Ketika cinta datang dari arah yang salah, tiga hati harus memilih siapa yang harus bahagia dan siapa yang harus terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santika Rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4
Suasana di dalam mobil itu sunyi. Hanya suara AC dan gesekan ban dengan aspal yang terdengar. Alleta bersandar pada jendela, memandangi langit sore yang berangsur gelap. Rasa pusingnya memang masih ada sedikit, tapi ia lebih sibuk menahan rasa canggung.
Sagara mengemudi tanpa banyak ekspresi, satu tangan di setir, satu lagi menopang dagu malas. Tatapannya lurus ke depan, dingin seperti biasanya.
Beberapa menit berlalu sebelum Alleta akhirnya menyadari sesuatu.
“Lo tau rumah gue?” tanyanya pelan namun heran.
“Enggak,” jawab Sagara datar, tak menoleh sedikit pun.
Alleta memutar tubuh cepat, melongo. “Terus kenapa ga nanya??”
“Nanti juga kalo udah lewat rumah lo, lo bakal minta gue berhenti,” balasnya tenang, seolah semua sudah terkendali.
Alleta mengerjap, bingung antara mau kesal atau tertawa. “Tapi ini bukan arah rumah gue..” protesnya.
“Iya, gue tau.”
Jawaban itu membuat Alleta semakin kebingungan. Sagara terlihat terlalu santai untuk seseorang yang salah arah.
Hening lagi.
Hingga mobil itu akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan besar bercahaya putih.
Rumah sakit.
Alleta langsung menoleh cepat ke arahnya. “Kita ngapain kesini?”
Sagara mematikan mesin mobil lalu menatapnya singkat.
“Bu Dina bilang, kalo lo masih pusing, harus diperiksa bagian dalamnya juga. Lo lupa?” katanya datar.
“Tapi gue udah baik-baik aj—”
“Ga ada tapi-tapi,” potong Sagara tegas. “Pokoknya lo diperiksa. Gue ga mau nanti tiba-tiba lo gegar otak terus nyari gue buat tanggung jawab.”
Nada suaranya ketus. Tapi… khawatir. Dan itu yang membuat Alleta terdiam.
Alleta memelototinya. “Lo!”
Baru mau ngamuk, tapi pemuda itu sudah turun duluan dari mobil dengan gerakan cepat, menghentikan semua protesnya.
Sagara membuka pintu sisi penumpang dan menatapnya sambil menaruh kedua tangan di pinggang.
“Lo mau turun sendiri atau gue gendong?”
Alleta berkedip tak percaya, dia kemudian menoleh ke arah Sagara.
Sagara mengangkat alis. “Mau gue gendong beneran?, badan Lo kecil kecil gini berat tau...”
Alleta mendengus keras. Pipi memanas, ya perempuan mana yang tidak tersinggung jika dikatai fisiknya?.
“Gue bisa jalan sendiri lah!” serunya sambil cepat-cepat turun dari mobil.
Begitu melangkah masuk ke lobby rumah sakit, aroma antiseptik langsung memenuhi indera penciuman Alleta. Ruangan itu cukup ramai. Beberapa pasien duduk dengan ekspresi letih, beberapa lagi dipanggil oleh perawat yang sibuk mondar-mandir.
Sagara segera mengarahkan Alleta menuju kursi tunggu.“Lo duduk dulu di sini,” ucapnya singkat.
Tanpa menunggu respon, ia langsung menuju meja pendaftaran. Alleta memperhatikannya dari kejauhan, cara Sagara bicara pada petugas, gaya berdirinya yang tegas namun tetap sopan. Ekspresinya serius, seolah tidak ada ruang untuk bercanda.
Setelah proses pendaftaran selesai, Sagara kembali dan duduk di kursi tepat di sebelah Alleta.
Ia menatap Alleta sekilas, memperhatikan wajahnya.
“Masih pusing?” tanyanya, suara lebih lembut dari biasanya.
“Enggak sih… udah mendingan,” jawab Alleta sambil mengusap pelipisnya yang masih sedikit nyut-nyutan.
Sagara mengangguk kecil, namun sorot matanya tidak berkurang khawatirnya.
Alleta yang semula menatap lantai kini melirik ke pemuda itu dari sudut mata.
Sulit untuk tetap kesal saat Sagara seperti ini, perhatian, tenang, dan… tampan.
Kenapa dia bisa berubah secepat itu?
Barusan di sekolah ia terlihat dingin dan ketus… tapi sekarang?
Belum sempat ia memperpanjang pikiran, suara perawat memanggil nama lengkapnya terdengar.
“Alleta Cassandra Sabiru..”
