Mira tiba-tiba terjebak di dalam kamar hotel bersama dengan Angga—bosnya yang dingin, arogan, dan cuek. Tak disangka, setelah kejadian malam itu, hidup Mira benar-benar terbawa oleh arus drama rumah tangga yang berkepanjangan dan melelahkan.
Mira bahkan mengandung benih dari bosnya itu. Tapi, cinta tak pernah hadir di antara mereka. Namun, Mira tetap berusaha menjadi istri yang baik meskipun cintanya bertepuk sebelah tangan. Hingga suatu waktu, Mira memilih untuk mundur dan menyudahi perjuangannya untuk mendapatkan hati Angga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
UNBOXING
"Istri kedua?" Mira menatap ibu mertuanya dengan ragu-ragu.
"Ya." Bu Ice mengangguk pasti.
Mira pun terdiam. Dia paham mana wilayah privasi yang harus menjadi batasannya. Jadi, dia tidak melanjutkan pertanyaan apapun terkait rasa penasaran di dalam dadanya.
"Apakah kamu tidak tahu? Kalau Papa itu punya tiga istri?" Bu Ice kembali berbisik.
Mira menggeleng.
"Ya, dia punya tiga istri dan lima anak. Aku adalah istri pertama, dan Angga adalah satu-satunya putra dari hasil pernikahan kami." Bu Ice melanjutkan.
"Istri kedua bernama Shinta. Dia punya seorang anak lelaki yang sudah menikah, namanya Vano. Shinta mempercepat pernikahan anaknya agar lekas bisa memiliki cucu. Ya, dia hanya ingin bersaing denganku, mendahuluiku. Tapi Vano tak kunjung memiliki anak. Kamu harus hati-hati baik dengan Shinta, ataupun dengan Vano," tandasnya.
"Istri ketiga bernama Linda. Dia punya seorang anak perempuan, bernama Michele, dia masih kuliah. Kamu harus hati-hati juga dengan mereka." Bu Ice berkisah dengan sangat rinci.
"Waduh, rumit amat ya silsilahnya," guman Mira di dalam hati.
"Kamu jangan takut, santai saja, hehehe." Bu Ice terkekeh. Dia seperti tahu apa yang ada di dalam pikiran menantunya.
"Jadi, tugas kamu harus hamil! Kamu harus bisa memberikan cucu pertama, kedua, dan kesekian, kepada Papa," tegasnya.
Mira terbelalak.
"Hamil?" lirihnya.
"Ya, kamu harus mengandung dan melahirkan anak untuk keluarga Arthoyudo. Kamu harus melahirkan empat, lima, atau bahkan sepuluh anak." Bu Ice tertawa kuda.
Mira kian terbelalak. Dadanya tiba-tiba berdetak amat kencang.
"Gila! Gua harus jadi mesin pencetak anak?!" gumamnya di dalam hati.
"Heheheh, jangan dipikir serius begitu, Mama hanya bercanda. Tak harus sepuluh anak, kok. Ehmm ... empat atau lima cukup." Bu Ice mencebik gemas.
Mira pun hanya terdiam lemas.
*****
Mira bersyukur karena mertuanya tidak menginap di rumahnya. Dia sangat senang saat Bu Ice dan Pak Bambang berpamitan pulang. Karena hingga pukul satu dini hari, Angga tak kunjung pulang.
"Untunglah Mama tidak menginap," kata Mira dengan helaan nafas kesal.
"Kenapa sepertinya banyak misteri di dalam rumah ini?" sungutnya seorang diri.
"Aku bahkan belum tahu, bagaimana aku bisa satu kamar dengan Pak Angga malam itu? Apakah ada yang menjebak kami? Apakah ada yang sengaja ingin membuat namaku menjadi hancur?" Wanita itu terus mendengkus berulang kali.
"Dan sekarang, Mama minta cucu? Ya Tuhan ... mereka tidak tahu jika putra mereka sangat membenciku. Jangankan memikirkan akan memiliki anak, melihatku saja dia tidak mau." Mira menyandarkan kepalanya ke bantalan sofa di depan tv.
Entah kenapa malam itu dia tidak bisa tidur. Padahal, jam dinding sudah menunjukkan pukul satu lebih. Matanya enggan terpejam. Apalagi setelah ia mengobrol dengan mama mertuanya tadi.
"Kenapa Pak Angga belum pulang, ya?" gumamnya.
"Idih, apaan sih? Kenapa aku harus mengkhawatirkan dia? Bukankah dia tadi keluar dengan kekasihnya yang super duper nyelebelin itu?" Mira pun mendengkus.
Dia pun iseng membuka handphonnya dan mencoba mengirimkan pesan kepada Nana.
"Na ... loe dah tidur, belom?" tulisnya.
Hanya bercentang satu.
"Dia pasti udah ngorok," gumamnya.
Dia pun mencoba membuka nama kontak si Rika.
"Rik, loe udah tidur, kah?" ketiknya.
Centang dua tapi tak kunjung terbaca. Rika pasti sudah tidur.
Guna menghilangkan rasa bosan, Mira membuka status kawan-kawannya. Terlihat Rika sedang bersama dengan kekasih bule-nya di sebuah cafe dua jam yang lalu.
