Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Antara Logika dan Rasa
Ruangan VIP Grand Convention Hall itu hening, kontras dengan keriuhan festival di luar. AC sentral berdesis pelan, mendinginkan suhu ruangan, namun gagal mendinginkan ketegangan di antara dua orang dewasa yang berdiri berjauhan.
Nando duduk di sofa empuk sambil memakan cokelat batang yang diberikan sekretaris Adit tadi. Ia menggoyangkan kakinya dengan riang, tidak menyadari badai emosi yang sedang terjadi di antara ibunya dan "Om Kue Cokelat".
"Nay..." Adit memecah keheningan. Ia berdiri di dekat jendela, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana—kebiasaan saat ia gugup.
"Jangan panggil nama panggilan saya, Pak," potong Nayla dingin. Ia berdiri memeluk tas selempangnya seolah itu perisai. "Bicara saja intinya. Bapak sudah memborong dagangan saya, jadi waktu saya milik Bapak sekarang. Apa yang Bapak inginkan?"
Adit menghela napas panjang. Sikap defensif Nayla melukainya, tapi ia pantas mendapatkannya.
"Saya minta maaf," ucap Adit tulus. "Saya minta maaf karena membohongi kamu soal siapa saya. Saya minta maaf karena bikin kamu malu di depan Vina. Dan saya minta maaf karena bikin kamu merasa kecil."
"Permintaan maaf diterima. Sekarang boleh saya pulang?"
"Nayla, tolong!" nada Adit meninggi sedikit karena frustrasi, lalu melembut lagi saat melihat Nando menoleh. "Tolong jangan tutup pintu secepat itu. Kasih saya kesempatan menjelaskan kenapa saya lakukan itu semua."
Nayla diam, menatap lantai karpet yang bermotif abstrak.
Adit melangkah mendekat, namun berhenti pada jarak aman.
"Nay, kamu tahu rasanya hidup di mana semua orang yang mendekatimu cuma mau uangmu? Atau mau koneksimu? Atau mau menjatuhkanmu?" tanya Adit lirih. "Selama sepuluh tahun saya pimpin perusahaan, saya nggak punya teman sejati. Wanita-wanita yang mendekati saya cuma lihat 'Aditya Rahardian si CEO', bukan Adit manusianya."
Adit menatap Nayla lekat.
"Waktu pertama kali kita ketemu di kafe, saat kamu tolong Mama... kamu nggak tau siapa kami. Kamu tolong Mama tulus. Kamu tolak uang imbalan saya. Detik itu saya sadar, kamu beda."
"Jadi Bapak jadikan saya eksperimen?" sela Nayla tajam. "Untuk ngetes apakah orang miskin punya hati?"
"Bukan eksperimen, Nay. Tapi pelarian," Adit menggeleng. "Saat saya jadi 'Mas Adit Staf Pengawas', saya merasa hidup. Makan nasi goreng di pantry sama kamu, dengerin cerita kamu soal Nando, naik ojol ujan-ujanan... itu momen paling bahagia saya dalam lima tahun terakhir. Saya nggak mau momen itu hilang kalau kamu tau siapa saya."
"Tapi akhirnya hilang juga kan?" Nayla mengangkat wajahnya. Matanya basah. "Kebohongan nggak akan pernah bisa jadi pondasi hubungan, Pak. Bapak bangun istana di atas pasir."
"Saya tahu. Saya salah. Makanya sekarang saya mau perbaiki. Saya mau mulai dari awal. Sebagai Aditya Rahardian."
Nayla tertawa getir. "Mulai dari awal? Bapak pikir semudah itu? Bapak itu CEO, saya penjual nasi uduk. Kita hidup di planet beda, Pak. Apa kata keluarga Bapak? Apa kata kolega Bapak? 'Liat tuh, Pak Adit pacaran sama janda miskin yang pendidikannya kalah jauh'."
"Saya nggak peduli kata orang!"
"SAYA PEDULI!" bentak Nayla, air matanya tumpah. "Saya punya harga diri, Pak! Saya nggak mau seumur hidup dianggap benalu yang nempel sama orang kaya! Saya nggak mau Nando tumbuh denger omongan kalau ibunya cuma manfaatin harta ayahnya!"
Ruangan itu kembali hening. Nando berhenti makan cokelat, menatap ibunya takut-takut.
Adit tertegun. Ia akhirnya mengerti. Ketakutan Nayla bukan pada uangnya, tapi pada harga dirinya. Nayla adalah wanita yang berjuang mati-matian untuk mandiri, dan kehadiran Adit mengancam kemandirian itu.
Adit berjalan perlahan menuju sofa tempat Nando duduk. Ia berlutut di depan Nando, mengusap kepala bocah itu, lalu menoleh ke Nayla.
"Nay, kamu tau siapa 'HambaAllah99' yang selalu borong nasi uduk kamu tiap Jumat?"
Nayla mengerutkan kening. "Maksud Bapak?"
"Itu saya."
Mata Nayla membelalak. "Apa...?"
"Saya yang pesen 50 kotak tiap minggu lewat Pak Ujang OB. Saya yang nulis ulasan itu. Saya makan nasi uduk buatan kamu tiap Jumat siang di ruangan saya yang dingin di lantai 40, sambil bayangin kita lagi makan bareng di pantry."
