Satu malam naas mengubah hidup Kinara Zhao Ying, dokter muda sekaligus pewaris keluarga taipan Hongkong. Rahasia kehamilan memaksanya meninggalkan Jakarta dan membesarkan anaknya seorang diri.
Enam tahun kemudian, takdir mempertemukannya kembali dengan Arvino Prasetya, CEO muda terkaya yang ternyata adalah pria dari malam itu. Rahasia lama terkuak, cinta diuji, dan pengkhianatan sahabat mengancam segalanya.
Akankah, Arvino mengetahui jika Kinara adalah wanita yang dia cari selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Kalung Keluarga Prasetya
Langkah cepat Arvino menggema di sepanjang koridor rumah sakit. Napasnya sedikit terengah, tapi ekspresinya tetap tenang di permukaan. Kemeja kerjanya belum sempat ia kancingkan sempurna, jasnya bahkan masih tergantung di mobil. Semua mata staf yang melihatnya langsung menunduk, sadar bahwa kedatangannya bukan untuk urusan biasa.
Begitu tiba di lantai ruang anak, Zaki langsung menghampiri. Wajah asisten itu tampak tegang.
“Tuan, syukurlah Anda datang,” katanya dengan suara pelan.
“Apa yang terjadi?” Arvino bertanya cepat. “Anak itu ... Ethan ... bagaimana keadaannya?”
“Sudah stabil, Tuan. Tapi ... saya pikir Anda perlu tahu sesuatu.”
Arvino mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”
“Lebih baik kita bicara di ruangan sebelah.”
Keduanya masuk ke ruang kerja dokter yang kosong. Begitu pintu tertutup, Zaki menatap bosnya dengan ekspresi sulit dijelaskan, antara ragu dan terkejut.
“Tuan...” katanya perlahan, “tadi anak itu mengalami reaksi alergi parah.”
“Alergi?” Arvino menatap tajam. “Alergi terhadap apa?”
“Kacang almond,” jawab Zaki pelan. “Persis seperti Anda, Tuan. Jenis reaksi, gejala, bahkan cara tubuhnya bereaksi sama. Itu ... bukan alergi biasa.”
Arvino terdiam, matanya menatap kosong ke arah dinding. 'Alergi almond? Sama sepertiku?'
Zaki melanjutkan, suaranya semakin hati-hati. “Saya tahu ini mungkin hanya kebetulan. Tapi ada satu hal lagi…”
Dia membuka tablet, memperlihatkan foto yang tadi ia ambil diam-diam di ruang perawatan, gambar Ethan yang tertidur dengan oksigen di hidungnya, dan di lehernya tergantung sebuah kalung kecil berbentuk lambang naga perak. Arvino terpaku, napasnya berhenti sesaat.
“Itu…” suaranya serak, “dari mana anak itu mendapat kalung itu?”
Zaki menatapnya serius. “Anda mengenalinya, bukan?”
Arvino terpaku, tenggorokannya mengering, napasnya tercekat. “Tunggu … kalung itu...”
Zaki mengernyit. “Anda pasti mengenal kalung itu,"
Arvino menatap layar lama, lalu menunduk. Suara hatinya bergetar hebat, memutar kembali memori yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
Enam tahun lalu, kamar hotel di malam hujan. Seorang gadis muda tertidur di pelukannya, wajahnya teduh dan polos. Ia tidak tahu siapa gadis itu, hanya tahu bahwa malam itu ada sesuatu yang ia tinggalkan. Kalung itu, kalung keluarga Prasetya, ia lepaskan dan letakkan di atas nakas, tepat di samping gadis itu, sebagai bentuk penyesalan dan perpisahan.
Arvino memejamkan mata, suaranya nyaris berbisik saat berkata,
“Kalung itu ... aku yang tinggalkan. Enam tahun lalu. Untuk seorang gadis yang tidur bersamaku malam itu ... harusnya kalung itu ada pada Savira,"
Zaki menatapnya tak percaya. “Anda bilang … Anda yang punya kalung itu? Dan Anda meninggalkannya enam tahun lalu untuk gadis yang di hotel malam itu?”
Arvino mengangguk perlahan, napasnya berat. “Dan sekarang … kalung itu ada di leher Ethan?”
Arvino menelan ludah. “Di mana anak itu sekarang?”
“Masih di ruang perawatan, Tuan. Bersama Dokter Zhao,” jawab Zaki cepat.
Nama itu membuat jantung Arvino kembali berdetak cepat. Kinara Zhao, beberapa kali muncul di hadapannya. Sosok wanita yang tiba-tiba kembali, yang entah kenapa membuatnya merasa bersalah meski tak tahu alasannya.
“Zaki,” katanya pelan tapi tegas, “jangan katakan apa pun pada siapa pun tentang kalung itu.”
