Jiwa seorang ilmuwan dunia modern terjebak pada tubuh pemuda miskin di dunia para Abadi. Ia berusaha mencapai puncak keabadian untuk kembali ke bumi. Akankah takdir mendukungnya untuk kembali ke bumi…. atau justru menaklukkan surgawi?
**
Mengisahkan perjalanan Chen Lian atau Xu Yin mencapai Puncak Keabadian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almeira Seika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21—Lembah Rahasia (2)
"Atau Void Primordial itu sendiri yang akan melahap jiwa sang pemiliknya. Itulah mengapa, setiap ada praktisi yang memiliki Void Primordial, maka ia akan menghilang secara misterius." Suara Tetua Qian sedikit gemetar saat mengungkapkan kenyataan pahit itu kepada muridnya.
Punggung Xu Yin lemas dan menjadi bungkuk. Segala hal yang telah ia rencanakan seolah sirna. Rencananya untuk membalas kejahatan orang-orang yang pernah menganiayanya, termasuk, membalas kebaikan pada kedua orang tuanya yang ada di dunia ini.
Dan juga... janjinya kepada Lu Rei. Ia bisa saja lenyap secara tiba-tiba karena dilahap oleh Void Primordial di dunia ini. Bahkan, abunya, mungkin saja tak tersisa. "Sebelum bisa kembali ke dunia modern, bisa saja aku sudah lenyap." Suara batinnya, yang semakin membuat dadanya sesak.
Xu Yin menatap ke atas langit senja yang berwarna merah jingga. Ia mencegah air matanya keluar dengan cara ini. Namun, tampaknya, ia tidak bisa menghentikan air yang telaj menetes di pipi secara perlahan.
Melihat muridnya menangis, ekspresi Tetua Qian menjadi sangat sedih. Alisnya mengerut ke atas dahi. Lalu, telapak tangannya menepuk pundak Xu Yin dengan lembut. "Jangan putus asa... ada Guru di sini yang akan selalu membimbing dan menolongmu dalam keadaan apapun." Ucapan Tetua Qian bagaikan cintah kasih seorang ayah kepada anaknya. Yang rela mengorbankan segalanya, demi sang anak.
Setelah mendengar ucapan itu, keputusasaan Xu Yin berubah menjadi tekad dan semangat. Bagaimana pun juga, di dunia ini, ia memiliki beberapa orang yang mempedulikannya. Kedua orang tua, paman, dan Tetua Qian. Mereka menjadi orang-orang yang sangat berharga bagi Xu Yin. Sejajar dengan kedua sahabatnya.
Xu Yin menatap mata Tetua Qian dengan penuh haru. Kemudian, ia segera bersujud di bawah kaki gurunya. "Terima kasih atas kebaikan Guru. Murid rela memberikan segalanya pada Guru."
Tetua Qian berjongkok, lalu, memegang lengan Xu Yin. Ia menuntun muridnya untuk berdiri, sembari terus menatap wajah anak muda itu dengan kedalaman emosional layaknya seorang ayah kepada anak. "Tidak perlu sungkan. Anggap saja, aku... sebagai ayahmu."
Xu Yin menatap mata Tetua Qian yang menampilkan ketulusan murni. Ia pun tersenyum tipis, merasa sangat bersyukur.
Begitu melihat muridnya tersenyum, Tetua Qian merasa lega. Lalu, ia berkata, "Masih ada satu hal lagi untukmu."
Tetua Qian menepuk tasnya, sebuah kepingan giok yang berisi mantra keluar dan mengapung diatas tangannya. "Angin Laut... adalah mantra yang hanya bisa digunakan oleh mereka yang bisa membedakan antara kelembutan dan kekuatan. Ini adalah angin dari laut tropis yang hangat, membawa tekanan panas yang bisa melemahkan pertahanan musuh secara perlahan."