Sagara langsung berdiri duluan. Ia menunduk sedikit, menatap Alleta.
“Ayo.”
Ia mengulurkan tangan, namun Alleta hanya menatapnya bingung.
Dengan gerakan refleks dan tanpa banyak kata, Sagara membantu Alleta berdiri. Tangannya menahan siku Alleta dengan mantap, memastikan gadis itu tidak kehilangan keseimbangan.
Di dalam ruang periksa yang dingin dan berbau antiseptik, dokter sudah duduk di depan meja dengan berkas di tangan. Sagara berdiri di sisi Alleta, sedikit condong ke depan seolah ingin memastikan setiap detail tertangkap oleh dokter.
“Yadi dia kena lempar bola basket di bagian kepala,” jelas Sagara dengan nada serius.
“Abis itu dia sempet jatuh, pingsan sebentar.”
Dokter mengangguk sambil mencatat.
“Baik. Ada mual? Pandangan sempat buram?” tanyanya pada Alleta.
Alleta menelan ludah. “Agak pusing tadi… tapi sekarang udah mendingan, Dok.”
Dokter kemudian memeriksa bagian kepala dan pelipis yang memar, menyorotkan senter kecil ke arah mata Alleta untuk mengecek respons.
“Hmm… nggak ada tanda luka dalam,” simpul dokter akhirnya. “Cuma lebam ringan dan mungkin kelelahan. Kamu butuh istirahat. Saya kasih obat pereda nyeri sama vitamin, ya.”
Alleta mengangguk pelan.
“Makasih, Dok.”
Setelah pemeriksaan selesai, Sagara langsung mngulurkan tangannya untuk membantu Alleta.
“Udah kan?” tanyanya sambil memastikan Alleta berdiri dengan stabil.
“Udah,” jawab gadis itu singkat.
Mereka berjalan keluar ruangan. Sagara kembali berada sedikit di depan, satu tangan terulur ke belakang seolah siap menangkap Alleta lagi kalau tiba-tiba lemas. Bukan kata-kata… tapi tindakannya menunjukkan kepedulian yang sulit dibantah.
Begitu pintu tertutup di belakang mereka, Alleta menghela napas lega. Ruangan itu membuatnya gugup, tapi entah kenapa… jarak Sagara yang begitu dekat justru membuat jantungnya makin tidak karuan.
Sagara melirik sebentar ke arahnya.
“Sekarang apotek dulu,” ucapnya singkat.
Tidak ada pertanyaan. Tidak ada pilihan.
Seakan semua keputusan hari ini sudah diambil olehnya.
Alleta mengangguk lagi, meski dalam hati ia bergumam…
Cowok ini… kenapa sih kadang ngeselin, tapi tiba-tiba perhatian, seolah mau tanggung jawab atas dunia?
Mereka lalu melanjutkan langkah menuju bagian farmasi. Setelah menebus obat, mereka berjalan beriringan menuju area parkir.
“Oh ya, kok lo bisa tau nama lengkap gue?” tanya Alleta tiba-tiba, menoleh sekilas pada Sagara. Barulah ia teringat, mereka bahkan belum pernah benar-benar saling berkenalan, tapi saat pendaftaran tadi lelaki itu sudah menyebutkan nama lengkapnya.
Sagara menoleh santai, satu tangannya masuk ke saku jaket. “Baju lo ada name tag-nya,” jawabnya singkat.
Alleta spontan melihat ke arah nama yang tertera di dadanya.“Ohh…” gumamnya canggung. Kenapa ga kepikiran?.
Perjalanan pulang berlangsung dalam keheningan yang nyaman. Langit sore mulai memudar, meninggalkan warna jingga lembut yang memantul pada kaca mobil. Dari speaker, lagu Laskar Pelangi mengalun pelan, mengisi suasana dengan ketenangan yang tak terucapkan.
Sagara fokus pada jalan, sementara Alleta bersandar ringan pada kursinya, menatap keluar jendela. Udara di dalam mobil terasa teduh, seperti semuanya sudah kembali baik-baik saja.
Hingga..
Griukk…
Suara dari perut Alleta terdengar cukup jelas untuk memecah ketenangan itu.
Mata Alleta langsung membesar. Refleks, ia menangkupkan tangan di atas perutnya, seakan itu bisa menghapus apa yang baru saja terjadi.
Sagara menoleh sekilas dan tertawa kecil, tawa yang terdengar ringan tapi sukses membuat wajah Alleta memanas.
“Lo laper?” tanyanya sambil kembali menatap jalan.
“Engga..” jawab Alleta cepat, terlalu cepat untuk tidak mencurigakan.
