“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 7
“Koe sudah dengar gosip terbarunya belum, Sur?” Ijah yang baru saja datang dengan sebakul kopi mentah, langsung mendekati Surti yang tengah menyantap singkong rebus.
“Opo?” sahut Surti dengan wajah penasaran.
Ijah melirik ke kanan-kiri, suaranya setengah berbisik, “Jare demenane (katanya pacarannya) bukan cuma sama mantan pacarnya, tapi kusir dokarnya juga.”
Surti terbelalak seketika, bibirnya sedikit terbuka, “Bocah lanang seng ireng manis itu?!” (pemuda yang hitam manis itu)
Ijah mengangguk mantap, “Di parkiran dokar lagi rame, katanya, ada yang pernah lihat mereka berdua masuk Melati(sebutan untuk losmen kelas bawah) daerah pesisir. Malah ada yang bilang, si Sulastri ini memang jualan.”
Surti sedikit memiringkan kepala, matanya menyipit seperti sedang mengingat sesuatu. “Sek … tapi aku curiga, bocah itu sepertinya ada di rumah Meneer Londo.”
“Meneer Londo yang rumahnya di lereng bukit?” sahut Ijah dengan mulut terbuka.
“Iyo, aku lihat sendiri,” ucap Surti pelan. Matanya bergerak gelisah seolah menimbang ucapannya sendiri.
“Seng tenan kamu, Sur!” Suara Ijah sedikit meninggi.
“Tapi aku tidak yakin kalo itu Sulastri, soalnya dari kejauhan melihatnya,” Surti menarik napas pendek. “Tapi … sepertinya sih benar, itu dia.”
Nur—si bakul jamu, yang baru saja datang turut bergabung setelah menurunkan dagangannya. “Siapa yang di rumahnya Meneer Londo?” tanyanya.
“Sulastri,” sahut Ijah singkat.
Nur langsung terbahak mendengar ucapan Ijah. “Ngawur koe iki. Mana mungkin Meneer mau sama barang bekasan begitu?”
“Aku liat sendiri, Nur. Ada wanita muda lagi mangku bayi di rumah Meneer,” sahut Surti.
“Kamu lihat mukanya tidak?” sela Nur.
Surti menyipitkan matanya, satu tangannya menopang dagu. “Lihat, tapi ndak jelas, soalnya dia menunduk, tapi aku yakin itu Sulastri.”
Nur masih terbahak, bahunya terguncang menahan tawa. “Ora mungkin. Suamiku kerja di tempat Meneer udah tahunan, itu yang kamu lihat istrinya Pak dokter, 'kan istrinya habis melahirkan,” sahutnya sambil menepuk pundak Surti.
“Wedokan itu minggat di daerah pesisir kono, lo. Ada yang ketemu langsung, bukan ketemu tapi dia yang mengantar,” Paerah yang baru saja datang turut menimpali.
“Koe ngerti dari mana, Rah?” tanya Ijah penasaran.
“Kusir yang mengantar cerita di warungnya Ngatemi pas aku nganter cabe kemarin sore. Bocah itu memang jualan, tapi yo kui, kelase murahan,” sahut Paerah.
Nur menghela napas pelan, tangannya menyusun botol-botol jamu di bakulnya. “Sayang sekali, bocahe ayu padahal.”
Ijah berjalan pelan, tangan sebelahnya di pinggang sedang satunya merapihkan kopi ke baskom-baskom.
“Ayu tapi doyan wong lanang, yo seperti itu. Selalu kekurangan meski sudah punya satu. Alhasil mencari batang yang lain asal bisa puas, dapet duit nomor pitilikur yang penting puas,” sahut Ijah.
Di tengah kehebohan gosip pagi dan riuh kokok ayam dari pedagang ayam, seorang wanita muda dengan tubuh semok memasuki pasar.
Di belakangnya seorang centeng dengan kumis tipis dan bibir hitam berjalan dengan petentang-petenteng.
Si centeng dengan santai mencomot satu buah mentimun yang ada di depan lapak Paerah. Matanya menatap sekitar dengan liar, membuat sekumpulan biang gosip itu sedikit bergidik.
“Isuk–isuk wes rasan-rasan,” celetuk si centeng— Kasman. (pagi-pagi sudah bergosip)
Paerah yang memang mengenal Kasman, menyahut dengan santai. “Gosip heboh iki, Man.”
Kasman melirik sekilas, tatapanya tajam pada para pedagang, bibirnya melengkung miring sebelum menggigit mentimun di tangannya.
“Nggak usah pada bergosip, nambahi dosa,” ujar Kasman.
Paerah mencondongkan kepalanya, suaranya sedikit berbisik, “Koe kerja di punjer to, Man?“ Mosok ndak tau gosipe bojone—”
Kasman menyela dengan cepat ucapan Paerah, matanya membulat sambil menempelkan jari telunjuk di depan bibir hitamnya. “Jangan keras-keras,” bisiknya sembari melirik wanita semok yang sedang minum jamu.
Si wanita semok—Amina, menyeringai tipis saat mendengar kasak-kusuk para pedagang. Dia sengaja meninggalkan Kasman bersama mereka, membiarkannya menyebar gosip lebih luas dan meyakinkan.
“Koe tunggu di sini saja, Man. Aku ingin melihat kebaya di toko itu,” ujar Amina sembari menunjuk toko baju yang ada di sudut pasar.
“Nggeh, Ndoro,” sahut Kasman sopan.