Xu Yin menerima giok itu. Ia membaca tulisan, lalu terlihat ilusi sosok cahaya putih berbentuk manusia yang mempraktikkan gerakan dari mantra. Seperti saat kita melihat layar smartphone, namun ilusi ini terlalu nyata. Xu Yin menyipitkan mata dan mengangguk. "Ternyata, di dalam giok spiritual bukan hanya ada tulisan, tetapi ada sebuah ilusi yang telah diatur oleh penciptanya."
"Semua jenis tulisan, diukir di dalam giok spiritual. Namun, ada juga giok yang bisa menampilkan ilusi dari ingatan pembuatnya. Bahkan, ada juga yang bisa mengatur ilusi semacam drama opera." Jelas Tetua Qian dengan seksama.
Xu Yin yang mencerna informasi itu, segera tahu fungsi dari giok spiritual. "Kepingan giok ini seperti smartphone, yang bisa menulis, dan bahkan merekam adegan menggunakan ilusi buatan. Sementara, papan giok seperti layar proyeksi yang bisa menampilkan banyak hal untuk dilihat banyak orang sekaligus." Gumamnya dalam hati.
Kemudian, ia menirukan gerakan dalam giok itu dengan hati-hati, memusatkan Qi-nya di telapak tangan. Perlahan, sebuah pusaran angin hangat terbentuk di depannya, menderu pelan seperti desir angin yang tenang namun menggigit.
Tetua Qian tersenyum tipis. "Belum sempurna, tapi potensimu mulai menunjukkan wujudnya. Kau memiliki kemampuan untuk memahami teknik ini dengan cepat."
Xu Yin merasa bahwa angin yang diciptakan oleh mantra ini... mampu membuat hangat siapapun, bahkan penggunanya sendiri. Matanya pun menyipit, dan berkata. "Angin ini terasa lembut dan hangat."
"Tepat sekali. Seperti demam panas di tengah malam," jelas Tetua Qian sambil mengamati gerakan Xu Yin, "Kau tidak merasa saat datangnya, tapi saat sadar, tubuhmu sudah lumpuh." Lalu, ia mencoba mempraktikkan sendiri.
Xu Yin menatap dan memperhatikan gerakan gurunya.
"Angin ini menembus kelemahan dalam tubuh musuh, melemahkan dantian mereka. Tidak ada ledakan atau keributan, hanya efek yang perlahan tapi mematikan."
Ia memperagakan teknik itu, mengangkat dua jari dan mengayunkannya pelan ke depan. Angin lembut keluar dari gerakannya, hampir tak terdengar. Tapi sebuah batu besar di kejauhan tiba-tiba pecah dari dalam, bukan dari permukaan.
Mata Xu Yin berbinar menatap kagum gurunya. "Ini seperti... menembus dari dalam?"
"Benar," kata Qian. "Cocok untuk orang sepertimu, yang lebih memilih diam daripada ribut. Tapi kalau sudah bertindak, mematikan. Mantra ini, bisa menggantikan teknik Nafas Tanpa Bentuk yang terlarang itu. Kau tidak perlu memakai teknik itu lagi, cukup gunakan mantra ini."
Xu Yin merasa malu, lalu tertawa kecil. "Guru selalu tahu cara memilih teknik yang sesuai dengan murid."
Tetua Qian menyentuh pundak Xu Yin dan menatapnya serius. "Aku yakin, suatu hari nanti... kau bisa melangkah lebih jauh melampaui dari yang pernah kulalui. Jangan pernah putus asa lagi."
Xu Yin teringat dengan tujuan utamanya, yaitu kembali ke dunia modern dan menaruh abunya disebelah kedua sahabatnya. Ia pun menatap gurunya dalam-dalam. "Saya tidak mengejar keabadian, Guru... saya hanya ingin mengakhiri suatu hal dan pergi dari tempat ini."
Mata Tetua Qian melembut. Ia tahu, Xu Yin tidak pernah mengatakan apa yang sebenarnya menjadi tujuan anak itu. Tapi mungkin, itu yang membuatnya istimewa. Kemudian ia memungkas, "Aku akan pergi ke lembah selatan untuk mencari bunga lili surgawi, kau di sini dahulu. Besok pagi aku jemput."
