Alina, seorang gadis lugu yang dijebak kemudian dijual kepada seorang laki-laki yang tidak ia kenali, oleh sahabatnya sendiri.
Hanya karena kesalahan pahaman yang begitu sepele, Imelda, sahabat yang sudah seperti saudaranya itu, menawarkan keperawanan Alina ke sebuah situs online dan akhirnya dibeli oleh seorang laki-laki misterius.
Hingga akhirnya kemalangan bertubi-tubi menghampiri Alina. Ia dinyatakan positif hamil dan seluruh orang mulai mempertanyakan siapa ayah dari bayi yang sedang ia kandung.
Sedangkan Alina sendiri tidak tahu siapa ayah dari bayinya. Karena di malam naas itu ia dalam keadaan tidak sadarkan diri akibat pengaruh obat bius yang diberikan oleh Imelda.
Bagaimana perjuangan seorang Alina mempertahankan kehamilannya ditengah cemoohan seluruh warga. Dan apakah dia berhasil menemukan lelaki misterius yang merupakan ayah kandung dari bayinya?
Yukk ... ikutin ceritanya hanya di My Baby's Daddy
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aysha Siti Akmal Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bully
Sebelum kembali ke Rumah Sakit, Alina sempat mampir ke sebuah pasar tradisional yang letaknya tidak jauh dari Rumah Sakit tersebut. Ia membeli setelan untuk ia kenakan.
Tidak mungkin ia kembali ke Rumah Sakit dengan menggunakan dress seksi yang masih menempel di tubuhnya tersebut. Bisa-bisa penyakit stroke Ibunya kembali kambuh atau mungkin menjadi lebih parah dari sebelumnya.
Setelah selesai mengganti pakaiannya, Alina pun kembali meneruskan langkahnya menuju Rumah Sakit untuk menemui sang Ibu.
"Alina sayang, kamu dari mana saja, Nak?"
Kedatangan Alina disambut pertanyaan oleh sang Ibu yang masih berselonjor di atas tempat tidur pasien. Sebenarnya kondisi Bu Nadia sudah mulai membaik.
Namun, karena Alina masih belum mendapatkan uang untuk membayar biaya perawatan serta Rumah Sakit, terpaksa Bu Nadia pun bertahan di sana.
Alina melemparkan sebuah senyuman hangat untuk sang Ibu, kemudian duduk di samping wanita yang sudah melahirkannya itu. Ia meraih tangan Bu Nadia lalu mencium punggung tangannya berkali-kali.
"Bu, Alina sudah mendapatkan uangnya," ucap Alina dengan mata berkaca-kaca.
Wajah Bu Nadia nampak semringah. Ia tersenyum lebar sambil menggenggam tangan Alina dengan erat.
"Benarkah? Tapi ... dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu, Alina? Apa kamu meminjamnya kepada para rentenir yang sering berkeliaran di kampung kita?" tanya Bu Nadia.
Wajah Bu Nadia yang tadinya semringah mendadak sendu. Ia takut Alina mendapatkan uang itu dari hasil meminjam kepada rantenir yang sering meminjamkan uang di kampungnya.
Dan yang menjadi kekhawatiran Bu Nadia adalah bagaimana cara mereka membayarnya nanti. Sedangkan jumlah uang yang harus dibayarkan kepada rentenir itu hampir tiga kali lipat dari jumlah pinjaman.
Alina tersenyum getir sambil mengelus tangan Bu Nadia. "Bukan, Bu. Ibu tenang saja, Alina pun tidak berani meminjam uang kepada mereka. Alina mendapatkan uang ini dari Imelda, Bu. Beruntung dia bersedia meminjamkan uang simpanannya untuk kita," sahut Alina bohong.
"Maafkan Alina, Bu. Alina terpaksa harus berbohong kepada Ibu," batin Alina.
"Oh, syukurlah. Imelda memang anak yang baik. Semoga Tuhan membalaskan kebaikannya, amin."
"Amin."
Hari itu Alina segera mengurus semuanya dengan menggunakan uang yang ia dapat dari hasil menjual keperawanannya. Dan tepat di hari itu pula, Bu Nadia diperbolehkan pulang. Mereka kembali ke rumah sederhana mereka yang terletak jauh di ujung gang.