"Pantesan dari tadi tidak heboh ngajakin hang out, dia lagi indehoi dengan si bule itu." Mira mendengkus lagi.
CEKLEK.
Pintu depan terbuka. Mira melihat Angga yang masuk dengan tubuh sempoyongan. Bau alkohol menyeruak dari tubuhnya, dan dia dalam keadaan mabuk, namun setengah sadar.
"Mira ... gadis sialan ...!" ucap Angga dengan mata menyalak.
Mira tak menggubris. Hal semacam ini sudah menjadi hal biasa sejak ia menikah dan tinggal serumah dengan Angga.
Dia segera mematikan TV dan beranjak hendak ke kamar tamu, tempat dia tidur sejak resmi dinikahi oleh Angga.
Namun, tangan kekar Angga tiba-tiba meraih pundak Mira dan memeluknya dengan erat.
"Jangan tinggalin aku," bisik pria tampan dan berbadan atletis itu.
SSRRRR
Dada Mira tiba-tiba terasa berdesir.
"Pak ... Pak Angga?" Dia terbata.
Mira mencoba menepis tangan suaminya, namun ia kalah dalam hal kekuatan. Tubuh Angga memeluknya dengan sangat erat.
"Pak, Bapak sepertinya harus istirahat, kamar Bapak di lantai atas," bisik Mira.
Siapa sangka, bisikan itu justru membuat Angga kian mempererat pelukannya.
"Jangan tinggalin aku, Carla. Please ...!" Angga berbisik lirih juga di telinga istrinya.
Mira terbelalak.
"Pak, Pak Angga, Bapak salah orang," ucapnya dengan tergopoh.
Dia berusaha melepas pelukan suaminya tapi tetap tak bisa.
Tiba-tiba Angga memicingkan mata, dia mengamati siapakah gerangan yang sedang ia dekap dengan erat. Berulang kali ia mengucek matanya karena pengaruh alkohol membuat pendangan Angga nampak tak jelas, antara sadar dan tidak.
"Mira ...?" Ia masih memicing, mencoba menajamkan penglihatannya lagi.
Kemudian, Angga sontak mengendong Mira ke kamarnya di lantai atas.
"Pak, Bapak mau ngapain?" Mira pun mulai merasa gemetar.
Angga terus mengendong Mira dan masuk ke dalam kamarnya. Mira mulai takut dan kian panik.
"Pak, Bapak mau ngapain?" Mira mencoba lari, namun Angga menarik tangannya, lalu mengangkatnya ke atas kasur.
"Puaskan saya malam ini, bukankah kita ini sudah menjadi suami istri." Pria itu berbisik, bau alkohol terus menguar dari dalam mulutnya.
"Jangan, Pak! Jangan! Saya mohon! Bapak sudah berjanji bahwa pernikahan ini hanyalah sandiwara. Bapak bilang ini hanya sementara." Mira terus berteriak dan meronta.
Angga tak menghiraukan teriakan istrinya. Dia langsung duduk di atas perut Mira dan melapas semua baju yang Mira kenakan. Lalu dia melepas bajunya sendiri hingga keduanya saling terbuka satu sama lain.
Mira menangis, dia terus memberontak, tapi kekuatannya tak sepadan dengan kekuatan pria yang sedang menindihnya itu.
Antara sadar dan tidak, Angga mulai menyentuh wajah Mira. Ia terus menyentuh semua area sensitif milik wanita itu. Darah Mira berdesir saat ia merasakan sentuhan demi sentuhan dari sang suami.
"Pak, tolong lepaskan saya, Pak. Jangan lakukan ini, Pak. Saya takut, Pak. Saya belum siap." Mira terus memohon ditengah kesibukan suaminya yang terus menjamah tubuhnya.
Angga berhenti seketika, dia menatap wajah Mira dengan sangat lekat. Lalu dia tersenyum getir.
"Carla, Sayangku ...," bisiknya seraya terpejam.
Pria itu tiba-tiba memegang miliknya dan memasukkannya ke dalam milik Mira.
"Ssstttttt ...," desahnya.
Mira pun mencengkaram sprei dan menggigit bibirnya dengan sangat kuat. Bulir-bulir air mata mulai meneyes dari ujung sudut matanya.
"Carla, Carla." Angga terus melakukannya sambil memanggil nama sang kekasih.
Sementara Mira terus terisak dan menangis di tengah-tengah pergumulan itu. Bagaimana tidak, suaminya mengambil haknya sambil menyebut nama wanita lain.
Mira merasa sakit. Hatinya sakit, area k*m*luannya juga sakit, badannya pun juga tak kalah sakit. Dia merasa harga dirinya telah dil*cuti habis-habisan.
Angga melakukannya dengan wajar, tidak kasar. Namun cara dia merenggut, cara da memaksa, cukup membuat Mira terluka.
"Sssstt ... ah .... Carla, Carlaku, Sayangku ... Carla ... Ah ...." Pria itu mendesis berulang kali, wajahnya menegang, lalu ia memejamkan mata, dan ia pun melakukan pelepasan. Ya, dia melakukannya sambil menyebut nama Carla, kekasihnya.
Setelah merasa puas, Angga pun menjatuhkan tubuhnya di samping Mira, dan dia langsung mengorok.
Sementara Mira, wanita itu terisak, dia merasa sangat terluka.