“Tentu, Tuan,” jawab Zaki sambil menunduk. Tapi dari sorot matanya, jelas ia sudah punya kesimpulan sendiri.
Arvino menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun suara Kinara dari luar ruangan, suara lembut yang sedang memanggil suster, membuat tubuhnya menegang lagi. Dia melangkah ke pintu, membuka sedikit celah, dan di sana Kinara berdiri di depan pintu ruang perawatan, rambutnya sedikit berantakan, tangan lembutnya mengelus kepala Ethan yang tertidur di ranjang. Senyumnya lembut tapi matanya sembab karena tangis yang tertahan.
Arvino berdiri diam di ambang pintu. Tatapannya jatuh pada kalung di leher Ethan, berkilau samar di bawah lampu putih ruangan.
Suasana ruang perawatan dipenuhi aroma antiseptik dan suara mesin pemantau detak jantung yang berdetak lembut. Kinara duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Ethan yang masih lemah, sementara cahaya matahari sore menembus tirai tipis, membentuk bayangan samar di dinding.
Pintu perlahan terbuka. Arvino masuk dengan langkah pelan, mengenakan kemeja yang sama. Wajahnya menyimpan kekhawatiran yang ia coba sembunyikan di balik ketenangan semu.
Kinara segera menoleh, tatapan mereka bertemu, sesaat, udara di ruangan seakan menegang. Ada sesuatu yang tidak terucap di antara keduanya, sesuatu yang tertahan di tenggorokan, menggantung antara masa lalu dan kenyataan yang kini berdiri di hadapan mereka.
“Tuan Arvino?” suara Kinara lirih, sopan namun agak canggung.
Arvino mengangguk sedikit. “Aku dengar Ethan sudah sadar … boleh aku melihatnya?”
Kinara bergeser memberi ruang. Arvino melangkah mendekat, dan saat itu, suara kecil yang serak memecah keheningan.
"Daddy…” Ethan tersenyum lemah, matanya berbinar meski wajahnya masih pucat.
"Ethan," tegur Kinara, namun tatapan Arvino membuat Kinara tertegun seolah Arvino mengatakan tidak apa-apa demi menyenangkan Ethan.
“Aku nggak apa-apa kok. Dokter bilang aku cuma harus istirahat.” sambung Ethan.
Senyum itu, polos, tulus, dan sama persis dengan senyum seseorang dari enam tahun lalu membuat dada Arvino bergetar. Dia menatap Ethan lama, menahan segala emosi yang mendadak menyerbu, haru, takut, dan sesuatu yang tak bisa ia sebutkan.
“Bagus kalau kamu udah baikan,” jawab Arvino akhirnya, suaranya berat tapi lembut. Ia duduk di kursi di samping ranjang, mencoba tersenyum. “Tapi jangan bikin semua orang panik lagi, ya?”
Ethan terkekeh pelan, tapi segera meringis saat nyeri di dadanya menyerang. Kinara buru-buru menepuk bahunya pelan.
“Jangan banyak bicara dulu, Sayang.”
Arvino menunduk, kedua tangannya saling menggenggam. Ia memperhatikan tiap gerak Ethan, cara anak itu menatap ibunya, cara Kinara menenangkan, bahkan cara mereka tersenyum satu sama lain. Semuanya terasa terlalu akrab. Matanya tanpa sadar tertuju pada kalung perak di leher Ethan.
Liontin kecil berinisial A.P. memantulkan cahaya sore, seolah sedang mengejeknya. Arvino menelan ludah, tenggorokannya terasa kering.
Dia ingin bertanya, ingin menuntut penjelasan. Tapi melihat Ethan yang sedang berjuang menahan sakit, semua kata itu tertahan di bibir. Akhirnya, ia hanya berkata pelan,
“Cepat sembuh, ya, Ethan. Daddy masih banyak janji sama kamu.”
Ethan tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. “Siap, Daddy.”
Kinara menunduk, menyembunyikan ekspresi yang sulit dijelaskan. Dan Arvino hanya bisa duduk diam, menatap anak itu, anak yang entah kenapa terasa begitu dekat, begitu mirip dengan masa lalu yang selama ini ia kira sudah berakhir.
'Andai, Tuan Arvino benar-benar Daddy Ethan. Ethan pasti sangat senang,' batin Kinara meremas jari jemarinya sendiri.
Punya karya baru ini, boleh dong ramaikan!!!
tp lbih bgus skr lgsg d pecat
udah salah belaga playing victim lagi
Zaki.... segera urus semua berkas pernikahan Arvino dan Kinara .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
dan Arvino harus pantau terus Kinara dan Ethan di manapun mereka berada . karena Savira dan Andrian selalu mengikuti mereka dan mencari celah untuk menghasut Kinara .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
up LG Thor 😍