Sagara mengangkat alis.
“Udah jelas kedengeran gitu, ga usah malu-malu.”
Alleta memalingkan wajah, pura-pura melihat keluar jendela lagi, berharap angin sore bisa meniup rasa malunya pergi.
Beberapa menit berlalu tanpa percakapan berarti, hingga tiba-tiba Sagara memutar setir dan membelokkan mobil ke sebuah area parkir restoran. Lampu-lampu hangat terpancar dari dalam, menandai tempat yang cukup nyaman untuk bersinggah.
Alleta spontan menoleh, alisnya terangkat.
“Gue ga terlalu laper… nanti gue makan di rumah aja,” ucapnya berusaha menolak secara halus.
Sagara hanya menatapnya sekilas sambil membuka sabuk pengaman. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya.“Ga usah kepedean. Gue yang laper.”
Dengan santainya dia langsung keluar dari mobil tanpa menunggu jawaban.
Alleta terdiam, mulutnya sedikit terbuka, baru saja tadi Sagara terlihat begitu perhatian, sekarang dia kembali jadi sosok menyebalkan itu.
Sagara menunduk dari luar mobil, mengetuk kaca dengan jarinya.“Lo mau disini? Gue bakal lama di dalem…” katanya santai namun jelas memancing.
Pilihan yang jelas bukan pilihan.
Dengan berat hati, Alleta akhirnya membuka pintu dan turun.
Begitu pintu tertutup, Sagara langsung berjalan menuju pintu restoran tanpa menoleh lagi.
Alleta hanya bisa menghela napas panjang kemudian mengikuti langkah pemuda itu dari belakang, seolah sudah terbiasa berada dalam arus yang selalu ditentukan Sagara.
Dalam hati, ia menggerutu.
Kenapa juga gue nurut mulu sama dia?
Namun langkahnya tetap mengikuti, entah karena malas berdebat, atau ya, Alleta memang lapar.
Di dalam restoran, suasananya hangat dan tak terlalu ramai. Mereka duduk di meja dekat jendela, lampu gantung di atas kepala memantulkan cahaya keemasan pada wajah keduanya.
Sagara membuka menu, melirik Alleta yang hanya menatap meja tanpa minat.
“Lo mau pesen apa?” tanyanya.
Alleta mengangkat bahu. “Terserah…”
Sagara langsung mendecak pelan. “Dasar cewek…” gumamnya sambil menggeleng kecil.
Tanpa banyak bimbang dia memanggil pelayan yang menghampiri dengan catatan di tangan.
“Dua pasta carbonara. Satu coklat hangat, satu coklat dingin,” ucap Sagara mantap sambil menutup menu, lalu menyerahkannya kembali.
Pelayan itu mengangguk. “Baik, tunggu sebentar ya, Kak.”
Saat menunggu makanan datang, suasana masih dipenuhi keheningan yang canggung. Tiba-tiba ponsel di saku rok Alleta bergetar dan berdering. Ia buru-buruh merogoh saku lalu mengangkat panggilan itu.
“Halo…?” ucapnya pelan.
“Non…, udah jam segini. Non di mana??” terdengar suara Bi Maya yang sangat khawatir di seberang sana.
Alleta langsung menegakkan duduknya. “Ini, Alleta lagi di restoran… sama temen. Nggak usah khawatir, bentar abis makan Alleta pulang.”
“Oh, yaudah. Hati-hati ya Non pulangnya…”
Nada Bi Maya terdengar sedikit lega.
“Iya, Bi…” sahut Alleta sebelum menutup telepon.
Begitu panggilan berakhir, Sagara yang sejak tadi memperhatikannya bertanya datar,
“Siapa?”
“Bibi…” jawab Alleta singkat, menaruh ponselnya kembali di atas meja.
Sagara hanya mengangguk kecil. Tak lama kemudian, pelayan kembali dengan langkah ringan sambil membawa pesanan mereka. Dengan hati-hati ia menata dua piring pasta di depan mereka, lalu dua gelas coklat, yang satu hangat, yang lain dingin.
Sagara menukar posisi gelasnya, lalu meletakkan coklat hangat tepat di depan Alleta.
“Nih.” katanya singkat. “Lo masih sakit, jangan minum yang dingin-dingin.”
Tingkahnya kembali membuat Alleta terdiam sejenak sebelum akhirnya membalas pelan,
“Makasih…”
Pelayan itu tampak tersenyum ramah sebelum akhirnya kembali membuka suara,
“Oh iya, Kak. Dalam rangka ulang tahun restoran kami, ada challenge nih. Untuk foto couple paling romantis bakal dapat gift spesial. Caranya tinggal selfie berdua, upload ke Instagram Story, terus tag restoran kami.”
