Lina dokter muda dari dunia modern, sang jenius harus meninggal karena kecelakaan tunggal, awalnya, tapi yang sebenarnya kecelakaan itu terjadi karena rem mobil milik Lina sudah di rusah oleh sang sahabat yang iri atas kesuksesan dan kepintaran Lina yang di angkat menjadi profesor muda.
Tapi bukanya kelahiran ia justru pergi kedunia lain menjadi putri kesayangan kaisar, dan menempati tubuh bayi putri mahkota.
jika ingin kau kelanjutannya ayo ikuti terus keseruan ceritanya, perjalan hidup sang putri mahkota
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Langit di atas Tanah Duka tampak kelabu meski mentari seharusnya telah tinggi. Kabut tebal yang berlumur aroma darah dan kesedihan menyelimuti reruntuhan desa tua yang dulunya penuh tawa anak-anak dan aroma bunga liar. Kini hanya sunyi dan gema angin dingin yang menjawab langkah kaki Shuwan.
Ia berdiri di tepi gerbang kayu yang telah rapuh, mengenakan jubah biru langitnya, rambutnya terikat longgar, dan tatapannya tajam menelisik keadaan. Di pundaknya, Phoenix Api sesekali berkicau pelan, sementara Phoenix Es terbang rendah, mengitari reruntuhan sambil menebar lapisan kabut pelindung.
“Tempat ini pernah menjadi surga kecil...” gumam Shuwan, jemarinya menyentuh pintu rumah terbakar yang tinggal rangka. “Tapi iblis hitam meninggalkan luka yang dalam.”
Tiba-tiba tanah bergetar. Dari balik reruntuhan, muncul makhluk-makhluk berkaki enam, berkulit arang dan bersisik perak. Mata mereka merah menyala dan liur hitam menetes dari taringnya. Sepuluh… dua puluh… lalu puluhan makhluk keluar seakan dipanggil.
Shuwan mencabut Pedang Naga Ikahi perlahan. Bilahnya mengeluarkan cahaya keemasan yang langsung membakar udara di sekitarnya.
“Ayo, teman-teman... kita mulai pemanasan.” Ia tersenyum miring. “Aku belum sempat olahraga pagi.”
Makhluk pertama melompat ke arahnya. Dengan kecepatan luar biasa, Shuwan mengayun pedangnya, membelah makhluk itu dalam satu tebasan. Phoenix Api menyemburkan api yang membentuk perisai, sementara Phoenix Es membekukan tanah agar para iblis licin tergelincir.
Serangan itu berlangsung cepat dan penuh gaya. Shuwan melompat ke atap, memutar pedangnya seperti menari, lalu menghunjam tanah dengan energi naga yang menggelegar. Dalam hitungan menit, lebih dari setengah makhluk iblis itu hancur menjadi debu.
Namun satu makhluk berbeda muncul. Tinggi dua kali manusia biasa, mengenakan jubah gelap, dan membawa tongkat bermata tengkorak. Makhluk itu tersenyum miring, memperlihatkan gigi seperti belati.
“Kau... Putri Cahaya. Kami sudah menunggumu.”
Shuwan menyipitkan mata. “Siapa kau?”
“Aku hanya utusan,” jawabnya. “Tuan kami menunggu di Istana Hitam. Tapi sebelum itu, kami butuh darah suci-mu.”
Shuwan mengangkat alis. “Lagi? Apa iblis-iblis itu tidak punya ide lain?”
Ia menyerang tanpa basa-basi. Tapi makhluk itu cukup kuat untuk menahan serangan pertama. Mereka bertarung habis-habisan, dan tanah di sekitarnya mulai retak. Saat Shuwan hampir terdesak, Phoenix Es dan Api membentuk gabungan serangan yang belum pernah ia lihat: semburan api dingin dan salju panas.
Makhluk itu terhuyung. Shuwan mengayun Pedang Ikahi, menciptakan pusaran cahaya yang menghancurkan musuh itu dalam ledakan emas.
Tapi dari sisa kabut, terdengar suara tawa pelan.
“Sampai jumpa lagi, Putri Cahaya…”
Bayangan menghilang. Shuwan berdiri terengah, matanya menyusuri sisa-sisa kabut. Hatinya berdegup cepat, bukan karena kelelahan—melainkan karena firasat. Mereka akan kembali. Dan kali ini... lebih kuat.
Di Tempat Jauh – Istana Gunung Salju
Di antara pilar-pilar kristal es, pemuda itu kembali berdiri. Rambut peraknya tergerai, dan matanya seperti langit malam tanpa bintang.
Ia memandang ke cermin kristal yang berpendar, dan sosok Shuwan tampak bertarung melawan iblis.
“Dia... semakin kuat.” Suaranya datar, tapi di sudut bibirnya, sesuatu seperti rasa kagum muncul.
Seorang tetua mendekat. “Kau akan menemuinya?”
Feng Aoren tak menjawab. Ia berbalik, jubah panjangnya berkibar. “Belum saatnya. Takdir belum membawa kami bertemu. Tapi ketika saat itu datang... aku akan ada di sisinya.”
Kembali ke Shuwan
Saat malam turun, Shuwan berkemah di tepi Tanah Duka. Ia menyalakan api unggun dan merebus ramuan penyegar.
Phoenix Api melingkar di dekat kakinya, sementara Phoenix Es bertengger di atas batu, membuat salju mini untuk bermain.
Tiba-tiba, angin malam membawa aroma berbeda. Aroma jeruk dan embun beku. Shuwan terdiam.
“Feng Aoren...” bisiknya tanpa sadar. Entah kenapa nama itu muncul begitu saja di benaknya. Padahal ia belum pernah bertemu dengannya. Tapi jantungnya berdetak cepat... seolah mengingat seseorang yang belum pernah ditemui.
Ia menepuk pipinya sendiri. “Apa-apaan ini? Jangan-jangan aku mulai gila?”
Phoenix Api memekik pelan, seperti menertawakan gadis itu.
“Hus! Jangan ikut-ikutan!”
Shuwan lalu tersenyum. “Tapi… kalau benar ada seseorang di luar sana yang bisa berjalan bersamaku... semoga dia tidak membosankan.”
Dan angin malam menjawabnya dengan bisikan samar, seperti menyetujui.
Bersambung