NovelToon NovelToon
Kisah Singkat Chen Huang

Kisah Singkat Chen Huang

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Ahli Bela Diri Kuno
Popularitas:48k
Nilai: 4.3
Nama Author: DANTE-KUN

Chen Huang, seorang remaja berusia 15 tahun, menjalani hidup sederhana sebagai buruh tani bersama kedua orang tuanya di Desa Bunga Matahari. Meski hidup dalam kemiskinan dan penuh keterbatasan, ia tak pernah kehilangan semangat untuk mengubah nasib. Setiap hari, ia bekerja keras di ladang, menanam dan memanen, sambil menyisihkan sebagian kecil hasil upahnya untuk sebuah tujuan besar: pergi ke Kota Chengdu dan masuk ke Akademi Xin. Namun, perjalanan Chen Huang tidaklah mudah. Di tengah perjuangan melawan kelelahan dan ejekan orang-orang yang meremehkannya, ia harus membuktikan bahwa mimpi besar tak hanya milik mereka yang berkecukupan. Akankah Chen Huang berhasil keluar dari jerat kemiskinan dan menggapai impiannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Eps 21 — Arena

Langkah Tetua Yan mantap saat memimpin rombongan 30 kandidat menuju sebuah arena besar di Akademi Xin. Bangunan megah dengan arsitektur khas benua Dong itu memancarkan aura kekuatan dan kedisiplinan. Suara langkah kaki para kandidat menggema di lorong-lorong batu menuju arena, menunjukkan kombinasi rasa tegang dan antusiasme.

Saat mereka tiba di arena, para kandidat tertegun melihat tempat itu. Arena ini lebih besar dari yang mereka bayangkan, dengan tribun yang penuh dengan murid Akademi Xin yang tampak penasaran melihat ujian kelayakan ini. Di tengah-tengah arena, sebuah lingkaran besar terbuat dari batu hitam kokoh menjadi pusat perhatian.

Tetua Yan berhenti di tepi arena, lalu menoleh ke arah para kandidat. “Ujian ini adalah puncak dari semuanya. Gaya bertarung kalian akan menjadi penentu akhir. Bukan hanya teknik yang akan dinilai, tetapi juga kreativitas, strategi, dan efisiensi kalian dalam mengelola energi. Keempat tetua akan mengevaluasi secara menyeluruh.”

Saat itu, ketiga tetua akademi muncul satu per satu, berjalan dengan aura yang mendominasi. Mereka duduk di kursi yang menghadap langsung ke arena, memberi tekanan besar pada para kandidat.

Tetua Yan melanjutkan penjelasannya. “Instruktur yang akan kalian hadapi adalah praktisi berpengalaman. Mereka tidak akan menyerang, hanya bertahan. Tugas kalian adalah menunjukkan semua kemampuan terbaik kalian untuk menekan mereka sebanyak mungkin. Jangan menahan diri, tetapi juga jangan sembrono.”

Kemudian, Tetua Yan menunjuk seorang pria berbadan besar dengan jubah instruktur berwarna biru tua. “Inilah instruktur pertama. Dia akan menghadapi sepuluh kandidat pertama. Setelah itu, instruktur lain akan bergantian.”

Para kandidat mulai merasa gugup, tetapi Tetua Yan melanjutkan dengan tenang, “Semua gaya bertarung kalian akan dinilai secara komprehensif, jadi manfaatkan setiap detik dengan baik.”

Murid-murid Akademi Xin di tribun mulai bergosip, membicarakan kandidat yang menurut mereka menarik. Nama seperti Chen Huang, Ning Xue, dan Shen Lu kembali menjadi bahan perbincangan.

“Menurutmu, siapa yang bakal bersinar di ujian ini?” bisik seorang murid.

“Aku bertaruh pada Chen Huang. Dia punya akar spiritual superior. Tapi Shen Lu juga tidak bisa diremehkan,” jawab temannya.

Chen Huang dan Ning Xue berdiri berdampingan, memperhatikan suasana sekitar. Ning Xue berbisik, “Tekanan di sini berbeda. Semua mata tertuju pada kita.”

Chen Huang menoleh padanya, memberikan senyum yang menenangkan. “Anggap saja seperti ujian sebelumnya. Lakukan yang terbaik, dan biarkan hasilnya berbicara.”