Alleta refleks menoleh cepat ke arah Sagara yang hanya menatap si pelayan tanpa ekspresi.
“Hehe… kami bukan couple kak…” ucap Alleta tergagap dan jelas canggung.
Pelayan itu hanya terkekeh, menatap mereka bergantian dengan tatapan penuh arti.
“Oh… baik kalau begitu. Tapi kalau mau ikutan, nanti panggil kami ya!” ujarnya mengedip ceria sebelum pergi.
Alleta ingin segera menyembunyikan wajahnya ke dalam piring pasta karena malu.
Sementara Sagara hanya menahan senyum samar, nyaris tak terlihat.
Setelah pelayan itu pergi, suasana kembali hening. Canggung. Alleta menunduk, memutar garpu dan mulai melahap pasta di hadapannya, berusaha terlihat biasa saja, meskipun degup jantungnya masih belum stabil.
“Oh ya,” akhirnya ia bersuara lirih, hanya untuk memecah sunyi, “tadi gue denger Lo ga jadi gabung tim basket… kenapa?”
Sagara yang sedang memotong pastanya berhenti sejenak. Ia mengangkat wajah dan menatap Alleta.
Tatapannya tenang… terlalu tenang.
“Males.” jawabnya singkat.
“Hah?” Alleta mengernyit bingung.
“Kalo gue jelasin juga lo ga bakal ngerti.” Sagara menyender pada kursinya, memainkan gelas coklat dinginnya dengan satu tangan.“Gue ga berbakat main basket.”
Jawaban itu terdengar datar, tapi ada sedikit getir di dalamnya, sesuatu yang tak ingin ia jelaskan lebih jauh.
Alleta mengunyah pelan sambil memperhatikan ekspresi pemuda itu. Meski dingin, terlihat jelas kalau sebenarnya ia masih memikirkan kejadian tadi di UKS.
“Padahal Lo keliatan jago.” gumam Alleta, tanpa sadar tersenyum kecil.
Sagara meliriknya.
“Lo ngeliatin gue?”
Alleta langsung tersedak kecil saking kagetnya.
“Eh..bukan! Maksud gue… semua orang juga liat! Lo mencolok… pake baju putih abu pula di tengah pemain yang pake seragam olahraga… ya otomatis keliatan!”
Sagara terkekeh pelan, suara tawa yang sangat tipis tapi cukup membuat Alleta terpaku untuk sesaat.
Setelah membayar, keduanya melangkah keluar dari restoran. Tidak ada lagi musik lembut yang mengalun.Hanya suara kendaraan yang saling bersahutan, dan langkah mereka yang terdengar pelan menyusuri trotoar menuju mobil.
Setibanya di rumah Alleta, gerbang besar itu terbuka otomatis. Mobil perlahan masuk ke dalam pekarangan megah yang diterangi lampu taman.
Begitu mobil berhenti, Alleta buru-buru melepas seatbelt dan turun.
“Thanks ya…” ucapnya sambil menatap Sagara dari pintu mobil yang terbuka.
Pemuda itu memiringkan kepala, masih duduk di belakang kemudi.
“Buat apa?” tanyanya datar.
“Buat hari ini…”
Alleta sedikit mengernyit, heran kenapa ia masih bertanya.
Sagara malah menanggapinya dengan nada hampir menggoda, “Buat bola yang gue lempar kena kepala lo?”
“Engga,” Alleta langsung menggeleng, kali ini senyumnya muncul tanpa bisa ia tahan.
“Buat… nganter gue ke rumah sakit, ngajak makan, terus nganter pulang. Pokoknya semuanya. Makasih.”
Sagara menatap gadis itu tanpa ekspresi untuk beberapa detik.Tapi matanya… terlihat sedikit lebih lembut daripada biasanya.
“Ga usah makasih.” ujarnya akhirnya.
“Itu bentuk tanggung jawab gue.”
Ia mengambil sesuatu dari dasboard mobil lalu mengulurkannya.“Nih. Obat lo. Jangan lupa diminum.”
“Oh..iya. Thanks.”
Alleta menerima bungkus obat itu dengan kedua tangan.
Sagara mengangguk singkat.
Tidak ada kata perpisahan yang manis, tidak juga senyum panjang. Setelah pintu mobil ditutup, mesin mobil kembali menyala dan perlahan meninggalkan pekarangan rumah Alleta.
Bersambung...
“Terkadang, perhatian yang paling tulus datang dari seseorang yang tak pernah kita duga.”