Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.
Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Malam itu, udara terasa berbeda.
Dingin, tetapi bukan dingin yang membuat tubuh menggigil, melainkan dingin yang membuat hati seperti mengkerut tanpa alasan.
Nayla mengemudikan mobil perlahan.
Lampu jalan memantul di kaca depan seperti kilasan-kilasan yang tidak ia pedulikan. Dia menatap lurus ke arah jalan, sementara pikirannya berputar-putar di tempat yang sama.
Kantor Anton berada di sebuah gedung tinggi, bagian dari kawasan perkantoran yang biasanya ramai siang hari. Tapi malam itu, gedung tampak sunyi.
Hanya beberapa lantai yang lampunya masih menyala.
Gedung itu terlihat megah, tapi sekaligus terlihat asing untuk Nayla. Nayla memarkir mobilnya di area visitor yang sudah kosong. Dia mematikan mesin, namun tidak langsung keluar. Dia memandangi gedung itu selama beberapa detik.
“Anton kamu benar ada di sini kan?” bisiknya lirih.
Nayla menarik napas panjang, lalu turun dari mobil. Langkahnya terdengar jelas di antara kesunyian malam. Di lobi, satpam yang berjaga tampak terkejut melihat ada wanita datang malam-malam begini.
“Ibu Nayla ada perlu? Gedung sudah mau tutup,” kata satpam itu sopan.
“Pak Anton masih lembur, Pak?” jawab Nayla, berusaha tersenyum.
“Oh! Iya, Bu. Bapak masih ada di ruangannya.” Ekspresi satpam itu langsung berubah seolah semuanya masuk akal. Tentu dia kenal pada Nayla, karena Anton adalah pemilik perusahaan.
“Terima kasih,” ucap Nayla pelan.
Nayla masuk ke lift. Ketika pintu lift tertutup, suara napasnya sendiri terdengar sangat jelas.
Ting—
Ting—
Ting—
Lampu yang menunjukkan lantai menyala satu per satu, seperti hitungan mundur menuju sesuatu yang Nayla belum siap temui. Saat lift berhenti di lantai delapan, Nayla sempat ragu. Tapi pintu sudah terlanjur terbuka.
Lorong lantai delapan senyap.
Beberapa meja di area kerja terbuka masih menyala lampunya, tapi tidak ada seorang pun. Hanya suara AC sentral yang bergema halus.
Ruang Anton berada di sudut, ruangan kaca dengan blinds yang setengah tertutup. Nayla berjalan pelan-pelan.
Setiap langkah membuat dadanya semakin sesak.
Dan ketika dia semakin dekat, dia mendengar sesuatu. Bukan suara orang, bukan suara tawa, dan bukan percakapan.
Hanya suara benda bergerak. Suara kursi yang digeser dan suara kertas yang dirapikan terburu-buru. Nayla menahan napas. Tangan kanannya gemetar sedikit saat hendak mengetuk pintu, tapi ia akhirnya mengetuk sekali.
Tok… tok…
Suara di dalam langsung berhenti.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka.
Anton berdiri di sana. Kemejanya berantakan dengan kancing bagian atas terbuka. Lengan kemeja terlipat tidak rapi, seolah baru saja dipakai kembali. Wajah Anton terkejut. Tapi bukan terkejut yang mencurigakan,lebih seperti terkejut melihat Nayla muncul tanpa memberi kabar.
“Nayla?” suaranya tercekat. “Sayang, kamu ngapain di sini?”
Nayla menatap kemeja itu dulu.
Lalu menatap mata Anton.
“Aku cuma mau lihat kamu,” jawab Nayla, suaranya hampir tidak terdengar.
Anton buru-buru merapikan kemejanya. “Maaf, ini tadi aku merasa gerah. AC di ruangan aneh, panas banget.” Penjelasan yang terlalu cepat.
Terlalu siap dan terlalu panjang untuk sesuatu yang sederhana.
Nayla tidak langsung membalas. Dia menoleh pelan, matanya menelusuri ruangan di balik Anton. Meja kerja berantakan, blazer Anton tergantung sembarangan di kursi, dan segelas air mineral yang masih basah di bagian luarnya, seolah baru diletakkan.
Tidak ada orang lain ataupun benda mencurigakan. Tapi ada hal kecil yang membuat Nayla terpaku, Aroma parfum wanita. Sangat samar dan hampir tidak tercium. Namun tidak berasal dari dirinya.
