”
Andi menggaruk tengkuknya, salah tingkah. “Hehe… iya, cuma lewat. Eh, kalau boleh, saya bantu-bantu?”
Sarah tersenyum sopan. “Tentu boleh. Anak-anak senang kalau ada yang ikut mendampingi.”
Hari itu, Andi berusaha lebih dekat. Ia membantu menyiapkan tali untuk permainan lompat, bahkan ikut berlari-lari bersama anak-anak. Meski badannya tinggi besar, ia tampak kikuk saat melompat, membuat anak-anak tertawa terbahak-bahak.
“Om Andi kalah! Om Andi kalah!” teriak mereka serempak.
Sarah tak bisa menahan tawa melihat kelakuan Andi. “Sepertinya Andi harus banyak latihan ya.”
Andi ikut tertawa, meski wajahnya memerah. Ia senang bisa membuat Sarah tersenyum. Setiap kali mata mereka bertemu, ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
“Andi,” ayahnya membuka pembicaraan, “kau sudah tidak muda lagi. Usia 33 tahun itu bukan main-main. Sudah saatnya kau berumah tangga.”
Ibunya menambahkan, “Kami sudah bicara dengan beberapa keluarga. Ada anak gadis yang baik, pintar masak, dan sopan santun. Kalau kau mau, kami bisa atur pertemuan.”
Andi tercekat. Ia tahu pembicaraan ini pasti datang juga, tapi kali ini hatinya sudah berbeda. Ada satu nama yang membuatnya ragu untuk menuruti rencana orang tuanya.
“Pak, Bu… aku belum siap. Belum ada yang cocok,” jawabnya pelan.
Ayahnya mengetuk meja dengan jari, menahan kesal. “Berapa lama lagi kau mau menunggu, Andi? Harta ada, rumah ada, umur pun cukup. Apa lagi yang kau cari?”
Andi menunduk. Dalam hati ia berkata, yang kucari itu Sarah… tapi bagaimana aku bisa bilang begitu sekarang?
Di posko KKN, Sarah tengah sibuk menyiapkan kegiatan bersama Rani. Hari itu mereka akan mengadakan permainan tradisional bersama anak-anak di halaman balai desa. Suasana penuh canda dan tawa.
Ketika permainan berlangsung, Andi tiba-tiba datang. Penampilannya sederhana: kemeja kotak-kotak, celana panjang, dan topi caping di tangan.
“Eh, Andi datang lagi,” bisik salah satu anak dengan riang.
Sarah menoleh, sedikit terkejut. “Oh, Andi… mau ikut lihat-lihat?”
Andi menggaruk tengkuknya, salah tingkah. “Hehe… iya, cuma lewat. Eh, kalau boleh, saya bantu-bantu?”
Sarah tersenyum sopan. “Tentu boleh. Anak-anak senang kalau ada yang ikut mendampingi.”
Hari itu, Andi berusaha lebih dekat. Ia membantu menyiapkan tali untuk permainan lompat, bahkan ikut berlari-lari bersama anak-anak. Meski badannya tinggi besar, ia tampak kikuk saat melompat, membuat anak-anak tertawa terbahak-bahak.
“Om Andi kalah! Om Andi kalah!” teriak mereka serempak.
Sarah tak bisa menahan tawa melihat kelakuan Andi. “Sepertinya Andi harus banyak latihan ya.”
Andi ikut tertawa, meski wajahnya memerah. Ia senang bisa membuat Sarah tersenyum. Setiap kali mata mereka bertemu, ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
Malam harinya, Andi kembali duduk di ruang makan bersama orang tuanya. Ibunya kembali menyinggung soal pernikahan.
“Andi, minggu depan ada acara hajatan. Banyak keluarga datang. Bagus kalau kau mulai berkenalan dengan calon-calon yang sudah kami pikirkan.”
Andi menggenggam cangkir tehnya erat-erat. Kali ini ia mencoba jujur, meski tidak sepenuhnya. “Bu, Pak… aku ingin memilih sendiri. Aku nggak mau terburu-buru.”
Ayahnya menatap tajam. “Memilih sendiri boleh, tapi jangan terlalu lama. Orang tua juga ingin lihat kau bahagia dengan keluarga kecilmu.”
Andi terdiam. Dalam hati ia berjanji, aku akan berusaha. Aku harus tahu dulu apakah Sarah juga merasakan hal yang sama atau tidak.
Malam itu, sebelum tidur, Andi menatap atap kamarnya. Ia mengingat senyum Sarah, suara tawanya, dan tatapan matanya yang ramah.
“Ya Allah… kalau memang dia jodohku, mudahkan jalannya,” bisiknya pelan.
Dan di posko yang berbeda, Sarah menutup buku catatannya, tak tahu bahwa seorang juragan desa sedang jatuh hati padanya dengan cara yang sederhana, jujur, dan penuh kikuk.