Karena gurunya menyinggung soal bunga, Xu Yin jadi teringat akan sesuatu. "Tunggu sebentar, Guru... saya ingin tahu, apakah hamparan bunga yang bercahaya ini memiliki manfaat khusus?"
Tetua Qian mengangguk dan menyipitkan mata, lalu menjawab. "Fungsi dan manfaatnya beragam, tergantung, bunga apa yang kau maksud."
Jemarinya memetik setangkai bunga yang berwarna merah muda dan memiliki banyak kelopak. "Kalau ini, Guru?"
"Itu bunga seruni, berfungsi untuk menyembuhkan meridian yang terluka. Diantara hamparan bunga ini, ada juga yang menjadi racun, jangan sembarangan memetik." Jelas Tetua Qian, sebelum ia benar-benar pergi bersama Yinglong miliknya.
Walaupun telah dilarang untuk tidak memetik bunga spiritual secara sembarangan, Xu Yin tetap memetik satu persatu bunga yang bentuknya berbeda. Lalu, ia memasukkan bunga itu ke dalam tas kecil di pinggangnya.
Malam itu, bintang-bintang menggantung seperti lukisan kuno. Xu Yin berdiri di tepi lembah, membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Lalu, ia menatap bintang-bintang itu dan berkata, "Seandainya... kalian berdus ada di sini. Dan kita memakan malatang di bawah miliaran bintang, sebuah harta yang sangat berharga bisa melihat lautan bintang."
Alasan dia mengatakan itu, karena, di dunia modern sama sekali tidak bisa melihat bintang. Bahkan, bulan pun malu menunjukkan hidungnya. Polusi cahaya benar-benar merusak keindahan mutlak yang diberikan oleh alam semesta kepada bumi.
Setelah puas menatap langit penuh bintang, Xu Yin memejamkan matanya untuk bersemedi sembari menunggu hari esok tiba.
Matahari mulai menampakkan cahayanya. Yinglong terbang dari arah selatan menuju ke arah Xu Yin yang tengah bersemedi. Naga bersayap itu mendarat di rerumputan hijau lembah. Merasakan tekanan itu, Xu Yin membuka matanya, lalu berdiri dan menangkupkan tangannya memberi hormat. "Hormat kepada Guru."
"Ayo, kita kembali ke sekte." Ucap Tetua Qian yang masih berdiri tegap di atas punggung Yinglong.
Xu Yin terbang ke atas punggung Yinglong, ia berdiri di sebelah Gurunya. Perlahan naga itu terbang ke ketinggian. Langit pagi masih diselimuti kabut tipis, Naga bersisik merah itu melesat menembus awan, membawa dua sosok dipunggungnya dengan aura yang agung.
Setelah terbang beberapa ribu mill, naga itu secara perlahan turun dari ketinggian langit, dan membelah awan dibawahnya. Angin dari kepakan sayapnya menggulung kabut, menggetarkan pepohonan di puncak tebing Sekte Tiangu. Semua Murid Dalam yang tengah berlatih menoleh ke atas, tertegun melihat siapa yang kembali.
Para Murid Dalam sekte Tiangu itu saling pandang satu sama lain. Ada perasaan kagum saat melihat aura Xu Yin yang saat ini telah berbeda. Pemuda yang tengah berdiri tegak di punggung Yinglong bersama Tetua Qian itu, memiliki tatapan yang tajam dan menusuk. Terlebih, ia sengaja tidak menyembunyikan tingkatan Qi Awekening 18 miliknya. Para murid pun berbisik-bisik.
"Apakah itu... benar-benar dia?"
pedang biasa bisa apa nggak? tergantung ilmu seseorang atau tergantung pedangnya?
mungkin padanan sapu terbang penyihir atau karpet terbang aladin. cerita2 benda terbang yg jadi kendaraan yang lebih kuno.
ibunya jadi hangat.