"Selamat datang kembali, Bu."
Alina membuka pintu rumah mereka kemudian menuntun Bu Nadia masuk ke dalam. Ia mendudukkan Ibunya di sofa usang yang ada di ruang depan.
Walaupun sebenarnya pergerakan Bu Nadia masih terbatas karena stroke ringan yang sempat menyerangnya, tetapi wanita paruh baya tersebut masih bersyukur karena ia masih bisa bergerak sendiri.
"Alina, kamu kenapa, Nak? Sejak di Rumah Sakit Ibu terus memperhatikanmu dan wajahmu selalu terlihat murung. Sebenarnya ada apa, Nak? Ceritakanlah kepada Ibu," ucap Bu Nadia saat memperhatikan wajah murung Alina yang nampak tidak seperti biasanya.
"Tidak apa-apa, Bu. Alina hanya pusing memikirkan ujian akhir yang sebentar lagi akan dilaksanakan," sahut Alina.
Bu Nadia pun kembali tersenyum. Ia merengkuh pundak Alina kemudian memeluk gadis itu.
"Yakinlah, Nak. Kamu pasti berhasil melewatinya," ucap Bu Nadia.
"Semoga saja, Bu."
Beberapa hari kemudian.
Alina menarik napas dalam sebelum ia melangkahkan kakinya. Ia kembali berbalik dan menatap Bu Nadia yang masih tersenyum kepadanya.
"Dah, Ibu."
Alina melambaikan tangannya kepada Bu Nadia kemudian mulai melangkahkan kakinya meninggalkan rumah sederhana yang selama ini menjadi saksi kisah hidupnya sejak lahir hingga sekarang.
"Hati-hati di jalan, Nak."
Setelah berjalan kaki sekitar 30 menit, akhirnya Alina tiba di depan gerbang sekolahnya. Hari ini adalah hari pertama dilangsungkannya ujian akhir sekolah.
Dengan langkah gontai, Alina kembali melangkahkan kakinya melewati ruangan demi ruangan yang ada di sekolah tersebut.
Namun, kali ini ada yang aneh bagi Alina. Gadis itu memperhatikan sekelilingnya dengan wajah bingung. Hampir semua siswa yang ia lewati, menatapnya dengan tatapan aneh. Mereka bahkan terlihat sedang membicarakan sesuatu yang tidak baik tentang dirinya.
Gadis itu mencoba berpikir positif dan kembali meneruskan langkahnya menuju ruang kelas. Hingga akhirnya Imelda menahan langkah kaki Alina tepat di depan pintu ruang kelas.
"Masih punya muka juga ini orang kembali ke sekolah setelah kelakuannya tersebar di dunia maya," ucap Imelda sambil menyeringai menatap Alina.
"Apa maksudmu, Mel? Menyingkirlah, aku ingin masuk." Alina mencoba masuk ke dalam ruangan itu, tetapi Imelda tetap tidak membiarkan dirinya masuk.
"Lihatlah dia, teman-teman! Aku tidak menyangka dia memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi. Buktinya, setelah perbuatan mesumnya tersebar di dunia maya, ia masih saja berani menampakkan wajahnya di hadapan umum," tutur Imelda sambil tersenyum sinis.
Semua siswa dan siswi meneriaki Alina. Mereka menghina, menghardik hingga ada yang tega melemparnya dengan kertas yang yang sudah di remass-remass.
"A-apa maksudmu?" tanya Alina dengan terbata-bata.
"Lihatlah sendiri," sahut Imelda seraya menyerah ponsel miliknya kepada Alina.
Dengan tangan gemetar, Alina menyambut ponsel itu kemudian memperhatikan video yang sedang diputar di layar benda pipih tersebut. Video yang sengaja direkam oleh Imelda sesaat setelah Alina jatuh pingsan.
Seorang laki-laki berperawakan gendut, pendek dan kepala yang hampir plontos tersebut mengangkat tubuhnya yang tidak berdaya ke atas tempat tidur.
"Ya Tuhan, Imelda! Kamu sudah sangat keterlaluan. Seandainya saja aku tidak mengingat semua jasa dan kebaikan Ibumu, mungkin aku sudah--"
"Apa? Coba saja kalau berani!" Tantang Imelda tanpa rasa takut sedikitpun.
...***...