Ijah yang sedari tadi menyimak dengan wajah penasaran, mendekat pada Kasman. “Siapa itu tadi, Pakde?” tanyanya sembari menoel pundak laki-laki itu.
“Bojone Den Kartijo.”
Seketika suasana terasa lengang, aroma rempah jamu menguar, teriakan bakul baju rombengan teredam, berganti bau tengik Kasman yang jadi pusat sorotan.
Para biang gosip itu merapatkan barisan, ingin mendengar lebih dekat. Mata mereka melotot, tangan menutup mulut, beberapa saling menatap, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengar.
“Maksudmu opo to, Man?” desak Paerah.
“Berarti yang berkhianat Den Kartijo?” timpal Ijah.
Kasman menoleh pada sang Ndoro, memastikan sudah berjalan cukup jauh. “Heh, biang gosip ini merepotkan,” keluh Kasman.
Surti yang sedari tadi berada di belakang, turut mendekat, penasaran. “Sampean kalo ngasih info yang jelas, Pakde.”
Kasman menghela napas pelan, matanya bergerak cepat. “Ndoro putri itu sebenarnya pacarnya Den bagus, sayange ndak disetujui. Saking cintane Den bagus sama Ndoro putri, akhire di rabi siri, paham ndak,” jelas Kasman.
Para biang gosip pun semakin melebarkan telinga sembari manggut-manggut mengerti.
“La terus, kok bisa nikahnya sama Sulastri?” Nur yang semakin penasaran bertanya sembari memajukan kepalanya.
“Dijebak.”
Kasman kembali menyomot satu mentimun, mengelapnya dengan kaos buluknya lalu menggigitnya.
“Di jebak gimana, Man?” desak Nur.
“Rahasia.”
Kasman sengaja menggantung ucapannya, membuat para biang gosip semakin penasaran. Laki-laki itu dengan santai menghabiskan mentimunnya, kemudian mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya.
“Sulastri itu begenggek, sama siapa saja mau. Makanya hati-hati, bisa jadi nanti sasarannya suami kalian, karena yang dicari bukan hanya uang, tapi kenikmatan,” pungkas Kasman.
Amina yang memperhatikan dari kejauhan, tertawa girang, dalam hati wanita itu bersorak-sorai menyaksikan kebodohan penduduk desa. Matanya berkilat penuh kepuasan.
“Dasar orang desa, mudah saja percaya omongan orang,” gumamnya sinis.
Wanita itupun berjalan menuju kerumunan biang gosip, alisnya terangkat tipis, matanya menatap tajam ke arah Kasman.
“Kalau ngomong dijaga, Man. Jangan asal mangap. bagaimanapun juga Mbak Lastri itu punya anak sama juragan, kasian nanti kalau cerita ini berlarut-larut sampai anaknya dewasa,” sela Amina dengan suara lembut namun menusuk.
“Belum tentu juga itu anak Den Kartijo, Ndoro,” sahut Kasman.
“Hust! Mau benar ataupun tidak, Mbak Lastri itu istrinya juragan. Apalagi anaknya perempuan, takutnya … sudahlah ayo pulang, sudah siang,” pungkas Amina.
Para biang gosip pun semakin terperangah dengan yang barusan mereka dengar, mereka memandang iba sekaligus kagum ke arah Amina yang sudah berjalan semakin menjauh.
Paerah menghela napas panjang, tangannya terus-terusan mengusap dada. “Wong ayu dan alus begitu, pantes Den bagus tergila-gila.”
Nur berdecak pelan, kakinya melangkah patah-patah menuju mejanya.“Heh, lha iyo to, memang benar-benar tidak tau malu Sulastri itu! Wes bener-bener dia yang dinikahi, malah main gila sana-sini.”
Surti cepat-cepat membereskan belanjaannya, dengan langkah tergesa wanita pendek itu berpamitan. “Aku mau pulang dulu, Mbak yu. Takut bojoku digondol Sulastri.”
Suasana pasar pun semakin riuh dengan cerita yang baru saja disebarkan. Ijah—si biang gosip menjadi pusat perhatian para ibu-ibu pedagang dan pengunjung pasar yang ingin tau kebenaran cerita.
Sementara itu, Broto jongos kepercayaan Petter berjalan dengan tergesa sekembalinya dari pasar. Laki-laki yang diperintahkan oleh Petter untuk mencari informasi tentang Sulastri itu berulang kali mengusap wajah kasar, menuju ruang kerja sang Meneer.
Sesampainya di ruang kerja, Broto langsung menceritakan apa yang didengarnya saat di pasar tadi. Petter mendengarkan dengan saksama dari balik meja kerjanya, sembari memainkan cerutu di jarinya.
“Jadi perempuan itu dari punjer?”
“Betul, Meneer,” sahut Broto. “Tapi saya sedikit ragu dengan cerita yang beredar di pasar. Sepertinya tidak mungkin dia melakukan hal serendah itu,” lanjutnya.
Petter menatap datar, ujung bibirnya terangkat tipis. “Apa yang tidak mungkin, bukankah pribumi biasa melakukan hal seperti itu.”
Broto menghela napas kasar, “Tapi saya tetap tidak percaya.”
Petter masih menimbang pikirannya. Di tengah batinnya yang diliputi rasa penasaran, tiba-tiba terdengar keributan di halaman belakang.
“Dasar gundik sialan!”
Bersambung.
Kalian tim biang gosip kebun atau pasar?
Please komen, penulis amatir ini butuh vote. 😆