Tetua Yan akhirnya memberikan aba-aba kepada kandidat pertama untuk maju ke arena. Dengan napas yang berat tetapi penuh tekad, ujian dimulai. Para kandidat akan menunjukkan kemampuan mereka satu per satu, di bawah pengawasan ketat keempat tetua.

Seorang pria bertubuh kekar melangkah ke tengah arena. Sorotan mata para murid Akademi Xin tertuju padanya. Di tangannya tergenggam erat sebuah tongkat merah yang terlihat berat, seolah dibuat khusus untuk menonjolkan kekuatannya. Langkahnya mantap, dan auranya yang kasar membuat suasana di sekelilingnya sedikit tegang.

Tetua Yan mengamati dengan seksama. "Silakan mulai," katanya dengan suara lantang.

Pria itu mengangkat tongkat merahnya tinggi-tinggi. "Huaaah!" teriaknya, meluapkan semangatnya sebelum menyerang instruktur yang sudah siap menahan di ujung arena. Dengan langkah cepat, dia maju sambil mengayunkan tongkatnya ke bawah dengan kekuatan penuh. BAM! Suara benturan keras terdengar saat instruktur menahan tongkat itu dengan pergelangan tangannya yang bersarung pelindung.

"Serangannya kuat, tapi terlalu kasar," komentar salah satu murid yang menonton.

Pria itu tidak menyerah. Dia memutar tongkatnya dengan cepat, mencoba menghantam sisi kiri tubuh instruktur. SWOSH! BAM! Lagi-lagi instruktur menahan serangan itu dengan santai, tetapi tongkat itu cukup berat hingga meninggalkan jejak kecil di lantai arena.

Tetua Yan mencatat sesuatu di catatan kecilnya. "Stamina bagus, tetapi dia kehilangan efisiensi dalam menyerang."

Setelah beberapa menit, pria itu kelelahan dan memberi salam kepada instruktur, tanda bahwa waktunya telah habis. Ia kembali ke tempatnya dengan nafas tersengal, tetapi ekspresi wajahnya puas.

Giliran berikutnya adalah seorang wanita bernama Yu Qiao. Tubuhnya ramping, rambut hitamnya diikat ke belakang dengan rapi, dan pedang tipis berkilauan tergenggam di tangannya. Sorak-sorai kecil terdengar dari beberapa murid yang mengagumi kecantikannya.

"Giliran saya," katanya lembut namun penuh percaya diri.

Dia berdiri di tengah arena dengan sikap tenang. Mata tajamnya mengamati instruktur di depannya. Saat tetua Yan memberi isyarat untuk mulai, dia langsung melangkah maju dengan elegan. Pedangnya bergerak cepat, menciptakan kilatan cahaya di udara.

"Clang! Clang! Clang!" Suara logam beradu terdengar saat instruktur menangkis serangannya dengan gerakan terukur. Tidak seperti pria sebelumnya, Yu Qiao tidak menggunakan tenaga berlebihan. Sebaliknya, setiap serangannya terarah dan presisi. Dia memutar tubuhnya dengan gesit, menebaskan pedangnya dari sudut yang sulit ditebak.

"Indah sekali," gumam Ning Xue yang menonton dari pinggir arena.

Instruktur mencoba menekan Yu Qiao dengan langkah maju, tetapi dia segera mundur dengan gerakan ringan, menjaga jarak tanpa kehilangan ritme. Sesekali, dia berputar untuk menambah momentum pada tebasannya, yang membuat beberapa penonton terkesima.

Tetua Yan tersenyum kecil. "Dia tahu bagaimana mengontrol ritme pertarungan. Luar biasa untuk seorang pemula di ranah Pengumpulan Energi."

Setelah waktu habis, Yu Qiao memberikan salam hormat kepada instruktur. Ia berjalan kembali ke tempatnya, disambut tepuk tangan pelan dari beberapa murid yang terpesona dengan penampilannya. Tetua Yan mencatat sesuatu dengan serius sebelum memanggil peserta berikutnya.

...

Tetua Yan berdiri tegak di tepi arena, matanya yang tajam menatap daftar kandidat di tangannya. Ia mengangguk pelan, lalu mengumumkan dengan suara yang menggema, “Shen Lu, maju!”

