Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Bab 21. Ungkapan perasaan
Angin sore berembus lembut, membelai wajah Sharon dan Dion yang duduk bersebelahan di teras rumah. Secangkir teh hangat mengepul di tangan Sharon, sementara Dion menyandarkan punggung ke kursi rotan dengan mata yang sesekali melirik ke arah anak-anak yang sedang bermain di halaman.
Xaviera sibuk menata boneka unicornnya di atas selimut kecil, seolah sedang bermain rumah-rumahan. Sementara Xaviero dengan penuh semangat mengarahkan mobil remote controlnya melewati pot tanaman dan kaki meja taman. Gelak tawa mereka mengisi udara, menjadi irama yang menyenangkan di antara jeda percakapan.
“Sha,” Dion memecah keheningan setelah beberapa menit hanya menikmati pemandangan dan teh buatan Sharon, “kamu tahu nggak? Rasanya rumah ini seperti rumah beneran buatku.”
Sharon tersenyum tipis, menatap ke arah Xaviera dan Xaviero. “Karena ada suara anak-anak ya? Rumah ini memang ramai sejak mereka mulai bisa lari-lari.”
“Bukan cuma karena itu,” Dion menoleh padanya. “Tapi karena kamu juga ada di sini.”
Sharon menegang sejenak. Ia menunduk, menatap gelas tehnya seolah mencari jawaban di sana.
“Aku tahu, ini bukan pertama kalinya aku ngomong gini,” lanjut Dion dengan nada lembut. “Dan aku nggak akan marah atau ngambek kalau kamu nolak lagi. Tapi aku tetap pengen bilang.”
Sharon menarik napas pelan.
“Aku suka kamu, Sha. Bukan cuma karena kamu cantik atau karena anak-anak kamu yang manis banget. Tapi karena kamu perempuan kuat, penuh kasih sayang, dan … aku nyaman sama kamu. Dengan rumah ini. Dengan kebersamaan kayak gini. Aku seakan menemukan rumah kedua, selain rumah kedua orang tuaku."
Sharon menggigit bibir bawahnya. Ia tak langsung menjawab. Matanya menatap lurus ke arah anak-anak, terutama Xaviera yang kini sedang mengomel pada Xaviero karena mobil remote-nya hampir menabrak boneka unicornnya.
“Dion .…” Akhirnya ia bersuara. “Aku menghargai perasaanmu. Serius. Kamu itu pria baik, bahkan mungkin terlalu baik untuk wanita kayak aku.”
“Jangan ngomong gitu, Sha. Kamu pantas bahagia, dengan siapa pun yang kamu pilih.”
“Masalahnya bukan soal siapa yang aku pilih, tapi ... soal hatiku sendiri,” Sharon menghela napas. “Hatiku belum sembuh. Aku … pernah sangat percaya pada seseorang. Tapi kepercayaan itu hancur dalam satu malam. Sampai sekarang, bayangannya masih membekas. Dan aku takut, kalau aku membuka hati lagi, lukanya justru makin dalam.”
Dion menatapnya dengan mata yang tak menyalahkan, hanya penuh pengertian.
“Aku nggak minta jawaban sekarang,” ucap Dion pelan. “Aku cuma pengen kamu tahu, kalau suatu hari nanti kamu siap … aku masih akan di sini. Kalau kamu butuh teman, aku di sini. Kalau kamu cuma pengen diam dan ditemani, aku juga di sini.”
Sharon menunduk, merasa matanya mulai panas. Ia tak ingin menangis, tapi kata-kata Dion yang sederhana, tapi penuh makna mampu menyentuh relung yang lama tak disentuh siapa pun.
“Makasih, Dion,” lirihnya. “Terima kasih karena selalu sabar dan nggak memaksa.”
Mereka terdiam lagi. Namun, kali ini keheningan itu terasa hangat. Tak membebani, hanya mengisi ruang yang belum bisa disebut cinta, tapi juga bukan sekadar pertemanan.
Di kejauhan, tawa Xaviera dan Xaviero kembali pecah, seolah ikut menyambut harapan kecil yang pelan-pelan tumbuh di antara hati yang masih belajar percaya.
...***...