Anton menyadari tatapan Nayla yang lama. Dia menelan ludah.
“Kamu tiba-tiba datang. Ada apa?” tanya Anton hati-hati.
Nayla menggeleng dengan lemah. “Nggak. Nggak apa-apa. Aku cuma kangen.”
Anton tersenyum, mendekatinya, menyentuh pipinya pelan.
Garis wajahnya lembut, hangat seperti biasanya.
“Tadi aku mau pulang bentar lagi kok,” katanya. “Sudah hampir selesai.”
Nayla memaksa tersenyum. “Ya sudah. Aku nunggu di mobil.”
Anton mengangguk. Saat Nayla berbalik dan berjalan pergi, jantungnya terasa seperti jatuh berkeping-keping di lantai setiap langkah.
Ketika lift menutup kembali, ia memejamkan mata. Dalam pekatnya ruang kecil itu, dia menyadari sesuatu yang membuat napasnya tercekat.
Anton mungkin benar-benar lembur.
Anton mungkin benar-benar ada di ruangannya. Namun ada satu hal yang jelas tidak bisa ia abaikan, seseorang sempat berada di ruangan itu sebelum dirinya. Dan Anton sengaja memastikan tidak ada jejak yang tersisa.
Dalam perjalanan turun dengan lift, Nayla berdiri memunggungi pintu. Matanya menatap kosong ke depan, tapi bukan ruangan logam abu-abu itu yang ia lihat.
Melainkan bayangan Anton. Kemeja berantakan, rambut sedikit kusut, wajah terkejut yang seharusnya tidak seterkejut itu jika benar hanya lembur biasa.
Lift berhenti di lantai dasar. Ketika pintu terbuka, satpam yang sama masih duduk di mejanya.
“Sudah ketemu, Bu?” sapanya ramah.
Nayla mengangguk. “Iya. Terima kasih.”
Tapi saat ia berjalan melewati lobi yang sepi, Nayla merasakan tatapan satpam itu mengikuti langkahnya. Seolah ia tahu sesuatu. Atau mungkin itu hanya perasaan Nayla, perasaan yang semakin sensitif sejak kebohongan kecil pertama Anton.
Udara malam menyambut ketika ia keluar gedung. Hawanya dingin, namun ada rasa panas aneh di dadanya. Campuran marah, takut, dan malu terhadap dirinya sendiri.
Ia masuk ke mobil, menutup pintu, lalu menunduk.
Dari sini, dari dalam mobil,kantor Anton terlihat seperti bangunan besar penuh rahasia. Jendela lantai delapan masih menyala. Siluet seseorang bergerak di balik blinds yang tertutup sebagian.
Anton atau seseorang lainnya?
Nayla mengusap wajah dengan kedua tangan. Dalam remangnya lampu dashboard, ia menatap bayangannya di kaca depan. Matanya sembab, tapi bukan karena menangis, lebih karena menahan tangis.
Ia ingin marah dan ingin berteriak. Dia menuntut penjelasan. Tapi yang keluar hanya bisikan lirih.
“Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dari aku, Mas…”
Pikirannya kembali ke aroma samar parfum wanita yang menempel di udara ruangan Anton. Aroma yang tidak seharusnya ada di kantor malam-malam begini.
Ia memejamkan mata. Mencoba tidak berpikir macam-macam dan memaafkan segala kemungkinan-kemungkinan buruk.
Tapi ada bagian dalam dirinya yang berbisik, lalu kenapa kemejanya bisa semeraut begitu? Kenapa dia sampai lupa merapikan kancingnya? Kenapa suaranya terdengar seperti orang yang baru saja menutupi sesuatu?
Tak berapa lama, Anton tampak keluar dari lobi kantor. Dia mendatangi mobil yang dikendarai Nayla. Kemudian membuka pintunya.
“Sayang, kamu jalan aja duluan, ya. Aku nyusul pakai mobilku dibelakang kamu.” kata Anton sambil tersenyum.
“Oke.” Jawab Nayla tanpa ekspresi yang diinginkan oleh Anton.
Anton menutup kembali pintu mobil ketika Nayla menyalakan mesin mobil. Dia memastikan Anton naik ke mobilnya sendirian terlebih dulu, baru dia menginjak gas mobil meninggalkan area parkir. Di sepanjang jalan, pikiran Nayla terus saja berkecamuk hebat.
“Siapa perempuan yang berada di ruangan Anton sebelum aku datang?”