Sorak-sorai kecil terdengar dari tribun, terutama dari murid-murid yang sudah mendengar nama Shen Lu sebagai kandidat dengan potensi menarik meski baru berada di ranah Pengumpulan Energi tahap awal. Seorang pemuda berjubah abu-abu sederhana melangkah ke tengah arena. Rambutnya yang sedikit acak-acakan tergerai di dahi, namun matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan.

Di tangan kanannya, ia menggenggam pedang lurus dengan gagang hitam sederhana, bilahnya berkilau tipis di bawah sinar matahari. Pedang itu tidak mewah, tapi ada aura ketajaman yang tersembunyi di dalamnya—Pedang Pemecah Ombak, senjata yang Shen Lu pilih untuk mewakili semangatnya yang tak kenal menyerah.

Langkahnya mantap namun tidak terburu-buru, setiap tapak kakinya di batu hitam arena menghasilkan suara yang bergema pelan, seolah menandakan detak jantungnya yang berdentum keras.

Shen Lu berhenti di tengah lingkaran, menatap instruktur di depannya—pria berbadan besar dengan jubah biru tua yang sama seperti sebelumnya. Instruktur itu berdiri dengan tangan terlipat, auranya tenang namun menekan, seperti gunung yang tak tergoyahkan.

Di pinggir arena, Chen Huang dan Ning Xue memperhatikan dengan penuh perhatian. “Dia kelihatan tenang, tapi aku bisa merasakan dia gugup,” gumam Ning Xue, tangannya meremas lengan jubahnya.

Chen Huang hanya mengangguk, matanya terpaku pada Shen Lu. “Kita lihat apa yang dia bawa ke arena ini.”

Tetua Yan mengangkat tangan, memberi isyarat. “Silakan mulai!” suaranya mengguncang udara, dan seketika arena menjadi sunyi, semua mata tertuju pada Shen Lu.

Shen Lu menarik napas dalam-dalam, dadanya naik-turun sejenak. Fwoosh… Suara napasnya terdengar pelan di telinganya sendiri, seolah memusatkan seluruh kesadarannya.

Dia tahu batasannya—berada di ranah Pengumpulan Energi tahap awal, energi spiritualnya hanya cukup untuk satu serangan penuh. Satu kesempatan. Satu momen untuk membuktikan dirinya di hadapan tetua, instruktur, dan ratusan murid yang menonton.

Dengan gerakan perlahan, ia mengangkat Pedang Pemecah Ombak, memposisikan pedang itu di depan tubuhnya dengan kedua tangan menggenggam erat. Krrrt… Suara gesekan kecil terdengar saat jari-jarinya menyesuaikan cengkeraman pada gagang pedang.

Matanya menajam, menelusuri setiap detail dari sikap instruktur di depannya—kaki yang kokoh, tangan yang siap menangkis, dan aura yang seolah menantangnya untuk menyerang.

“Aku cuma punya satu kesempatan,” gumam Shen Lu dalam hati. “Jadi, aku akan membuatnya tak terlupakan.”

Tiba-tiba, auranya berubah. Wummm…

Gelombang energi spiritual yang tipis namun terfokus mulai mengalir dari tubuhnya, membungkus pedangnya dengan lapisan cahaya keperakan yang samar. Para penonton di tribun menahan napas, merasakan perubahan di udara. Ada sesuatu dalam fokus Shen Lu yang membuat suasana terasa berat.

“Dia… serius,” komentar Tetua Yan, alisnya sedikit terangkat, pena di tangannya berhenti mencatat.

Shen Lu melangkah maju, satu langkah yang mantap. Tap! Lalu, tanpa peringatan, ia berlari ke depan dengan kecepatan mengejutkan untuk levelnya. Swish! Swish! Suara angin tersapu oleh gerakannya yang cepat, jubahnya berkibar liar. Instruktur mengangkat lengan bersarung pelindungnya, siap menahan serangan apa pun yang datang.