Sebuah kafe bergaya rustic di pusat kota sore itu cukup ramai. Di sudut yang agak tenang, Eric sudah duduk di meja dekat jendela besar, sibuk menatap layar laptopnya. Matanya fokus pada tampilan di layar, jari-jarinya menari cepat di atas keyboard. Sesekali ia menyeruput es kopinya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
Tak lama kemudian, Mischa datang. Ia mengenakan blouse biru muda dan celana bahan putih, tampak santai namun tetap elegan.
"Sorry telat, jalanan macet banget," ucap Mischa sembari duduk.
Eric tersenyum sekilas. "Nggak apa. Aku juga baru nyampe. Kita pesan makanan dulu yuk," ucap Eric lembut pada Mischa yang baru beberapa bulan ini menjadi kekasihnya.
Setelah pelayan mencatat pesanan mereka, Eric menoleh sebentar ke arah jam tangan, lalu bangkit berdiri. “Aku ke toilet dulu sebentar, ya. Tungguin makanannya.”
Mischa mengangguk, lalu mengambil posisi yang nyaman. Ia menatap pemandangan luar kafe sambil memainkan sedotan di gelas es lemon tea-nya. Di depannya, laptop milik Eric masih menyala, terbuka pada dokumen yang tak jelas. Tanpa sengaja, siku Mischa menyenggol keyboard, dan layar berubah tampilan.
Sebuah folder terbuka. Di dalamnya, ada beberapa dokumen dan foto. Salah satu gambar terbuka penuh di layar—wajah Sharon. Jelas. Tak bisa salah.
Mata Mischa membelalak. Jantungnya berdebar keras.
“Kenapa foto Sharon ada di laptop Eric?”
Ia nyaris tak berkedip menatap layar itu, mencoba mencari alasan di balik keberadaan foto Sharon di laptop Eric–kekasihnya. Tapi sebelum sempat membaca lebih jauh, Eric kembali dari toilet. Langkahnya terhenti sejenak ketika melihat ekspresi kaget Mischa.
"Eric .…" Mischa menoleh pelan, masih menatap layar. "Ini ... Sharon kan? Kenapa kamu punya foto Sharon di laptopmu?"
Eric terlihat terkejut. Matanya otomatis menatap layar dan bibirnya mengatup rapat. Beberapa detik ia hanya terdiam, lalu perlahan duduk kembali.
“Kamu kenal Sharon?” tanyanya hati-hati.
Mischa mengangguk cepat. “Dia sahabatku. Kita udah temenan sejak kuliah. Tapi ... kamu belum pernah bilang kamu kenal dia. Bahkan seingatku, kamu nggak pernah menyebut nama Sharon sebelumnya.”
Eric menghela napas panjang, lalu menatap Mischa dengan pandangan serius. “Aku ... nggak bisa cerita semua sekarang. Tapi, tolong jawab aku satu hal dulu.”
“Apa?” tanya Mischa, masih waspada.
“Sharon tinggal di mana sekarang? Dia ... punya anak kembar, kan?”
Mischa semakin bingung dan penasaran. “Iya ..., tapi kenapa kamu nanya? Siapa kamu sebenarnya buat Sharon? Dan kenapa kamu nyari dia? Atau jangan-jangan ...." Mischa reflek menutup mulutnya.
Eric menatap mata Mischa dalam-dalam. “Jangan berpikir sembarangan! Foto Sharon ada di sini karena ... Sharon adalah orang yang sangat penting untuk seseorang yang juga sangat berarti buatku. Aku janji, Mischa. Aku gak akan membahayakan Sharon atau anak-anaknya. Tapi aku butuh bantuannya ....”
Mischa masih terlihat ragu. “Ini ada hubungannya dengan Leon, ya?” Entah bagaimana, yang ia tahu hanya Leon orang terdekatnya saat ini. Tidak mungkinkan ini ada hubungannya dengan sang nenek yang merupakan satu-satunya keluarga?
Eric tak menjawab secara langsung. Tapi dari sorot matanya, Mischa tahu—dugaannya benar.
Bersambung...
Semoga ini jd awal yg baik bagi Leon bisa ketemu sm ank2nya jg sharon
semoga di mudahkan dan dilancarkan ya..
padahal ceritanya bagus lho