Nayla menutup mulutnya dengan tangan. Hatinya bergetar hebat. Pelanggan setia yang selalu mendoakannya itu... ternyata Adit.
"Saya lakuin itu bukan buat kasihani kamu," lanjut Adit lembut. "Tapi karena saya menghargai usaha kamu. Masakan kamu enak, Nay. Kamu wanita hebat. Kamu bisa bangkit sendiri tanpa bantuan saya. Cicilan hutang kamu selalu tepat waktu. Kamu pikir saya nggak bangga liat itu semua?"
Adit berdiri, berjalan mendekati Nayla. Kali ini Nayla tidak mundur.
"Saya nggak butuh wanita yang sederajat secara harta, Nay. Saya punya harta yang cukup buat tujuh turunan. Saya butuh wanita yang sederajat secara mental. Yang kuat, yang tulus, yang bisa jadi rumah buat saya pulang. Dan wanita itu kamu."
Nayla menunduk, isak tangisnya mulai mereda. Tembok pertahanannya runtuh oleh pengakuan tulus itu.
"Tapi... tapi dunia kita terlalu beda, Mas..." bisik Nayla, tanpa sadar kembali memanggil 'Mas'.
"Kalau gitu, izinkan saya menyeberang ke dunia kamu, dan kamu belajar menyeberang ke dunia saya. Kita bangun jembatan, Nay. Bukan tembok."
Adit mengulurkan tangannya. Bukan untuk memberi uang, tapi meminta kesempatan.
"Saya nggak minta kita langsung nikah besok. Saya tau kamu butuh waktu percaya lagi. Tapi tolong... izinkan saya hadir lagi di hidup Nando. Izinkan saya pendekatan lagi sama kamu, kali ini tanpa topeng. Boleh?"
Nayla menatap tangan kokoh itu. Tangan yang pernah menggendong Nando, tangan yang pernah menyeduh pop mie, dan tangan yang menandatangani kontrak miliaran rupiah.
Ia menoleh ke arah Nando. Bocah itu menatapnya dengan mata penuh harap.
"Ibu... Om Adit boleh main ke rumah lagi kan? Nando kangen digendong..." cicit Nando.
Nayla menghela napas panjang. Logikanya berteriak bahaya, tapi hatinya berbisik pulang.
Perlahan, sangat perlahan, Nayla mengangkat tangannya dan menyambut uluran tangan Adit.
"Satu syarat," ucap Nayla tegas, meski tangannya gemetar dalam genggaman hangat Adit.
"Apa saja," jawab Adit siap.
"Jangan pernah beli dagangan saya borongan lagi atas nama hamba Allah. Kalau mau beli, antre kayak pembeli lain. Dan bayar pake harga normal. Saya nggak mau nepotisme."
Adit tertawa. Tawa lepas yang sudah tiga bulan hilang dari wajahnya. "Siap, Bu Bos. Saya akan antre paling depan."
"Dan satu lagi," tambah Nayla. "Nenek belum tau soal ini. Kalau Nenek tau kamu bohongin dia soal 'tabungan TKI', kamu jelasin sendiri ya. Siap-siap aja dipukul pake sapu lidi."
Wajah Adit memucat sedikit membayangkan Nenek Ijah yang galak, tapi ia mengangguk mantap. "Resiko laki-laki. Saya hadapi."
Adit menarik tangan Nayla pelan, mendekatkannya. Ia tidak memeluk Nayla karena belum muhrim dan mereka belum menikah, tapi tatapan matanya sudah cukup menghangatkan hati Nayla yang beku.
"Terima kasih, Nayla. Terima kasih sudah mau bukain pintu lagi."
"Masih di teras kok, belum masuk rumah," elak Nayla gengsi, menarik tangannya kembali. "Sekarang ayo keluar. Kasian Nando bosen."
"Siap. Ayo Jagoan, kita pulang." Adit menggendong Nando lagi.
Saat mereka bertiga keluar dari ruangan VIP, wartawan masih menunggu. Tapi kali ini, Adit tidak menghindar. Ia berjalan di samping Nayla dengan percaya diri.
Nayla menarik napas dalam, menegakkan kepalanya. Ia bukan lagi upik abu yang minder. Ia adalah Nayla, wanita mandiri yang kebetulan dicintai oleh seorang CEO, dan ia siap menghadapi dunia—langkah demi langkah.
Namun, di tengah kebahagiaan rekonsiliasi itu, sebuah mobil sedan merah terparkir di seberang gedung. Di dalamnya, seseorang dengan kacamata hitam memantau mereka lewat teropong.
Vina.
Wanita itu belum selesai. Setelah dipecat dengan tidak hormat dan dimasukkan dalam daftar hitam HRD perusahaan besar (berkat koneksi Adit), hidup Vina hancur. Ia kehilangan apartemen, mobilnya ditarik leasing, dan pacarnya meninggalkannya.
Dendam membakar hatinya lebih panas dari api neraka.
"Kalian pikir kalian bisa bahagia di atas penderitaan gue?" desis Vina, mencengkeram setir mobilnya. "Tunggu aja. Gue bakal bikin kalian nyesel pernah kenal gue."
Mesin mobil menderu, Vina tancap gas meninggalkan lokasi dengan rencana jahat yang baru—rencana yang tidak lagi main-main dengan gosip kantor, tapi menyangkut keselamatan fisik.
...****************...
Bersambung....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️