Namun, Shen Lu tidak langsung menyerang. Di tengah larinya, ia memutar tubuhnya dengan gesit, pedangnya ditarik ke samping seolah mengumpulkan momentum. Suara pedang yang bergetar pelan terdengar, seolah bilahnya sendiri merespons energi spiritual yang mengalir. Tiba-tiba, ia melompat rendah, kakinya mendarat dengan suara yang keras di batu hitam, dan dengan satu gerakan mulus, ia melepaskan serangan satu-satunya.

“HAAAA!” teriak Shen Lu, suaranya menggema di arena. Pedang Pemecah Ombak menebas ke depan dengan kekuatan penuh, energi spiritualnya meledak dalam bentuk busur cahaya keperakan yang tipis namun tajam. SHIIIING! Suara bilah yang memotong udara terdengar nyaring, diikuti oleh ZLEP! saat busur energi itu melesat menuju instruktur.

Instruktur bereaksi cepat, mengangkat kedua lengan untuk menahan. DUAR! Benturan keras mengguncang arena, menghasilkan gelombang kejut kecil yang membuat debu di sekitar lingkaran batu hitam beterbangan.

Para murid di tribun bersorak kaget, beberapa berdiri dari tempat duduk mereka. Busur energi itu tidak cukup kuat untuk mendorong instruktur mundur, tapi meninggalkan goresan kecil di pelindung lengannya—sesuatu yang tidak berhasil dilakukan kandidat sebelumnya.

Shen Lu mendarat dengan satu lutut menyentuh tanah, napasnya tersengal. Hah… hah… Pedangnya tertancap di batu hitam untuk menyangga tubuhnya yang kelelahan. Energi spiritualnya sudah habis, wajahnya pucat, tapi matanya masih menyala dengan semangat. Ia menoleh ke instruktur, yang kini menurunkan lengannya dan mengangguk kecil, seolah mengakui usaha Shen Lu.

“Serangan yang terfokus… untuk tahap awal, ini di luar dugaan,” gumam Tetua Yan, mencatat dengan cepat di bukunya. Tetua lainnya bertukar pandang, salah satunya mengangguk pelan sebagai tanda kagum.

“Wow… itu cuma satu serangan, tapi lihat efeknya!” seru seorang murid di tribun.

“Shen Lu… dia bener-bener punya nyali!” tambah yang lain, suaranya penuh antusiasme.

Di pinggir arena, Ning Xue menutup mulutnya, matanya melebar. “Dia… dia mempertaruhkan segalanya dalam satu tebasan.”

Chen Huang tersenyum kecil. “Itu bukan cuma tebasan biasa, tetapi tebasan yang memperlihatkan segalanya.”

Shen Lu bangkit perlahan, menarik pedangnya dari batu hitam. Ia memberi salam hormat kepada instruktur, lalu berjalan kembali ke tempatnya dengan langkah yang sedikit goyah tapi penuh harga diri. Sorak-sorai pelan dari tribun mengiringi langkahnya, dan untuk pertama kalinya, Shen Lu merasakan tatapan kagum dari para murid Akademi Xin.

Tetua Yan menutup bukunya sejenak, menatap Shen Lu dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kandidat berikutnya!” serunya, tapi di dalam hati, ia tahu nama Shen Lu baru saja meninggalkan kesan yang tak akan mudah dilupakan.

1
Aman 2016
tambah lagi updatenya Thor 💪💪
Faisal Sitompul
Buruk
Abi
dlm mimpi patriak
Eda Eda
👍
Ruslan Faisal
Luar biasa
Solar Lardi
lanjutkan 👍
Abi
macet macet
Yuga Pratama
kumat lagi
cman 1 cap
Solar Lardi
lanjutkan 👍👍
Abi
macet kh thor
Dante-Kun: Besok update
total 1 replies
Pecinta Gratisan
betul betul betul💞
Yuga Pratama
lanjoooiit
Yuga Pratama
becanda ni author
Solar Lardi
mantap 👍👍👍
Hendra Saja
mantab Thor jgn kasih kendor....
Hendra Saja
semangat up Thor....
Raizelparlindungan
ha.. cuma gitu🤣🤣🤣
Raizelparlindungan: 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Dante-Kun: 😂😂😂... Kalau diterusin mc nya mokad bang hahaha
total 2 replies
xiaoyu
ok
Aman 2016
jooooz jooooz gandos lanjut Thor 💪💪
Aman 2016
mantab Thor lanjut updatenya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!